Sebenernya ini kejadian dua minggu lalu. Cuma baru sempet saya tulis di blog sekarang. Jadi, ceritanya pas hari minggu dua minggu kemarin. Hari minggu dua minggu kemaren? aneh ga sih kalimatnya? ............ pada hari minggu tanggal 31 januari 2016 waktu itu. Tepat sehari setelah saya berumur 28 tahun, dan gagal bunuh diri karena merasa tidak keren mati di usia lebih dari 27 tahun, sebab tidak akan masuk club 27 seperti Kurt Cobain atau Jimi hendrix, yang mati di usia 27 tahun. Saya dan ibu saya lari pagi, atau lebih tepatnya jalan-jalan pagi sambil cari sarapan. Standarlah kebiasaan kaum urban di minggu pagi, jalan-jalan buat sekedar cuci mata atau belanja, setelah 6 hari kerja atau dikerjain.
Tujuan saya dan ibu saya waktu itu jalan-jalan ke Pemda, yang dulunya itu juga merupakan kantor tempat ayah saya bekerja. Ditempat itu memang biasa jadi arena pasar kaget tiap minggu pagi. Ada yang murni berolahraga, namun tak sedikit juga yang cuma sekedar belanja. Macem-macem lah, tergantung niat dan kesempatan si pelakunya. Namun ada yang berbeda di minggu pagi waktu itu. Ada semacam acara yang dibuat pihak pemda dalam rangka cari muka pak Bupati mempererat tali silaturahmi antar warga Soreang dan sekitarnya.
Selain banyak orang yang berolahraga dan berjualan, arena Pemda juga kedatangan beberapa komunitas yang salah duanya tidak asing bagi banyak orang. Seperti para pemain sinetron Preman Pensiun, yang kala itu berjualan kaos official merch dari sinetron mereka. Banyak orang yang datang beli kaos dengan imbalan foto bareng para pemain sinteron itu. Hiburan rakyat yang menjadi komoditas dalam ruang lingkup garis ideologi UKM berbasis kapitalis. Halah. skip....next.
Itu salah satunya. Salah duanya ada juga komunitas yang menamakan diri mereka Paguyubuan Asep. Sebuah nama yang khas atau identik dengan orang sunda. Asep bukan sekedar nama, tapi juga identitas yang jelas darimana dia berasal, seperti halnya Ucok dari tanah batak, atau Sukarno, Suharto, Susilo, dan Widodo dari jawa (ingat : jawa adalah kunci).
Maka dari itu komunitas ini cukup menarik, dan membuat saya kepikiran juga gimana kalo misalnya ada komunitas/paguyuban atas nama Angga, mengingat nama Angga juga ada banyak. Waktu saya sekolah saja setidaknya ada tujuh orang bernama Angga yang saya kenal. Ada Angga Bernando, Angga Prasetya, Angga Fauzi, Angga Kusuma, Angga Pratama, dan Angga gitu juga kali (Ey bodor). Yang karena kebanyakan nama Angga itu pulalah akhirnya saya punya nama panggilan Wenky, dari yang tadinya bernama Angga Wiradiputra, dan sempat dipanggil Mandra. Uniknya bukan cuma saya saja yang punya nama panggilan. Hampir semua yang bernama Angga yang saya kenal juga punya nama panggilan. Angga Bernando dipanggil Bobbi, Angga Prasetya dipanggil Grand (atau teman-teman saya sering menambahkan kata dong ke dia, jadi Grandong), dan banyak lagi Angga Angga lain yang punya nama panggilan juga, kaya hei hei atau oi oi (Ey bodor part 2).
Namun nama Angga tidak sekuat nama Asep jika merunut pada satu kekhasan yang dihubungkan dengan suku tertentu. Terlalu melebar mungkin ya. Saya aja asal usulnya macem-macem. Gabungan sunda, tiongkok, dan Cimindi.
Tapi tapi itu hanya kiasan....juga juga suatu pembenaran. Atas bujukan setan hasrat yang dijebak zaman, kita belanja terus sampai mati. Bukan itu sih. “Gong” nya bukan itu. Hari minggu itu gongnya yakni ketika kedatangan Mama Dedeh. Sang ustadzah yang sering marah-marah ceramah di TV. Saya dan ibu saya ga tau kalo hari itu bakal ada Mama Dedeh, makanya ga ada persiapan apa-apa dari kita. Namun untuk pertama kalinya saya liat ibu saya begitu antusias, dan keliatan banget senengnya ketemu Mama Dedeh. Sampe mobil si mama disambut, biar ibu saya bisa salaman dengan sang ustadzah. Hal yang mungkin akan saya lakukan juga kalo ketemu Dave Grohl atau Iwan Fals lah kayaknya.
Bukan tanpa alasan kenapa sampai ibu saya bisa mengidolakan Mama Dedeh. Semenjak ayah saya meninggal, diakui atau tidak ada semacam guncangan untuk kami sekeluarga, tak terkecuali ibu saya. Semenjak itu Ibu banyak menghabiskan waktunya untuk lebih dekat dengan “BOS BESAR”. Setiap habis sembahyang subuh ibu selalu menyempatkan waktunya untuk nonton TV dengerin ceramah, termasuk ceramah dari Mama Dedeh. Mungkin karena retorika Mama Dedeh yang berapi-api itu ibu saya menemukan semangatnya kembali. Tak jarang pula isi ceramahnya berkisah tentang menjadi single parent yang kuat dan mandiri. Ibu saya seperti menemukan sosok yang sama dengan dirinya. Seperti halnya ibu saya, Mama Dedeh juga bekerja sendiri dan menjadi single parent setelah kematian suaminya. Setidaknya itu yang sayup-sayup saya dengar dari ceramah Mama Dedeh dengan volume maksimal, yang sengaja dibuat seperti itu agar saya bangun untuk sembahyang subuh.
Mengingat rumah saya terdiri dari unsur 4 L (Lu Lagi Lu Lagi), yang ibaratnya voice over seperti di sinetron kaya kalimat “liat saja pembalasanku. hhhmm” itu bisa terdengar, karena rumah kami yang tidak terlalu besar. Singkatnya, suara Mama Dedeh itu selalu berhasil merusak pagi saya, yang sedang bermimpi indah seperti balikan sama mantan bertemu Chelsea Islan misalnya. Karena hal itulah akhirnya saya kurang suka dengan Mama Dedeh.
Tapi yang terjadi di Minggu pagi itu tidak pernah terbayang sebelumnya akan terjadi di hidup saya. Saya terjebak diantara lautan ibu-ibu menyaksikan ceramah Mama Dedeh. Salah satu awkward momen di hidup saya, apalagi mengingat baju yang saya pakai di “pengajian” minggu itu, bergambar -katakanlah- setan dengan gaya tulisan berdarah-darah. Lalu sejauh mata memandang terhampar lautan ibu-ibu berbaju muslimah yang baik dan siap mendengar ceramah. Hanya dua orang yang terlihat “aneh” di pengajian mama Dedeh kala itu. Pertama saya yang memakai kaos -katakanlah- metal, dan ibu saya yang memakai pakaian olahraga. Momen awkward ini makin bertambah ketika ada ibu-ibu nanya ke saya “ncep kunaon eta kaosna gambar setan kitu?” yang dalam bahasa Indonesia berarti “nak, kenapa itu kaosnya kok gambar setan?”.
Sebenernya ibu saya udah playing victim sih pas dia bilang “yaudah a gausah liat mama Dedeh ceramah, nanti ibu liat di TV aja, gapapa lah”. Tapi tau sendiri kan perempuan, dalam kamus bahasanya tidak sesuai dengan KBBI. Bagi perempuan iya berarti tidak, dan tidak berarti iya, yang itu artinya “yaudah a jangan pulang, liat Mama Dedeh dulu ceramah disini. Kapan lagi kan liat Mama Dedeh secara langsung”. Jadi, akhirnya saya duduk bersila menyaksikan Mama Dedeh ceramah selama...... 1,5 jam.
Saya ga ingat isi ceramah Mama Dedeh waktu itu, selain dia yang sering memuji pak Bupati yang juga datang dan duduk di panggung. Yang saya ingat itu cuma wajah ibu saya yang keliatan seneng banget waktu itu. Wajah yang cukup jarang saya liat, selain dari muka datar ibu setiap harinya. Hari itu ibu saya keliatan berbeda dengan binar matanya. Ga sadar saya jadi nangis liat itu (tentunya tidak dihadapan ibu saya) | ilustrasi : memalingkan muka dari ibu saya, kepala menunduk dan merembeslah itu air mata sedikit demi sedikit.
Rasanya jarang banget saya bikin ibu saya senang. Padahal dengan hanya nemenin ibu liat Mama Dedeh saja, ibu udah seneng banget. Kemudian saya mikir, ketika saya ngejar kebahagiaan saya sendiri itu rasanya ga akan sebesar ketika saya ngebahagiain orang lain (yang dalam hal ini ibu saya). Bikin orang lain (selain diri sendiri) seneng itu rasanya melegakan sekaligus menenangkan, meskipun harus dengan cara mengalahkan ego sendiri. Kaya orang bayar hutang lah. Kalo bayar hutang kan yang seneng orang yang berpiutang. Kalo hutangnya ga dibayar bisa jadi saya yang senang karena saya tetep punya uang, dan bisa saya simpan. Tapi saya ga tenang, karena nyatanya uang itu bukan milik saya.
Sama lah kaya kamu. Iya kamu. Pas kamu minta lepas dari aku, yaudah aku akhirnya lepasin kamu, kalo memang dengan cara itu kamu bisa senang. Aku bisa aja ngejar sampai aku dapetin kamu balik. Tapi ternyata aku udah ga bisa lagi ngejar kebahagiaan aku sendiri. Kalaupun aku bisa dapetin kamu balik, mungkin itu ga ngejamin aku bisa tenang juga, kalo ternyata Tuhan bilangnya kamu bukan milik aku. Silakan bahagia dengan cara dan selera masing-masing. Eeeaaa ea ea ea mulai.
Rasanya jarang banget saya bikin ibu saya senang. Padahal dengan hanya nemenin ibu liat Mama Dedeh saja, ibu udah seneng banget. Kemudian saya mikir, ketika saya ngejar kebahagiaan saya sendiri itu rasanya ga akan sebesar ketika saya ngebahagiain orang lain (yang dalam hal ini ibu saya). Bikin orang lain (selain diri sendiri) seneng itu rasanya melegakan sekaligus menenangkan, meskipun harus dengan cara mengalahkan ego sendiri. Kaya orang bayar hutang lah. Kalo bayar hutang kan yang seneng orang yang berpiutang. Kalo hutangnya ga dibayar bisa jadi saya yang senang karena saya tetep punya uang, dan bisa saya simpan. Tapi saya ga tenang, karena nyatanya uang itu bukan milik saya.
Sama lah kaya kamu. Iya kamu. Pas kamu minta lepas dari aku, yaudah aku akhirnya lepasin kamu, kalo memang dengan cara itu kamu bisa senang. Aku bisa aja ngejar sampai aku dapetin kamu balik. Tapi ternyata aku udah ga bisa lagi ngejar kebahagiaan aku sendiri. Kalaupun aku bisa dapetin kamu balik, mungkin itu ga ngejamin aku bisa tenang juga, kalo ternyata Tuhan bilangnya kamu bukan milik aku. Silakan bahagia dengan cara dan selera masing-masing. Eeeaaa ea ea ea mulai.
Kembali ke soal Mama Dedeh. Kayaknya belum lengkap hidup seseorang kalo belum kejebak di pengajian ibu-ibu dengan memakai baju metal, atau so called "kaos setan" (seperti yang si ibu-ibu bilang diatas). Jika Soleh Solihun pernah bilang belum lengkap hidup seseorang kalo belum kejebak di seminar MLM, maka saya yang pernah kejebak di pengajian Mama Dedeh, dan pernah juga kejebak seminar MLM, hidupnya udah lengkap banget. Yang belum lengkap cuma pendamping hidup saja. Eeeaaa kesana lagi. Yaudah lah segitu saja ceritanya. Sampai bertemu di postingan selanjutnya.
Graciaz Brigh
Graciaz Brigh
Mamaaaaaaaa.................curhaaaaaaaat dooooooooooooooong.......................
Ps : Tidak ada foto, karena waktu itu saya ga bawa HP atau kamera, atau alat sejenis untuk merekam gambar maupun video. Paling ada tautan beritanya saja. silakan klik disini dan disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar