“i am not a writer, i am a strory teller”. Kutipan itu saya comot dari bio twitternya Sir Dandy. Seorang seniman merangkap musisi serampangan yang pernah ada di Indonesia. Kutipannya menarik. Entah itu memang Sir Dandy sendiri yang buat, entah dia juga ngutip punya orang. Yang jelas kutipan itu terasa relevan dengan saya. Saya selalu malu menyebut diri saya penulis, meskipun saya sangat suka menulis. Selain musik, tulis menulis adalah hiburan sekaligus terapi paling masuk akal buat saya. Namun sama halnya saya yang malu dibilang musisi, disebut penulis pun rasanya saya sungkan, mengingat secara teknikal maupun esensial saya jauh dari ideal untuk mendapat sebutan seperti itu. Saya lebih suka disebut pencerita, karena pada dasarnya apa yang saya tulis itu adalah sebuah cerita.
Seringnya saya bercerita tentang apapun yang saya lihat dan saya rasa. Dan akhir-akhir ini saya baru menyadari satu hal, jika apapun yang saya lihat ternyata tidak bisa saya jadikan subjek, melainkan objek. Karena subjeknya itu sendiri adalah saya. Ketika menyadari itu maka tidak ada bahasan personal tentang seseorang, dan hal yang saya dapat akhirnya menjadi sebuah refleksi/cermin diri.
Seperti ini lah contoh kecilnya. Ketika ada seorang teman yang menyebalkan, jika dia saya jadikan subjek, cerita yang akan saya tulis adalah tentang betapa menyebalkannya teman saya itu. Maka kalimat dalm cerita yang saya tulis akan seperti ini “teman saya menyebalkan, dan oleh karena itu saya sangat membencinya”. Tapi jika dia saya jadkan objek, dan tidak ada entitas personal disana, maka cerita yang akan saya tulis akan seperti ini, “saya punya teman yang saya pikir menyebalkan. Mungkin dia menyebalkan karena saya yang kurang pintar memilih teman. Ditambah mungkin juga ada kesalahan saya di masa lalu, sehingga saya diberi pengalaman dengan seorang teman yang menyebalkan, biar saya mikir jadi orang yang menyebalkan itu bisa bikin orang lain sebal ”.
Ketika menjadi subjek, teman saya ini yang salah karena telah berperilku menyebalkan sama saya. Tapi ketika dia jadi objek, saya lah yang salah karena tidak pintar memilih teman. Dan ketika menyadari itu maka ada sebuah hikmah atau refleksi diri yang saya dapat. Sedangkan ketika menyalahkan orang, saya tidak dapat apa-apa selain rasa benci. Dan benci itu penyakit hati. Penyakit hati itu sumber dari segala penyakit. Dan obat penyakit hati adalah refleksi diri.
Namun jika saya mikir lebih jauh lagi, semua hal yang saya lihat itu seperti ilusi, termasuk diri saya sendiri. Tiap kali saya ngaca, saya lihat mata saya agak sipit, rambut saya hitam, kulit saya putih, hidung dan gigi saya agak besar. Ternyata itu ilusi jika saya mau mikir lebih jauh lagi. Karena jauh sebelum saya menyadari ciri-ciri fisik saya ini, saya adalah sebuah cerita yang ditulis. Tidak ada yang real ketika semua ini suatu saat akan berakhir, dan setiap cerita yang ditulis selalu akan ada akhirnya. Maka ketika saya berakhir, mata sipit ini, rambut hitam ini, gigi besar ini pun akan hilang.
Seperti halnya ayah saya, suatu saat saya juga akan menghilang, dan yang tersisa hanya ceritanya saja. Sebagian orang akan mengenangnya, sebagian melupakannya. Saya tidak tahu akan dikenang seperti apa. Saya juga tidak tahu cerita seperti apa yang orang tulis tentang saya ketika saya menghilang. Mungkin tidak banyak yang menceritakan juga seperti halnya banyak orang yang bercerita tentang Soekarno atau Soeharto. Dan sebelum semuanya benar-benar selesai, saya ingin menceritakan orang-orang yang ada di hidup saya. Bukan sebagai personal, melainkan sebagai alasan kenapa mereka datang di hidup saya.
Kemaren saya bertemu dengan Bew teman saya. Ngobrol ngalor ngidul kesana kemari, sampai ada disatu titik pembicaraan si Bew yang merasa perlu berterima kasih sama semua teman-temannya, yang diakui atau tidak kontribusi teman-temannya itu secara langung maupun tidak, membentuk pribadi maupun cara pandang si Bew ini. Terus saya mikir bener juga ya. Kadang saya kalo mikir suka kejauhan, dan ga sadar kalo yang membentuk pribadi atau cara pandang saya itu ternyata orang-orang disekitar saya sendiri.
Lepas dari pengaruh didikan dan “doktrin” orang tua, nyatanya ada banyak orang diluar rumah yang membentuk pribadi saya, dari mulai selera sampai cara saya memandang sesuatu. Sadar ga sadar disetiap pengalaman yang saya lewati bareng teman-teman saya ini, biasanya ada perspectif teman-teman saya ini yang saya iyakan, dan pada akhirnya itu berpengaruh pada pribadi saya hari ini. Bisa dikatakan kepingan-kepingan(.....metafor yang aneh) dari sifat atau pribadi teman-teman saya ini akhirnya diakui atau tidak nempel di diri saya. Dan dari banyaknya teman saya, orang-orang berikut inilah yang saya akui punya pengaruh membentuk pribadi saya hari ini.
BEAN & ALDI
Bean dan Aldi itu teman sekolah saya di SMK. Mereka adalah alasan paling masuk akal kenapa saya pergi ke sekolah. Dan yang membuat saya betah berteman dengan mereka adalah karena selera humornya. Selera humor mereka itu aneh, dan biasanya jarang ada yang bisa ngerti. Kalo menurut istilah stand up comedy-an sekarang sih disebutnya absurd. Tapi kalo menurut saya mah humornya itu bergaya komikal, karena ilustratif jika dilempar secara verbal, dan gimmick nya lucu. Saya selalu tertawa dengan jokes yang mereka lempar. Bahkan sampai hari ini kalo saya lagi bengong sendirian, lalu inget jokes mereka biasanya secara reflek saya tertawa. Bean dan Aldi ini mengingatkan saya jika selalu ada hal yang bisa ditertawakan. Karena kan katanya hidup itu senda gurau belaka. Bean dan Aldi ini juga bisa dibilang saksi sejarah diera kenakalan remaja saya, dan bahkan mungkin kenakalan kami bertiga. Soalnya kami nakalnya bareng, dan kenakalan pertama kami dimulainya barengan. Dulu sih bisa berbangga hati dengan kenakalan itu. Tapi kalo diinget sekarang mah malu. But good old day. Thank you for the memories
EKO
Eko ini temen SMP saya. Dulu saya sebangku sama dia. Orang pertama yang ngenalin saya dengan Green Day dan Slipknot. Hal yang bisa saya ambil dari dia itu adalah tentang bagaimana menjadi sebaik-baiknya manusia. Menurut ajaran agama yang saya pegang, sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang berguna bagi manusia lainnya. Nah Eko ini bisa dikatakan seperti itu. Tangannya selalu siap buat bantu siapapun yang butuh bantuannya, dan mungkin karena hal itulah pada akhirnya skill dia juga banyak. Dia ngerti teknologi, ngerti otomotif, ngerti musik, ngerti bola, dan ngerti semua obrolan cowok itu akan mengarah kemana. Dan saya berhutang banyak hal sama dia.
EBBIE
Ebbie ini vokalis saya di band tamankota dan Clubwater. Dia ini orangnya ngepop banget menurut saya. Tidak hanya hatam lagu-lagu britpop atau indiepop, tapi secara karakter dia juga ngepop banget. Dia seorang yang melankolis dengan pendekatan perspectif lagu-lagu yang dia dengarkan. Saya belajar banyak soal musik dan cara ngenakin lagu dengan dia. Seringnya pada proses kreatif kami di band, biasanya saya datang dengan lagu mentah. Sama Ebbie inilah lagu mentah tadi di enakin (agak saru juga “enakin” :p). Dia tau cara memilih nada lagu yang enak, dan cara bernyanyi yang enak. Pemahaman dia soal esensi setiap lagu yang dia dengerin, pada kenyataannya banyak membantu saya menulis resensi atau review sebuah lagu/album dari banyak band/musisi yang saya dengar. Dia itu non teknikal, jadi pendekatannya lebih ke isi lagu, dan alasan kenapa si musisi menulis lagu seperti itu. Penjabaran dia akan sebuah lagu bisa panjang dan dalam.
ZY & BOBBIE
Sebuah kata bisa menjadi bermakna luar biasa bisa juga bermakna biasa saja. Misalnya kata debu. "Di jalan banyak lalu lalang kendaraan, dengan asap knalpot dan debu yang membuat polusi". Penggunaan kata debu di kalimat tadi akan jadi biasa saja. Namun jika kata debu ditulis seperti ini, "Pada siapa mohon perlindungan, debu-debu berterbangan". Kata debu menjadi punya makna dalam, yang bahkan kalimat itu ditulis di dalam kitab suci Al-quran suart Al-ashr. Zy dan Bobbie adalah dua orang yang saya hormati secara skill mereka menulis. Cara mereka merangkai kata menjadi punchline dengan hook yang nonjok membuat saya kagum. Zy canggih dalam hal membuat prosa, sedangkan Bobbie jeli dalam membuat ulasan/review/resensi. Angle yang Bobbie maupun Zy buat bisa membuka perspectif baru buat saya, dan saya berhutang ilmu menulis dari mereka.
FERRY "BEW"
Ferry adalah orang yang saya kenal baru-baru, tepatnya ketika saya bekerja di Slasher setahun yang lalu. Karakter dia sebenernya bertolak belakang dengan saya yang pasif. Rasanya semua hal bisa dia kerjakan dengan energi dia yang sepertinya tidak pernah habis. Dia adalah orang yang bisa membawa saya ke level berikutnya secara skill saya. Menurut dia semua orang bisa dan layak melakukan apa saja yang disukai. Dia itu pecandu spontanitas dalam hal kreatifitas. Jika saya terlalu banyak mikir sebelum membuat sesuatu, nah Ferry ini biasanya main hajar saja. Dia bisa membawa atmosfir kreatif di lingkungan kerja saya, dan itu menyenangkan. Satu hal yang sebelumnya tidak saya dapatkan dimanapun. Ide-idenya tidak jarang bikin saya geleng kepala karna mikir, "kok bisa dia berpikiran kesana". Sederhananya ketika saya memandang sebuah botol minuman, maka yang saya lakukan adalah ngambil botolnya dan minum airnya, selesai sampai disitu. Sedangkan jika dia yang melihat botol minuman itu, selain dia akan mengambil dan meminum air didalamnya, botol bekasnya tidak langsung dibuang, tapi dia cat botolnya, dia gambarin, dan dijadikan pajangan. Dia menganggap hal apapun bisa jadi sebuah kreasi. Saya berhutang sama dia, akan dunia yang saya lihat menjadi tidak lagi membosankan jika disentuh dengan unsur kreatifitas.
HADDY "nday"
Satu hal yang bisa menggambarkan dia adalah kata santai. Cara dia memandang apapun santai dan tanpa beban. Ini satu hal yang tidak saya punya. Saya orangnya panikan, dan gampang keganggu sama pikiran-pikiran yang sebenarnya ga penting. Akhir-akhir ini saya sering bertukar pikiran dengan dia, dan cara dia memandang sesuatu itu biasanya bisa bikin saya tenang. Karena toh nyatanya hal buruk pasti terjadi selain dari hal yang menyenangkan, dan itu hal yang wajar. Namanya juga hidup. Sederhananya seperti itu. Meskipun hidup nyatanya tidak sesederhana itu, tapi setidaknya kita bisa istirahat dengan berpikir santai sejenak, untuk kembali melanjutkan hidup.
PUPUH
Kadang saya melihat diri saya di dalam diri Pupuh. Meskipun latar belakang kami berbeda, kadang ketika saya sharing atau bertukar pikiran sama dia, saya menemukan kesamaan cara pandang. Mungkin satu kesamaan saya sama dia adalah kami sama-sama penonton. Saya tidak pernah begitu vokal dalam menyuarakan sesuatu, dan sepertinya dia juga begitu. Tapi kami selalu punya tempat akan sebuah asumsi di pikiran masing-masing, dan biasanya malas untuk diperdebatkan. Sebagai "bos" saya di tempat saya bekerja, selain secara finansial, saya juga berhutang banyak hal selama saya bekerja di tempatnya.
Masih banyak sebenernya orang-orang yang saya pikir saya perlu berterima kasih kepada mereka. Iqlima, Diaz, Dina, Ayu, Geu-Geu, Zy, Bunga, Hani, Sinta. Sebagai satu keutuhan cerita mereka adalah sebuah peran. Saya adalah sebuah peran, dan personalitas dalam diri kami adalah sebuah cerita, kalaupun harus dikatakan seperti itu. Kenyataan bahwa kami semua adalah ilusi, menurut saya itu yang paling masuk akal untuk saya saat ini. Tuhan adalah penulis yang sebenarnya, saya adalah pencerita dari buku yang ditulisNya. Saya tidak bisa mengubah jalan cerita dari buku yang saya baca, selain meneruskan membaca buku itu sampai pada titik terakhir. Kemudian saya menghilang, dan orang-orang yang saya ceritakan tadi juga menghilang. Lalu kemudian saya memerankan peran lain di buku yang lain. Mereka juga memerankan peran lain di buku yang lain. Mungkin kami akan bertemu di halaman yang sama di buku baru, mungkin juga tidak. Tidak ada satupun yang tahu, selain penulisnya itu sendiri.
ZY & BOBBIE
Sebuah kata bisa menjadi bermakna luar biasa bisa juga bermakna biasa saja. Misalnya kata debu. "Di jalan banyak lalu lalang kendaraan, dengan asap knalpot dan debu yang membuat polusi". Penggunaan kata debu di kalimat tadi akan jadi biasa saja. Namun jika kata debu ditulis seperti ini, "Pada siapa mohon perlindungan, debu-debu berterbangan". Kata debu menjadi punya makna dalam, yang bahkan kalimat itu ditulis di dalam kitab suci Al-quran suart Al-ashr. Zy dan Bobbie adalah dua orang yang saya hormati secara skill mereka menulis. Cara mereka merangkai kata menjadi punchline dengan hook yang nonjok membuat saya kagum. Zy canggih dalam hal membuat prosa, sedangkan Bobbie jeli dalam membuat ulasan/review/resensi. Angle yang Bobbie maupun Zy buat bisa membuka perspectif baru buat saya, dan saya berhutang ilmu menulis dari mereka.
FERRY "BEW"
Ferry adalah orang yang saya kenal baru-baru, tepatnya ketika saya bekerja di Slasher setahun yang lalu. Karakter dia sebenernya bertolak belakang dengan saya yang pasif. Rasanya semua hal bisa dia kerjakan dengan energi dia yang sepertinya tidak pernah habis. Dia adalah orang yang bisa membawa saya ke level berikutnya secara skill saya. Menurut dia semua orang bisa dan layak melakukan apa saja yang disukai. Dia itu pecandu spontanitas dalam hal kreatifitas. Jika saya terlalu banyak mikir sebelum membuat sesuatu, nah Ferry ini biasanya main hajar saja. Dia bisa membawa atmosfir kreatif di lingkungan kerja saya, dan itu menyenangkan. Satu hal yang sebelumnya tidak saya dapatkan dimanapun. Ide-idenya tidak jarang bikin saya geleng kepala karna mikir, "kok bisa dia berpikiran kesana". Sederhananya ketika saya memandang sebuah botol minuman, maka yang saya lakukan adalah ngambil botolnya dan minum airnya, selesai sampai disitu. Sedangkan jika dia yang melihat botol minuman itu, selain dia akan mengambil dan meminum air didalamnya, botol bekasnya tidak langsung dibuang, tapi dia cat botolnya, dia gambarin, dan dijadikan pajangan. Dia menganggap hal apapun bisa jadi sebuah kreasi. Saya berhutang sama dia, akan dunia yang saya lihat menjadi tidak lagi membosankan jika disentuh dengan unsur kreatifitas.
HADDY "nday"
Satu hal yang bisa menggambarkan dia adalah kata santai. Cara dia memandang apapun santai dan tanpa beban. Ini satu hal yang tidak saya punya. Saya orangnya panikan, dan gampang keganggu sama pikiran-pikiran yang sebenarnya ga penting. Akhir-akhir ini saya sering bertukar pikiran dengan dia, dan cara dia memandang sesuatu itu biasanya bisa bikin saya tenang. Karena toh nyatanya hal buruk pasti terjadi selain dari hal yang menyenangkan, dan itu hal yang wajar. Namanya juga hidup. Sederhananya seperti itu. Meskipun hidup nyatanya tidak sesederhana itu, tapi setidaknya kita bisa istirahat dengan berpikir santai sejenak, untuk kembali melanjutkan hidup.
PUPUH
Kadang saya melihat diri saya di dalam diri Pupuh. Meskipun latar belakang kami berbeda, kadang ketika saya sharing atau bertukar pikiran sama dia, saya menemukan kesamaan cara pandang. Mungkin satu kesamaan saya sama dia adalah kami sama-sama penonton. Saya tidak pernah begitu vokal dalam menyuarakan sesuatu, dan sepertinya dia juga begitu. Tapi kami selalu punya tempat akan sebuah asumsi di pikiran masing-masing, dan biasanya malas untuk diperdebatkan. Sebagai "bos" saya di tempat saya bekerja, selain secara finansial, saya juga berhutang banyak hal selama saya bekerja di tempatnya.
Masih banyak sebenernya orang-orang yang saya pikir saya perlu berterima kasih kepada mereka. Iqlima, Diaz, Dina, Ayu, Geu-Geu, Zy, Bunga, Hani, Sinta. Sebagai satu keutuhan cerita mereka adalah sebuah peran. Saya adalah sebuah peran, dan personalitas dalam diri kami adalah sebuah cerita, kalaupun harus dikatakan seperti itu. Kenyataan bahwa kami semua adalah ilusi, menurut saya itu yang paling masuk akal untuk saya saat ini. Tuhan adalah penulis yang sebenarnya, saya adalah pencerita dari buku yang ditulisNya. Saya tidak bisa mengubah jalan cerita dari buku yang saya baca, selain meneruskan membaca buku itu sampai pada titik terakhir. Kemudian saya menghilang, dan orang-orang yang saya ceritakan tadi juga menghilang. Lalu kemudian saya memerankan peran lain di buku yang lain. Mereka juga memerankan peran lain di buku yang lain. Mungkin kami akan bertemu di halaman yang sama di buku baru, mungkin juga tidak. Tidak ada satupun yang tahu, selain penulisnya itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar