Mulai dari mana ya? kebiasaan kalau menulis susah nyari pembuka. Hari Kamis, tanggal 1 Juni 2023 pukul setengah 10 malam. Istri dan dua anak saya sudah tertidur dari jam 8 malam. Saya masih bolak balik liat HP, ngecek notifikasi pre order buku saya, apakah sudah bertambah atau belum. Sayangnya, belum. Mungkin benar kata orang, kalau yang perlahan-lahan akan membunuhmu itu ekspektasi. Saya berekspektasi besar jika buku saya ini akan laku dijual dan banyak yang suka. Bukan. Bukan karena saya hebat atau tulisan saya bagus, tapi di buku itu juga saya membawa nama Pure Saturday sebagai ‘bahan bakar’ cerita yang saya karang di buku ini. Ditambah, Pure Saturday nya sendiri ikut mempromosikan buku saya. Minggu pertama saya berinisiatif membuat materi promo sebagai teaser buku saya tanggapannya bagus, dan banyak orang merespon positif. Kepercayaan diri itu makin bertambah, sampai pada hari pre order buku tersebut, ternyata sepi.
Satu hal yang saya lupa adalah
kenyataan kalau saya bukan siapa-siapa, meskipun menulis memang bukan sesuatu yang baru
buat saya. Dari tahun 2012 saya sudah memberanikan diri menulis untuk media,
meskipun skala kecil, tapi beberapa respon positif saya terima dengan hasil
tulisan saya. Menjalani profesi penulis dari mulai reporter, copywriter, sampai
suatu waktu pernah ada orang yang memakai jasa saya untuk menulis konsep kampanye
seseorang yang akan mencalonkan diri jadi bupati. Sangat random, dari yang
biasa saya menulis tentang musik hingga kemudian lingkungan membawa saya
menulis soal politik.
Tahun 2012 dan tahun 2013 saya bahkan merilis buku, meski buku tersebut saya rilis sendiri. Skalanya sangat kecil, dan hanya beberapa teman dekat saja yang menjadi pembelinya. Saya tidak pernah merasa kalau tulisan saya bagus. Apalagi ketika menulis soal musik. Teman saya, ada Harlan Boer dan Irfan Popish yang menjadi penulis musik paling jempolan menurut saya, selain tentunya guru menulis saya, Pak Kimung dan Pak Addy Gembel. Meski saya tidak pernah merasa bagus dalam menulis soal musik, tapi kecintaan saya menulis musik sama besarnya dengan kecintaan saya terhadap musik itu sendiri. Tidak pernah saya menemukan kecintaan yang besar selain dari mendengarkan musik dan menulis musik. Termasuk ketika menulis buku Gala & Elora ini.
Ada begitu banyak cinta yang saya
tulis di buku ini, dari mulai musik, band yang saya suka, hingga alm ayah saya.
Meski judulnya seperti menyiratkan tentang hubungan romansa dua tokoh bernama
Gala & Elora, sebenarnya buku ini tidak bercerita soal itu, tapi tentang
kecintaan saya pada musik, Pure Saturday, dan ayah saya. Lagu-lagu Pure
Saturday kemudian saya pakai sebagai jembatan saya dalam menyampaikan kecintaan
saya pada tiga hal itu: musik, Pure Saturday, dan ayah saya. Ada 13 lagu Pure
Saturday yang saya bagi dalam 13 bab cerita perjalanan Gala & Elora
menemukan cahaya. Kenapa cahaya? Karena saya pikir banyak lagu-lagu Pure
Saturday yang memasukan cahaya sebagai amunisi mereka dalam berkarya, baik
secara harfiah atau pun tersirat (IMHO).
Ternyata analisa gembel ini
berhubungan pula dengan kehidupan saya yang juga sedang dalam perjalanan
mencari cahaya, sejak saya lahir sampai hari ini. Dulu saya pikir cahaya itu
akan saya dapatkan ketika saya bermain musik. Maka mulailah saya ngeband sejak
SMP. Sekian lama ngeband sampai akhirnya menomor duakan semuanya demi bermain
musik, ternyata cahaya itu tidak kunjung menghampiri saya. Berkali-kali ngeband
dan gagal, sampai akhirnya saya menemukan cahaya lain yang harus saya kejar. Yakni,
menulis.
Baru beberapa tahun belakangan
saya sadari kalau ternyata hobi bermain musik itu cuma jalan untuk saya
menulis, karena sebenarnya dari awal ngeband sampai saya memutuskan berhenti,
kecintaan saya itu adalah dalam proses menulis lagunya, dan baru saya sadari
juga ternyata banyak teman saya yang ngajakin saya ngeband itu karena mereka
jarang atau bahkan hampir gak ada yang mau menjadi penulis lagu. Selalu saya
yang menjadi penulis lagu. Sampai akhirnya ngeband dengan tamankota yang
digawangi Ebbie, Ega, dan Jamil. Tiga orang ini bukan hanya jago nulis lagu,
tapi sudah bisa dibilang mesin pembuat lagu. Lagu-lagu ciptaan mereka bahkan
jika dijumlahkan bisa menyamai pedagang cuanki di Bandung, banyak banget. Hanya
di band itu lah saya tidak memposisikan diri saya sebagai penulis lagu (hanya
satu lagu yang saya tulis selama ngeband dengan mereka, judulnya “Galaxy Tree”).
Namun, itu bukan masalah buat saya, karena toh lagu-lagu mereka bagus bagus, sampai
membuat saya yakin kalau band ini bisa sangat sukses. Sayangnya, tidak.
Saya sering berpikir apa yang
salah dengan yang saya jalani, sampai berkali kali cahaya itu tidak kunjung
saya dapatkan. Bermusik, menulis, sampai menulis musik tidak juga bisa jadi kendaraan
saya menemukan cahaya saya. Sampai akhirnya teman kantor saya mengenalkan pada sebuah
penerbit yang menyanggupi akan merilis buku saya. Ternyata, pola industri
penerbitan pun sudah jauh berbeda dan tidak sesuai dengan yang saya bayangkan. Mimpi
sepuluh tahun lalu merilis buku bareng penerbit sudah kesampaian, tapi rasanya
tidak seperti yang saya bayangkan.
Tapi, meski begitu, hal ini tidak
mengurangi kecintaan saya dalam menulis, termasuk ketika saya berkutat dengan
buku “Gala & Elora” ini. Saya tidak bisa menjamin apakah buku ini akan
menjadi buku yang bagus atau bisa memenuhi ekspektasi pembaca nantinya. Tapi
yang bisa saya jamin adalah tentang cinta yang besar yang saya tuangkan di buku
ini. Prosesnya gak gampang dan memang tidak akan pernah gampang juga. Menulis memang
tidak akan pernah menjadi pekerjaan yang gampang. Hanya saja itu bisa terasa
menyenangkan ketika kita menyertakan kecintaan yang besar saat menulis. Dan menulis
buku ini menyenangkan buat saya, lepas dari ‘angka’ nya nanti besar atau tidak.
Hanya saja, untuk urusan angka sepertinya menjadi urusan penerbit dan juga istri
saya hahaha.
Pre Order Disini
Banjaran, 1 Juni 2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar