Senin, 16 April 2018

AKSELERASI MUSIKAL BURGERKILL

Menginjak usia hampir seperempat abad tentu bukan hal yang mudah bagi sebuah band. Mulai dari naik turun dalam perjalanan karir bermusiknya, hingga akhirnya mencatatkan namanya dalam sejarah musik Indonesia, lewat berbagai prestasi, hasil dari hasrat, loyalitas dan totalitas yang besar, atas nama musik. Adalah Burgerkill, sebuah band dengan nama besarnya, yang seakan menjadi “monster” bagi banyak pecinta musik tanah air. Tidak hanya dalam ranah musik bawah tanah saja, tapi juga mancanegara, mengingat nama Burgerkill sendiri telah bergema di banyak negara, dan diakui sebagai salah satu band metal yang patut diperhitungkan. Salah satunya benua Eropa. Beberapa kali tampil disana lewat beberapa festival musik besar, sampai akhirnya Burgerkill  bisa membawa namanya pada tingkatan lebih jauh, lewat sebuah projek rekaman orkestra, di Praha, Republik Ceko.

Photo : @anggrabagja
Torehan prestasi Burgerkill di benua biru tersebut, seakan menjadi oleh-oleh yang ingin dibagi di tanah kelahirannya, Bandung, Indonesia. Hal ini kemudian direalisasikan lewat sebuah pagelaran bertajuk “Killchestra” (an exclusive symphony show from Burgerkill ), lewat kolaborasi Hellshow dan DCDC, pada hari Minggu 15 April 2018, yang bertempat di Sabuga Bandung. Gelaran ini menjadi penting karena menjadi “surga” bagi banyak metalhead yang datang kesana. Dan Burgerkill tidak datang sendirian, karena sebelum mereka tampil dengan Encore Orkestra “asuhan” Alvin Witarsa di panggung utama, area luar panggung, tepatnya di panggung Hellstage, telah berjejer lautan orang berkaos hitam, menyaksikan band-band dengan daya ledak luar biasa, dari band-band yang ada di wadah DCDC Shout Out seperti Sakadang Ajag, Angel Of Death, Distempered, dan Paint In Black, yang datang jauh-jauh dari Lampung. Selain itu ada juga band-band yang saat ini menjadi perbincangan seperti Krass dan Taring. Keseruan nama-nama band yang menjadi line up panggung Hellstage makin lengkap dengan tampilnya band “seangkatan” Burgerkill, seperti Forgotten, dan juga band dari luar kota Bandung, dari mulai Suaka, Hurt’em, sampai Down For Life

Gelaran ini dibuka sekitar pukul 9 pagi. Antusiasme para Begundal (sebutan untuk penggemar Burgerkill) terlihat bahkan sebelum acara ini dimulai. Pemandangan di pintu masuk antrian tiket pun menjadi hal indah untuk dipandang, karena itu berarti apresiasi orang dengan sajian konser musik masih besar, dan hal itu penting agar industri kreatif ini tetap ada dan berkembang. Tidak hanya itu saja, pemandangan di sekeliling area konser yang dipenuhi ornamen menarik, dan disesuaikan dengan karakter Burgerkill itu pun dilengkapi pula oleh orang-orang yang datang dengan kostum menarik, dan menurut istilah yang sering Burgerkill ucapkan, mereka tampil dengan kostum “anjing edan!” (dengan tanda seru). Serunya lagi, penonton dengan kostum paling “gila” dan niat akan mendapatkan hadiah berupa gitar edisi khusus dari Burgerkill.

Beralih dari area pintu masuk ke panggung Hellstage, dengan dua penampil dari Sakadang Ajag dan Angel Of Death. Dua dari banyaknya band potensial yang ada dalam wadah DCDC Shout Out. Sakadang Ajag memeriahkan area panggung Hellstage, dengan pembawaan mereka yang menarik perhatian, lewat kostum panggungnya, lengkap dengan topeng yang mereka kenakan. Sedikit mengingatkan pada band Slipknot, apalagi ditambah hadirnya seorang penata sampling, dengan bebunyian scratch dari turntable, yang menambah marak bangunan aransemen musik yang mereka sajikan. Satu kata yang mewakilinya mungkin adalah kata "rusuh", in a good way tentu saja.

Sedangkan Angel Of Death juga tampil tidak beda jauh dengan Sakadang Ajag, dengan semua bangunan musiknya yang solid, dan tentunya bisa memanaskan penonton di sekitar area panggung Hellstage. Hal yang sama juga ditampilkan oleh band seperti Paint In Black, Krass. Hurt’em, dan Taring, yang tampil dengan tensi tinggi, juga rentetan riff gitar dan “ngebutnya” hentakan drum dari tiap band tersebut. Lalu setelahnya ada band-band yang memang sudah menjadi jaminan untuk bisa memanaskan panggung, dari mulai Suaka, Down For Life, dan tentunya Forgotten. Dengan semua pengalaman dan musikalitas yang terbentuk belasan tahun dari band-band tersebut, maka tidak heran jika band-band itu menghasilkan output yang memang tidak diragukan lagi. Terlebih dengan cara mereka “menguasai” panggung. Hal ini menjadi satu hal yang menandakan jika band-band tersebut telah matang dan patut diperhitungkan.

Puas dengan sajian dari band-band yang tampil di panggung Hellstage, pengunjung juga bisa berkeliling di area indoor, yang menyuguhkan berbagai booth menarik, dari mulai Metal Market, yang menjual aneka macam pernik menarik seputaran musik “cadas”, seperti kaos, patch, dan rilisan fisik dari mulai kaset, CD, sampai Vinyl. Juga tentunya merchandise dari Burgerkill itu sendiri, yang dikhususkan untuk gelaran ini. Dan jika bicara tentang Burgerkill, maka kita akan bicara tentang sejarah panjang band ini, yang terbentuk sejak tahun 1995 lalu. Perjalanan hampir seperempat abad tersebut, ditangkap melalui pameran artwork tentang Burgerkill, dimana setiap artwork yang dipamerkan mewakili setiap era Burgerkill. Sebuah catatan sejarah melalui desain visual berupa artwork. Lalu tepat di sebelah pameran artwork tersebut, terdapat pula area untuk memajang aneka macam piala penghargaan Burgerkill selama berkarir. Kiprah mereka sebagai sebuah band “underground”, dari era gor Saparua, sampai akhirnya Burgerkill bisa mencatatkan namanya di beberapa penghargaan musik bergengsi di tanah air, dari mulai Anugerah Musik Indonesia, sampai Indonesian Cutting Edge Music Award.

Kembali ke area outdoor, pengunjung ditantang oleh sebuah game yang memerlukan kekuatan fisik lumayan besar, melalui “Hammer Games”. Menariknya lagi, game ini ditunggangi oleh Aries Rafly dari band Kaluman, yang bertindak sebagai seorang algojo. Sosok tinggi besar Aries seakan “mengintimidasi” orang yang akan mencoba permainan tersebut. Namun jangan khawatir, karena untuk menambah tenaga agar bisa mengalahkan sang algojo, pengunjung bisa mengisi amunisi di area food court, yang terletak tidak jauh dari area Hammer Games. Bicara tentang makanan sebagai amunisi para pengunjung yang datang, Burgerkill juga datang dengan “produk” terbarunya, bernama Kill Burger, hasil kolaborasi dengan Pit Boys. Kudapan unik dan mengenyangkan ini seakan mengembalikan nama Burgerkill, yang tadinya diambil dari merk sebuah Burger, dan diplesetkan menjadi Burgerkill, lalu pada akhirnya kembali menjadi merk burger, dengan parodi nama Burgerkill itu sendiri. Sebuah siklus menarik, yang seakan menyiratkan jika nama band ini berasal dari nama burger, lalu dikembalikan jadi nama burger lagi.

Kenyang dengan aneka macam makanan yang tersaji di area food court maupun booth Kill Burger, pengunjung pun diasupi nutrisi lewat beberapa sharing session, yang tentunya bisa menambah ilmu dan wawasan seputaran dunia musik. Dari mulai sharing bersama band-band Shout Out, lalu ada sharing tentang ilmu gitar bersama AGC Music School, yang pada hari itu dilengkapi pula dengan penampilan dari Balum (gitaris Alone At Last), yang juga merupakan salah satu pengajar disana. Tidak hanya sampai disana, karena gelaran yang sejatinya sebuah oleh-oleh Burgerkill dari Eropa ini, juga tentunya dilengkapi dengan para jurnalis yang menangkap momen-momen penting selama Burgerkill di Praha, dan beberapa kota di Eropa pada bulan Maret lalu. Hal itu kemudian diceritakan pada sesi Talk Show bersama para jurnalis, yang terdiri dari Kimung, Yuda, Gogeng, dan Anggra. Banyak perbincangan bersama para jurnalis, yang tidak hanya menarik tapi juga menjadi penting, sebagai catatan agar tidak hanya Burgerkill yang bisa merasakan pencapaian seperti ini. Tapi juga regenerasi band-band setelahnya juga bisa mendapat kesempatan yang sama. Dan yang paling penting adalah perlunya dokumentasi pada perjalanan musik sebuah band, hingga akhirnya hal tersebut dapat menginspirasi bagi banyak orang.

Sampai akhirnya sekitar pukul delapan malam Burgerkill tampil di panggung utama, dan langsung menggebrak dengan dua lagu berjudul “Darah Hitam Kebencian” dan “Under The Scar”. Ledakan demi ledakan mereka muntahkan dan makin menjadi-jadi ketika mereka membawakan lagu “Sakit Jiwa” dan “Shadow Of Sorrow”, yang secara isian liriknya punya daya magnet tersendiri, karena merupakan lagu yang cukup populer dari Burgerkill. Terlebih ketika lagu “Sakit Jiwa” menggema, lewat teriakan Vicky yang bersahutan dengan para Begundal, kala mereka bergantian meneriakan lagu tersebut, menjadi satu hal yang membuat penonton di deretan kursi atas, menjadi gelisah ingin berbaur bersama pusaran moshpit di bibir panggung, karena lagunya yang sangat provokatif. Hal ini juga tidak lepas dari aksi panggung duo gitaris Eben dan Agung, basis Ramdhan, dan drumer baru mereka Putra, yang kesemuanya tampil maksimal, lepas, dan tidak menyisakan ruang bagi tubuhnya untuk terdiam. Mereka bergerak, memprovokasi penonton agar larut bersama agresifnya musik yang mereka mainkan. 

Selanjutnya, seakan sedang memacu kendaraan pada kecepatan lebih dari 100km/jam, Burgerkill enggan menurunkan tempo lagunya, bahkan ketika itu ditimpali dengan balutan orkestra sekalipun. Menariknya, kumpulan string section yang kadung identik dengan gaya permainan lembutnya, menjadi terbawa dengan agresifitas bunyi dan rapatnya komposisi musik Burgerkill, seperti di tiga lagu mereka yang berjudul “Anjing Tanah”, “Penjara Batin”, dan “Only The Strong”, dimana ketiganya dimainkan dengan akselerasi maksimum, yang jika diilustrasikan seperti sedang di arena balap liar yang melawan arah, ngebut dan berbahaya. Sampai akhirnya lagu “Tiga Titik Hitam” meredam semua itu, menjadi sebuah suguhan yang membuat penonton kehabisan kata-kata, akan “kesakralan” lagu tersebut.

Lewat dominasi tata cahaya lampu berwarna biru, Fadly “Padi” berbagi peran bersama Vicky Mono melantunkan lagu dengan isian “membunuh” tersebut. Kesyahduan suara Fadly ditimpali oleh teriakan Vicky, yang meneruskan estafet alm Ivan Scumbag, sebagai orang yang bertanggung jawab sampai akhirnya lagu itu punya aura yang kuat, dan setiap notasi pada lagu itu seakan tidak bisa terlepas dari sosok Ivan, hingga “ruh” nya seperti melekat dan menjadi tidak terpisahkan. Maka ketika Alvin Witarsa menambahkan aransemen orkestra pada komposisi musiknya, auranya makin kuat, dan bohong rasanya jika tidak merinding mendengarkan lagu tersebut. Ada balutan emosi dan kedalaman makna pada lagu tersebut, yang ketika diterjemahkan dengan balutan orkestra, lagu itu mampu bicara banyak, diantara teriakan amarah dan tangisan pada lirik dan musiknya.

Selama air mata itu tidak turun untuk sesuatu yang salah, maka biarkan saja itu mengalir, sebagai bentuk penegasan jika kita manusia yang punya naluri dan hati. Atau anggap itu sebagai bentuk penghormatan kepada Burgerkill, karena lewat lagunya, kita diperdengarkan dengan satu bentuk labirin diantara amarah dan kekecewaan, sampai akhirnya itu menjadi siklus, sirkus, hingga senang, sedih, dan marah, menjadi tiga titik hitam masing-masing orang yang bernyawa.

Selesai dibuat takjub dengan sajian lagu “Tiga Titik Hitam”, dan “An Elegy”, dimana keduanya punya aura yang sama dan syahdu ketika dibawakan dengan format orkestra, Burgerkill kembali liar dan membakar dengan dua lagu terbarunya dari album Adamantine, “Integral” dan “Undefetaed”, serta sebuah lagu cover dari Iwan Fals berjudul “Air Mata Api”. Sampai akhirnya Burgerkill menutup gelaran “Killchestra” dengan sebuah lagu yang tidak pernah gagal membuat “rusuh” di area moshpit, berjudul “Atur Aku”. Lagu ini menjadi semakin kuat, dari sejak dibawakan oleh Puppen, sampai Burgerkill membawa lagu ini ke tingkatan yang lebih jauh, dengan tempo dan komposisi musik yang lebih kompleks dan bertensi tinggi.



All hail Burgerkill!!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar