Anggaplah ini sebuah pengakuan dosa dari saya ketika kemarin saya sempat menjadi dangkal karena keinginan berkarya untuk orang lain dengan menjual diri saya menjadi orang lain yang diharapkan bisa disukai oleh orang lain. Sebuah keinginan paling memalukan yang saya sadari kenapa saya bisa sedangkal itu ya?. Ketika berkarya bukan atas dasar ingin berekspresi, tapi malah mengatas namakan ingin dinilai dan ‘dianggap’. Ah neptunus maafkan hamba.
Jadi ginilah simple nya. Saya ingin karya saya bisa diapresiasi oleh orang yang saya harapkan bisa suka dengan karya saya. Tapi saya mikir lagi, kok si karya nya itu sendiri jadi ga jujur dan ga tulus. Padahal sebuah karya itu mestinya jujur, tulus, dan ketika kita membuat si karya nya itu sendiri kita harus ngerasa nyaman. Iugfiuagfgffb………….skip basa basi
Entahlah mesti dengan kalimat apa untuk membuka bahasan kali ini. Betapa kalimat pembuka yang penuh basa basi barusan begitu sangat membingungkan dan tidak lugas. Jadi gini lah simple nya (kayanya udah nulis ini deh barusan). Jadi kemaren itu saya sempat hampir melakukan sebuah dosa dengan mengingkari diri saya sendiri dan jadi seperti apa saya dengan apa yang saya buat. Menjadi orang lain untuk dinilai orang lain. Kasta nya sama dengan ketika seseorang berkarya untuk pasar lah. Palsu, mengada-ngada dan dangkal. Tapi untungnya sih saya keburu sadar dan kembali ke ‘roots’ saya lagi kepada pemahaman jika sebuah karya adalah bentuk ekspresi diri dari pengalaman, perasaan dan daya hayal. Menurut guru wawasan seni saya sih gitu. Namanya bu Nuring. Dia udah pensiun sekarang. Maklum lah sudah tua. Terus sekarang dia tinggal di……
Tinggal dimana ya bu Nuring? Lepas dari polemik tempat tinggal bu nuring, mari kita luruskan tentang atas dasar apa kita berkarya. HAAAH? KITAA? Iya saya.
Pertama : Sebuah karya itu harus lahir karena kenyamanan kita ketika membuat si karya nya itu sendiri.
Misalnya saya yang sangat menyukai folk sebagai musik yang saya pikir nyaman untuk saya mainkan. Ya sebaiknya saya tetep di jalur itu, karena folk buat saya mewakili karakter yang ingin saya tampilkan. Persamaan musik dan nulis story telling adalah keduanya disatukan oleh folk. Dimana folk itu sendiri adalah cerita yang dilantunkan melalui nada. Intinya saya seneng bercerita sih. Jadi ketika cerita itu ingin diutarakan, ya salah satunya lewat folk. Meskipun setiap musik juga sebenernya adalah pesan yang dilantunkan melalui nada. Entah itu jazz, rock, pop, punk, dan segala macam jenis musik lainnya. Tapi menurut saya folk lebih personal intens dan hangat. Sama halnya ketika kita bercerita dengan teman dekat kita di suatu senja dengan secangkir teh hangat dan biskuit coklat. Folk juga melambangkan kesederhanaan, dimana folk itu sendiri hanya bermodalkan satu alat musik saja seperti gitar atau mungkin satu dua penambahan alat musik lainnya, tapi yang lebih simple sih, ga sampai se heboh musik rock atau bahkan music orchestra dengan padu padan berbagai macam alat musik yang bersinergi untuk sebuah harmoni yang megah. Folk se simple saya bercerita yang diiringi gitar.
Itu sih menurut saya tentunya. Yang mana darimana oleh karena yang bagaimana gimana nya, banyak juga orang yang mengartikan folk itu seperti apa menurut mereka. Ya itu urusan mereka dengan pemahaman mereka.
Folk itu seperti Achong yang bercerita tentang Anto
Kedua : Sebuah karya itu harus jujur dan ga maksa.
Misalnya saya yang ga ngerti politik sama sekali, maka ya karya yang dibuat juga sebaiknya ga usahlah yang bertema politik. Tidak lantas karena Efek rumah kaca begitu hebat dengan lagu politiknya, lantas saya ingin dinilai hebat juga dengan membuat lagu politik. Ya jadinya maksa dan ga jujur. Untuk sesuatu yang maksa dan ga jujur itu memang ngga banget dan yaaaa agak gimanaaa gitu. Mau bukti? Lihat deh kalo saiful jamil lagi nyanyi. Nah kaya gitu lah ngga banget nya. Untuk yang iya banget nya itu kita bisa lihat band Teenage Death Star (TDS) dengan ‘skill is dead lets rockin’ nya yang sengaja saya jadikan judul di bahasan ini. Karena apa? Karena mereka mewakili semua pemahaman yang saya percaya benar tentang bagaimana seharusnya kita berkarya.
HAAH? KITAA? Iya saya. Artiannya bukan lantas menjadi ngasal dalam berkarya karena jargon ‘skill is dead lets rockin’ itu tadi. Tapi lebih ke…jujur atau ngga nya kita ketika berkarya. TDS sangat menyadari jika skill mereka dalam bermusik itu 0,5 (jika tidak ingin dikatakan nol :p) tapi spirit mereka untuk main musik tetep menyala, dan akhirnya lahirlah sebuah rock yang kasar, brutal, berisik, semrawutan, and all the fucking shit you named it. Keterbatasan tidak menjadi penghalang. Skill bermusik, fasilitas, kondisi se ‘tai’apapun, selama spirit berkarya nya itu ada dan dibarengi atas dasar kejujuran akan keinginan berekspresi ya GO A HEAD. Dan percaya atau tidak si TDS malah dianugrahi sebagai band rock terbaik di sebuah majalah disini karena kejujuran mereka tentang seperti apa musik yang ingin mereka buat. Dan ya sialnya emang bagus sih musiknya. Tai kalian.!!!
Skill is dead lets rockiiiiiiin.!!!
Ketiga : Membuat karya itu harus ikhlas.
Nah kalo yang ini adalah tentang bagaimana ketika sebuah karya itu akhirnya publish dan diapresiasi oleh orang yang disuguhi karya itu. Pendapatnya bisa beragam. Ada yang suka ada yang ngga, ada yang suka banget ada yang benci banget. Dan sebenernya itu mah udah berdasar kepada sesuatu yang pasti sih, dimana tidak ada satupun di dunia ini yang orang suka semua dan benci semua. Pro dan kontra itu adalah kepastian, ga mungkin ngga.
Jadi?
Jadi ketika karya yang dibuat ternyata tidak diapresiasi sesuai dengan yang diharapkan ya ikhlas aja. Ga mungkin juga memaksakan semua orang untuk suka dengan apa yang kita buat. Jika ada begitu banyak orang yang sangat benci dengan apa yang kita buat, maka percaya deh akan ada banyak orang juga yang suka dengan apa yang kita buat. Bagus jelek semua relatif dan sesuai selera sih itu mah. Sebagus bagusnya Radiohead akan ada aja orang yang ga suka. Sejelek jeleknya kangen band akan ada aja orang yang suka. Ya se simple itu lah.
Suka atau tidak nya kamu sama apa yang aku buat. Terima kasih karena udah support aku sejauh ini. Kamu, iya kamu. Makasih ya. Ounyonyo :3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar