Selasa, 19 Januari 2016

#NOWPLAYING TIGAPAGI - TANGAN HAMPA KAKI TELANJANG

Semoga kegelisahan ini tetap terpelihara bersamaan dengan akal sehat tentunya. Jangan dibarengi serupa bipolar pada pikiran yang memudar, terpenjara dogma atau malah sebaliknya. Orang emang mesti mikir untuk bisa selaras dengan rima. Ada dalam persinggahan menuju ruang sebenar-benarnya ruang tanpa perdebatan. Sehingga tentang alibi pembenaran diri sendiri terasa dangkal, karena apa yang bisa disangkal dari kematian? Jika saja tak terlahir dengan pertanyaan akan kemana. 

Untuk satu kehidupan yang pasti berhadapan dengan kematian, maka apa hebatnya dunia. Sebuah persinggahan sementara,yang aku harapkan berlebih tentangnya. Tapi namanya juga manusia. Kalau tak terasing dalam paham sinis seorang yang logis, ya berarti konsekuensi hati yang teriris. Karena konteksnya sendiri miris dengan ilusi yang teriritasi oleh gambar kenangan tentang senyum, yang sebenarnya mungkin saja itu palsu. 

Aku pernah berujar kepada seorang kawan jika kehidupan setelah kehidupan di dunia akan menyenangkan, karena semuanya sudah berakhir dengan ditandai kehidupan baru nan abadi, yang semoga saja surga itu memang ada, dan aku berada di dalamnya. Semuanya ada disana, semua yang aku pinta akan tersedia. Tapi lalu kawanku berujar, kalau semua yang kita inginkan begitu mudah kita dapatkan, maka apa menariknya? Kehidupan yang abadi dengan semua kesenangan itu akan membosankan menurutnya.

Akhir cerita adalah hal paling tidak menarik dari sebuah tulisan. Baik dalam film, sebuah lagu, atau sebuah buku. Setelah berakhir dengan titik di halaman terakhir, maka apa setelah itu? Pernah nonton Titanic ga? Hal paling tidak menarik di film itu adalah adegan terakhirnya. Dari awal kita tahu jika kapalnya akan karam. Namun karena apa dan kenapa kapalnya bisa karam, itu yang membuat film ini jadi menarik. Pun dengan aku. Dari awal aku tahu jika aku hidup untuk mati. Tapi karena apa dan kenapa aku bisa mati, itu yang membuat cerita ini bisa aku tulis. Atau benar kata Soe Hok Gie, ketika dia berujar jika nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan. Makhluk kecil kembalilah dari tiada ke tiada. 

Jika saja bisa lebih dari sekedar asumsi, kiranya ini tak sekedar jadi selayang menerawang jalan yang harus kutapaki. Tapi aku benar-benar berjalan dengan kerikil yang kuinjak dengan kaki telanjang. Menggenggam pasir yang berjatuhan diantara celah tangan, dan bener saja jika aku masih tertidur dengan mimpi yang masih saja sama. Aku terbangun hanya untuk mengiyakan itu. 

(klik gambar unutk mendengarkan lagunya)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar