Kamis, 07 Juni 2012

Label Rekaman, Masihkah Jadi Pegangan?

Hampir setiap orang yang bergelut di dunia musik baik itu solois atau group, salah satu tujuan untuk karir bermusiknya adalah untuk masuk dapur rekaman, membuat album, laku , sampai popular. Dan label rekaman lah yang bisa mewadahi itu semua. Mereka mengakomodir biaya produksi, promosi, bahkan ada sebagian dengan sengaja mengakomodir hal penunjang lain seperti untuk urusan gossip atau sensasi yag di harapkan bisa mendobrak penjualan albumnya. Ga semua sih, tapi ada lah.

Pertanyaannya adalah di jaman yang serba bajak membajak ini, di jaman yang sudah jaraaang sekali orang peduli betapa membeli karya yang asli itu adalah nafas bagi pelaku industri musik tanah air. Apa masihkah label rekaman itu bisa jadi pegangan?

Sejatinya dalam pikiran setiap orang awam yang silau duluan akan gemerlap industri musik dan rekaman. Mungkin masuk menjadi bagian dari artis suatu label rekaman tertentu adalah suatu nilai kebanggan tersendiri. Tapi apa itu bisa berbanding lurus dengan semua hal yang di tawarkan seperti album yang laku, dan popular. Belum lagi pembagian hasil yang terpaut jauh antara si artis dan pemodal atau si produser rekamannya.

Masihkah label rekaman besar menjadi tujuan seorang musisi untuk menempatkan karya-nya disana?

Sebuah pertanyaan yang di jawab oleh pertanyaan lainnya tentang sebuah rasa skeptis berada dalam negara yang entahlah apa masih ada orang yang berpikir jika suatu karya haruslah di hargai hak ciptanya atau ngga. Solusinya? Para label rekaman gede mensiasati dengan RBT (ring back tone). Sebuah system yang mengalihkan dari hasil produksi penjualan bentuk fisik seperti cd yang entahlah apa masih ada atau sebuah mitos?

RBT sendiri mungkin sedikit lebih menguntungkan di banding jualan dalam bentuk fisik seperti cd tersebut, baik itu buat produser dan artisnya. Tapi jika beneran musisi, siapa sih yang mau lagunya hanya di denger beberapa detik doang. Apa masih bisa lagu yang disampaikan si musisi itu sampai di telinga pendengarnya?. Sebuah karya pun menjadi ‘meaningless’ dan lucunya si musisi ga keberatan karena ngerasa sudah di bayar dan mendapat untung oleh royalty RBT itu.

Lucuu? Iya lucu, ketika si produser berpikir biar lagunya laku, si artis berpikir gimana caranya bikin lagu yang laku, si konsumen berpikir lagu apa yang lagi hits biar dia ngehits pula. Sebuah kombinasi typical mainstreme yang susah banget buat di hilangkan. Karena apa? Karena cara pikir yang skeptis duluan yang menurutnya terlalu riskan untuk mengedepankan sebuah karya yang bagus di banding penjualan yang bagus. Tapi ya sudahlah industri memang seperti itu.

Cara paling kongkrit menyikapi tentang industri musik yang pincang ini adalah balik lagi ke si band-nya itu sendiri. Bagaimana ia menciptakan pasarnya sendiri, fan base yang kuat, musik yang berkarakter, yang sepertinya dengan cara seperti itu akan membuat si band atau musisinya akan bertahan lama di industri, baik itu mainstreme maupun non mainstreme. Balik lagi semua bagaimana kita mengelolanya. Musik yang dangkal akan di hargai dengan dangkal pula, menjadi mudah di cerna dan mudah di lupakan.
Logikanya sederhana sebenarnya. Dengan fan base yang hanya 1000 orang saja sebenarnya si band atau musisi itu bisa bertahan lama di industri, tapi dengan catatan semua fans-nya membeli rilisan fisiknya, datang ke konsernya, beli merchandise-nya. Karena yang membuat si musisi itu ada adalah para pendengarnya/penggemar. Maka dari itulah me-maintence fans itu perlu dan sebaiknya jangan ada jarak anatar si artis dan fans-nya.

Balik lagi ke pertanyaan apa label rekaman masih bisa jadi pegangan?

Berarti jawabannya ada di tangan si penggemar dan bagaimana cara si artis me-maintence si fansnya agar tidak merasa bosan dengan karya yang coba si artis tawarkan. Dengan berbagai inovasi baru, musik yang fresh, lirik lagu yang membangun, juga kedekatan personal jika fans adalah friends.

Semoga industri ini terus ada, baik itu mainstream maupun non mainstream. Setiap musisi butuh wadah untuk berkarya. Karena hal yang paling ironis adalah ketika seorang musisi yang potensial pada akhirnya ragu memberikan karya-nya kepada industri karena alasan ketakutan akan stigma yang di bangun oleh label gede yang dimana pasar adalah segalanya. Yang pada akhirnya si musisi itu sendiri terjebak dalam keasikan mendengarkan lagunya sendiri tanpa berpikir jika apa yang ingin dia sampaikan itu sebaiknya sampai juga ke telinga banyak orang. Dan untuk itulah harusnya industri musik/label rekaman itu ada untuk menyampaikan atau sebagai perpanjangan tangan seorang musisi untuk berkarya.

Semoga harmoni dari keselarasan karya dan media bisa sejalan dengan apa yang seharusnya. Seharusnya seperti apa? Seperti nyanyian pagi yang menggambarkan jika esok mungkin hal baik itu pasti ada, jika memang hari ini tidak.

Dimuat juga di MusicBandung.tumblr.com silahkan baca disini 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar