Sabtu, 25 Agustus 2018

NABHAN AMMAR GAFI WIRADIPUTRA

Suatu hari saya berkunjung ke rumah teman saya dengan agenda ingin nengok anaknya yang baru lahir. Kami yang biasanya terlibat obrolan nihilis sisa-sisa masa SMA dengan “bodoran” garing dan hanya dimengerti oleh kami, tapi tidak waktu itu, terutama teman saya yang baru punya status baru, menjadi ayah. Dia melontarkan kalimat seperti ini ; “wenk, coba bayangkan kamu lihat diri kamu sendiri dalam bentuk mini”. Satu kalimat yang baru saya ngerti maknanya hari ini, ketika saya juga menyandang status yang sama seperti dia.

17 Agustus 2018, saya satu dari sekian juta penduduk Indonesia yang kebagian jatah libur karena tanggal merah, memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Tidak seperti lazimnya orang merayakan hari kemerdekaan, saya dan istri hanya merayakan kemerdekaan itu dengan memerdekakan diri buat tidur-tiduran seharian. Sampai akhirnya keponakan kami datang, dan kami kebagian jatah buat ngasuh dia. Singkatnya, seharian itu kami menghabiskan waktu buat ngasuh keponakan di rumah mama mertua saya.  

Sampai sekira pukul 8 malam, saya dan istri pamit pulang dari rumah mama mertua saya. Di jalan istri saya minta berhenti di warung klontong buat beli cemilan. Dia bilang pengen nonton film, dan butuh yang kres-kres (istilah dia untuk cemilan) buat nemenin nonton. Turun dari motor istri saya sedikit agak teriak, “bop ini aku kaya pipis”. Bodohnya, saya tidak menyadari kalo itu tanda-tanda orang mau melahirkan, karena menurut perkiraan bidan yang biasa kami datangi setiap check up bulanan, perkiraan lahiran itu sekitar awal September atau akhir Agustus. Satu hal yang bisa dijadikan pelajaran jika selama itu keluar dari mulut manusia, tidak ada satu hal pun yang mutlak dan valid plek plek an, karena prediksinya bisa saja salah. Namun karena kami percaya perkiraan bidan tersebut, kami berdua malah ketawa-ketawa sepanjang perjalanan, dengan satu kalimat pemicu dari mulut istri saya yang membuat tawa kami pecah, pas dia bilang jika cairan yang dia anggap pipis tadi mirip dengan cairan ena’-ena’ (istilah yang mungkin hanya akan dimengerti oleh orang yang sudah menikah/sudah dewasa).  

Pukul setengah 11 malam istri saya bangunin saya. Hal yang tadinya kami tertawakan jadi satu hal yang serius pas istri saya bilang kalau cairan tadi juga disertai darah. Akhirnya saya nelpon bidan yang menjadi langganan kami setiap check up rutin selama masa kehamilan istri saya. Namun sayangnya si bidan lagi ga di tempat. Ga mau buang waktu, akhirnya saya dan istri nyari bidan yang masih buka praktek di sekitaran komplek rumah kami. Namun lagi-lagi tidak ada bidan yang buka. Hampir tengah malam, kami menemukan klinik bersalin yang masih buka, lalu memeriksakan keadaan istri saya. Ternyata menurut sang bidan istri saya sudah pembukaan 2-3. Namun sang bidan berdalih jika istri saya tidak bisa melahirkan di klinik tersebut karena posisi anak saya yang kurang bagus, sehingga si bidan tidak mau ambil resiko, dan menyarankan untuk lahiran di rumah sakit.

Sekitar pukul 12 malam saya dan istri akhirnya memutuskan untuk lahiran di rumah sakit Al Ihsan, Bale Endah. Namun karena tidak memungkinkan membawa istri saya dengan motor, kami akhirnya memesan Go-car, setelah sebelumnya saya jemput mama mertua saya untuk nemenin istri saya pake mobil, sedangkan saya nyusul pake motor ke rumah sakit. Perjalanan 15 menit menuju rumah sakit yang menyajikan sensasi tersendiri ketika perasaan saya dibuat seperti roller coaster di atas motor, dengan jaket tipis ditengah udara malam Bandung Selatan yang dingin.

Sampai di rumah sakit kami langsung ke bagian IGD, setelah sebelumnya kakak ipar saya yang bekerja di rumah sakit tersebut mendaftar dan memesankan ruangan untuk istri saya. Begitu diperiksa ternyata istri saya sudah pembukaan tiga, dan analisa bidan di klinik tadi ternyata salah, karena bayi kami ternyata posisinya baik-baik saja dan bisa lahiran normal. Jadi kalaupun lahiran di klinik atau bidan tidak masalah. Mendengar itu mata istri saya memandang saya dan seolah tahu kegundahan hati suaminya, seorang penulis artikel yang sering dihantui kuota tulisan oleh brand itu, sedang kebingungan akan biaya persalinan di rumah sakit. Hingga istri saya mengatakan jika dia ingin lahiran di klinik saja.

Namun ketika kami hendak siap-siap balik ke klinik, ketuban istri saya pecah dan dia sempat muntah juga. Karena tidak mau ambil resiko saya memutuskan agar istri saya lahiran di rumah sakit saja. Setelah urusan administrasi dan tetek bengeknya diurus, istri saya dibawa ke ruang bersalin. Sampai akhirnya sekitar pukul 2 dini hari, pembukaan sudah lengkap, dan keajaiban itu berlangsung pukul 3 dini hari, ketika istri saya bertaruh nyawa melahirkan buah hati kami. Jagoan kecil, laki-laki yang secara fisik bisa dibilang cukup identik dengan saya. Melihat hal itu saya jadi ingat kalimat teman saya tadi, pas dia melihat dirinya sendiri dalam bentuk mini. Kalimat itu terasa sangat relevan untuk saya pada dini hari itu.


18-08-2018 jadi hari dimana jagoan kecil ini lahir ke dunia. Delapan tahun berselang setelah kakeknya (ayah saya) meninggalkan dunia di rumah sakit yang sama. Bohong rasanya jika saya baik-baik saja menghadapi satu hal seperti apa yang ditulis oleh band Efek Rumah Kaca dalam lagu “Putih”, dengan dua bagian ada dan tiada nya tersebut. Bohong juga rasanya jika rumah sakit ini tidak punya nilai sentimentil buat saya, dimana delapan tahun lalu saya harus melepas ayah saya, dan pada hari itu saya harus menyambut anak saya, untuk menjalani peran baru jadi seorang ayah.

Menyaksikan perjuangan istri saya melahirkan buah hati kami jadi satu pengalaman yang tidak mungkin saya lupakan seumur hidup saya, dimana hal itu akan jadi alasan kuat untuk saya memarahi anak saya jika saja suatu hari dia membuat istri saya sedih. (tapi semoga tidak. Semoga anak saya jadi anak baik yang sayang orang tua dan juga sesama manusia, siapapun itu, dengan latar belakang dan kepercayaan apapun). Melihat sosok mungil yang keluar dari bagian intim istri saya jadi satu hal ajaib untuk saya, apalagi ketika mendengar teriakan takbir yang dia ucapkan dengan sekuat tenaga saat berusaha melahirkan anak kami. Teriakan takbir yang begitu indah, dan jauh lebih bermakna dibanding teriakan takbir karena politisasi agama yang saya saksikan hampir setiap harinya.


Istri saya tahu jika dia tidak bisa berpegang sepenuhnya dengan suaminya yang manusia biasa ini. Dia butuh satu hal lebih besar yang bisa dia pegang, hingga akhirnya ketika takbir dia bertaruh nyawanya untuk menghadirkan keajaiban di ruang bersalin dini hari itu. Segera setelah anak saya lahir, saya mencium istri saya dan mengucapkan terima kasih karena telah menjadi jalan bagi seorang manusia mungil ini datang ke dunia. Setelahnya saya meng-adzani anak saya dan air mata saya kembali jatuh. Seruan adzan saya bisikan yang jauh lebih bisa membuat saya bergetar dan menitikan air mata, jauh dibanding suara toa mesjid yang berhasil memenjarakan seorang minoritas. Padahal bagaimana mungkin tuhan yang begitu dekat dengan kita membutuhkan teriakan sekeras itu?


Hari ini, satu minggu setelah anak saya lahir, saya menulis ini untuk dibaca anak saya kelak. Biar dia tahu jika kehadiran dia untuk ayah dan ibunya adalah keajaiban yang sangat orang tuanya syukuri. Biar dia tahu jika segala macam bentuk cinta dikerucutkan kepadanya dari mulai dia lahir sampai selamanya (dan adiknya, kalo dikasih rejekinya. Hehehehe).

Selamat berusia satu minggu, Nabhan Ammar Gafi Wiradiputra.

Banjaran, 25 Agustus 2018

Big Love, Papa & Ibu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar