Baiklah karena komputer saya rusak, dan saya malas untuk install ulang. Juga karena lupa pasword blog sendiri. Akhirnya tulisan soal punk inipun jadi telat untuk terpublikasikan. Saya ga tau apakah sudah basi atau tidak untuk membahas ini. Membahas seputaran punk yang sudah seminggu ini ramai diberitakan media tentang penangkapan para punkers di aceh.
Sebelumnya, sebelum terlalu jauh terbawa emosi dan kobaran yang berapi-api atas nama pembelaan terhadap stigma punk yang masih saja dipandang dengan penuh curiga di mata masyarakat kebanyakan. Ada baiknya saya perkenalkan dulu apa itu punk. Setidaknya menurut sudut pandang dan pemahaman saya tentang punk.
Adalah bukan tanpa alasan jika pada akhirnya saya juga tergerak ingin membahas ini. Karena saya juga pernah ada dan menjadi bagian dari mereka. Bagaimana saya berbagi minuman bersama mereka, berbagi rokok, makanan dan beberapa lagu rancid sampai turtles jr yang di nyanyikan dengan suasana kehangatan luar biasa seperti sedang berada di tengah-tengah keluarga sendiri. Meskipun saya tidak pernah secara terang-terangan mentasbihkan diri saya sebagai seorang punker, apalagi saya tidak pernah berdandan ala punk dengan rambut Mohawk dan banyaknya emlem di celana jeans ketat saya.
Tapi saya tau persis pergerakan mereka, apa yang mereka suarakan, perjuangkan, dan banyak lagi attitude yang menurut saya layak untuk di respect. Karena apa? Karena yang mereka perjuangkan adalah kesetaraan, pemerataan, keadilan, dan tidak berlebihan jika apa yang mereka perjuangkan adalah sama halnya dengan apa yang para pejuang kemerdekaan perjuangkan. Hanya saja konteksnya para punker ini memperjuangkan untuk bisa bebas merdeka diatas diri mereka sendiri, untuk jadi diri mereka sendiri. Yang dimana untuk bisa jadi diri sendiri itu adalah satu hal dari kontradiksi paradigma yang di pakemkan para typical orang ‘normal’ disini yang membuat para punker itu akhirnya menjadi terdeskriditkan akan kehadirannya.
Saya sendiri berkenalan dengan punk awalnya karena suka musiknya dulu. Musik punk kala itu (waktu saya smp) saya anggap sangat mewakili diri saya. Bebas, rebel, dan jadi diri sendiri. Pemahamannya masih seperti itu kala itu. Tapi lama kelamaan otomatis Karena kecintaan saya akan musik punk, maka dengan sendirinya saya mengikuti attitude dari apa yang band2 punk yang saya idolakan itu suarakan. Bad religion misalnya, mereka selalu konsisiten menyuarakan “Againts the Government”, bagaimana mereka mengajak para pendengar/fans-nya untuk tidak menjadi bagian dari kebodohan yang di doktrinkan pemerintahan. Dan walaupun ya mereka “against the government” di amrik sana, tapi itu masih relevan dengan pemerintahan disini, di Indonesia. Atau dimanapun kayakanya pemerintahan mah memang sama otoriter dan selalu saja konteksnya atas nama memperebutkan kekuasaan yang tidak berpihak pada rakyatnya. Dan untuk itulah punk itu hadir. Untuk menyuarakan perlawanan akan pola pemerintahan seperti itu. PUNK ADA KARENA SISTEM PEMERINTAHAN YANG SALAH.
Tapi kita kan ada di Indonesia, yang adalah (sayangnya) negeri yang saya cintai ini kan sering banget salah tafsir akan apa yang di bawa budaya asing kesini. Selalu saja di tanggapi dengan intelektualitas yang tidak mumpuni untuk bisa menyaring sebuah makna yang sebenarnya bagus tapi malah jadi salah kaprah. Dibanding para punkers yang memang puya attitude bagus, mungkin selebihnya hanyalah sekelompk berandalan dengan atribut punk yang mereka tasbihkan sendiri jika mereka adalah seorang punkers. Jangankan soal system yang ingin mereka suarakan terhadap system yang mereka lawan. Tentang punk terbentuk dan untuk apa di bentuk pun mereka ga tau. Dan para punkers seperti inilah yang akhirnya banyak meresahkan masyarakat disini. Dan bukan hanya masyarakat saja, tapi golongan punk ‘benerannya’pun (beneran dalam artian punker yang punya attitude yang benar) jadi ikut resah. Karena gara-gara oknum ‘punk alay’ ini akhirnya terus memperpanjang stigma negative tentang punk itu sendiri.
Sekarang soal bahasan punker yang di tangkap di aceh?
Aceh sebagaimana yang kita kenal adalah sebuah tempat yang sarat akan sariat ke islamannya. Banyak menerapkan system islam disana. Pertanyaannya apa itu salah? Jujur saya ga punya jawabannya. Tapi kalau menurut system pemerintahan sih ya salah, karena aceh masih bagian dari indonesia yang dimana Indonesia itu kan ada dalam system pemerintahan republik, bukan system islam. Lagipula kan dalam pasal 29 ayat 1 di jelaskan jika hak setiap orang untuk memeluk agama sesuai kepercayaannya. Hak setiap orang disini kan berarti aturan di aceh tidak bisa di terapkan begitu saja. Misalnya ada semacam peraturan setiap wanita harus mengenakan jilbab. Buat yang islam sih itu ga masalah dan memang harus, karena itu yang di tulis di AL-Qur’an, jika setiap wanita muslimah wajib menutupi auratnya. Tapi jika peraturan itu juga di terapkan untuk mereka/wanita yang non musim atau Kristen, apa masih relevan peraturan seperti itu? pun begitu dengan para punkers yang ditangkap, dimandikan, dan di suruh ngaji. iya kalo islam. kalo bukan?
Yang saya tau menurut pemberitaan banyak media yang mengangkat itu. Masalahnya kan tentang penangkapan sekelompok anak punk yang di tangkap terus di gunduli kepalanya, di mandikan dan di suruh ngaji. Saya menanggapinya seperti ini. Jika yang tertangkap itu adalah sekelompok berandalan yang kedapatan membawa narkoba dan senjata tajam yang berkedok punk. Saya pikir saya setuju mereka untuk di tangkap. Tapi jika mereka yang di tangkap itu beneran anak punk yang bersih dari narkoba dan kemungkinan akan ancaman tindak kriminal, lalu di tangkap hanya karena dandanan mereka dengan rambut mohawknya itu. Tentu saya tidak setuju, karena itu merupakan pelanggaran sebuah hak yang dimiliki anak punk itu. Hak seperti apa? Hak menjadi diri sendiri, hak ber-ekspresi, hak berkesenian dan lainnya. Cukup jelas kan?.
Agaknya don’t judge a book by the over itu masih sulit di terapkan pemahamannya disini, di Indonesia. Tapi bingung juga sih sebenernya, karena darimana kita tau punk yang beneran itu mana, punk yang alay itu mana. Masa setiap kita ketemu anak punk kita mesti Tanya sejarah punk sama dia. Kalau dia bisa jawab berarti aman, kalau ga bisa jawab berari tangkap. Terlalu ribet ya?. Jadi solusinya?. Solusinya adalah balik lagi kepada para pelaku/golongan punk itu sendiri. Para pelaku punk yang merasa dirinya punya edukasi yang mumpuni untuk menyuarakan sebuah system yang ingin mereka lawan hendaknya ikut merangkul juga para ‘punk alay’ ini agar sama-sama ter-edukasi dengan pemahaman yang benar akan punk itu seperti apa dan untuk apa.
Lambat laun jika para punker ini mau bersatu, sama sama mengedukasi anak punk lainnya untuk lebih punya isi dalam attitude-nya, stigma negative pun saya pikir akan hilang dengan sendirinya. Terlalu banyak cara untuk melakukan hal positive bagi seorang/beberapa anak punk dan semua pergerakannya. Apalagi jika mengingat indutrsi DIY itu lahir dari komunitas punk. Bagaimana mereka memproduksi label rekaman musik sendiri, merchandise band sendiri, dll. Harus diakui jika industri kreatif tentang pergerakan industri independen local yang semakin marak dan beragam ini dulunya di awali dari pergerakan proses kreatif para anak punk.
Terakhir. Saya atas nama penggemar, pecinta dan pemerhati punk. Menyatakan support saya sepenuhnya untuk semua pergerakan positive yang coba komunitas punk bangun untuk menghilangkan stigma negative di kalangan luas itu.
Tetap semangat teman-teman punkers
Oi oi oi.!!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar