24 Mei 2023, satu hari sebelum pre order buku Gala & Elora dibuka, akun instagram @bandungpopdarlings yang diinisiasi oleh teman baik saya, Irfan Popish mengunggah soal ‘teaser’ buku Gala & Elora. Hal itu kemudian direspon oleh teman-teman dari Panitia Jumaahan yang tertarik untuk mendiskusikan buku itu di kedai Jante, tempat biasa teman-teman Panitia Jumaahan menggelar diskusi/bedah buku, atau serangkaian kegiatan diskusi lainnya yang menurut mereka menarik untuk diangkat ke permukaan.
Satu bulan berselang sampai
akhirnya buku tersebut rilis, saya mengiyakan tawaran teman-teman dari Panitia
Jumaahan untuk menggelar bedah buku (atau menurut istilah mereka, ‘kajian’)
Gala & Elora di kedai Jante, tepatnya tanggal 14 Juli 2023. Menemani saya ngobrolin
soal buku Gala & Elora, saya mengajak Pak Addy Gembel sebagai salah satu
pembicara juga. Tadinya saya mengajak Mang Ade, tapi kebetulan beliau
berhalangan hadir.
Lalu, kenapa Pak Addy? Harus saya akui ide awal menulis buku ini sedikit banyaknya terinspirasi dengan dua buku yang ditulis beliau, “Tiga Angka Enam” dan “Laras Perlaya”. Dua buku yang direspon Pak Addy dari lirik lagu Forgotten yang ditulisnya. Hal ini menjadi menarik buat saya, karena kami sama-sama merespon lirik lagu ke dalam format cerita fiksi. Bedanya, Pak Addy merespon lagu yang ditulisnya sendiri, sedangkan saya merespon atau menginterpretasikan lagu milik orang lain (dalam konteks ini, Pure Saturday).
Ada satu pernyataan Pak Addy yang
menarik banget ketika diskusi itu digelar. Pak Addy beranggapan jika apa yang
saya lakukan dengan buku Gala & Elora ini merupakan suatu cara untuk
meluaskan tafsir dari apa yang ditulis Pure Saturday. Sedangkan apa yang
dilakukan Pak Addy sebaliknya, dia membatasi tafsiran-tafsiran atau persepsi
orang lain terhadap apa yang ditulisnya di lagu-lagu Forgotten.
Seperti banyak dari kita tahu, Pak Addy dengan lirik yang ditulisnya di Forgotten cukup banyak menjadi kontroversi karena gaya penulisannya yang terbilang ‘terlalu berani’, atau mungkin memancing asumsi yang dianggap bertolak belakang dengan sesuatu yang dianggap ‘pantas’ di masyarakat timur pada umumnya. Misalnya saja, ketika banyak yang kemudian membawa-bawa tuhannya menjadi komoditas yang ‘dijual’, Pak Addy sebaliknya, menuliskan Tuhan Telah Mati.
“Jika orang lain pengen menjual surga, saya di Forgotten pengen menjual
neraka”, ujarnya berseloroh.
Tentu ini tidak bisa dibaca dengan mata telanjang, dan oleh karena itu lah Pak Addy menulis buku “Tiga Angka Enam” dan “Laras Perlaya”. Lucunya lagi, buku Gala & Elora adalah cerita soal perjalanan pencarian cahaya. Sedangkan apa yang ditulis Pak Addy adalah tentang ajakan menuju kegelapan hahaha. Teman saya, Eki berseloroh tentang warna baju yang saat itu kami kenakan
“eta katingali ti baju na oge,
Wenky pake baju bodas, Pak Addy pake baju hideung. Nu hiji tulisana Pure
Saturday, nu hiji tulisana Black Sabbath”.
Satu lagi yang tak kalah menarik
adalah ketika kang Khoeruman Taos merespon judul Gala & Elora menjadi
sebuah gambar/sketsa yang dia buat mendadak ketika diskusi digelar. Apresiasi semacam
ini tentunya menyenangkan untuk saya dan bisa dibilang menjadi sebuah perpanjangan
karya seperti halnya saya yang merespon lagu-lagu PS ke dalam format novel, dan
kang Taos merespon judul novel saya dalam bentuk gambar/sketsa.
Selang satu minggu dari diskusi
tersebut, tepatnya tanggal 22 Juli 2023, diskusi soal buku Gala & Elora
kembali digelar. Kali ini diinisiasi oleh kolektif House Of Gorgom dan dilangsungkan
di Kedai Kebon Aki, yang beralamat di daerah Ciapus, Banjaran. Hal ini menjadi
istimewa karena gelaran seperti ini dilangsungkan di Banjaran. Kenapa? Karena gelaran
diskusi buku termasuk cukup jarang dilakukan di Banjaran, dan label sebagai
kawasan sub-urban ‘pinggiran Bandung’ kerap mengecilkan potensi dari kawasan
Banjaran itu sendiri.
“Emang di Banjaran aya nu maca
buku Wenk? Aya nu ngadengekeun Pure Saturday?”
“Loba goblog!”
Selain karena dekat dengan rumah
saya, gelaran ini juga sangat menyenangkan untuk saya, terutama ketika melihat animo
teman-teman kolektif yang ada di Banjaran seperti House Of Gorgom, Son Of Hil,
atau Banjaran Inside yang sangat supportif terhadap buku Gala & Elora ini. Mungkin
kolektif-kolektif ini juga punya ‘keresahan’ yang sama dengan saya akan ‘label’
yang disematkan di Banjaran sebagai kawasan pinggiran Bandung tersebut. Kami
ingin menunjukan bahwa literasi, musik, youth culture, atau hal lainnya yang
beririsan dengan kerja kreatif juga hidup di Banjaran. Saya bisa sangat panjang
menuliskan soal produk dari kerja kreatif yang teman-teman Banjaran (atau
mungkin dalam konteks yang lebih luas, Bandung Selatan) buat, dari mulai musik,
kuliner, fashion, atau apapun. Bahkan ketika kawasan Bandung kota akrab dengan Gojek
atau Grab, di Banjaran punya ekosistem dan cara sendiri dengan membuat Kang
Kurir, Ok Berangkat, Pemuda Express, dll. Ketika banyak yang mengeluh soal
mahalnya pesen makanan di Go Food, kami di Banjaran bisa dengan akrab memesan
makanan ke Kang Kurir atau Ok Berangkat dengan harga terjangkau. Dan untuk
makanan, Fuck Dunkin Donuts karena di Banjaran kami punya Coco Donuts hahaha.
Kembali ke buku. Sorry terbawa
suasana ahaha.
Jika pada bedah buku pertama saya
mengajak Pak Addy Gembel, maka di gelaran ini saya mengajak Mang Ade Muir. Dengan
segala kerendahan hati, saya berani bilang kalau alasan kuat kenapa akhirnya
saya menulis buku ini adalah karena saya mengagumi lirik-lirik lagu yang
ditulis Mang Ade di Pure Saturday. Rasanya tidak mungkin saya ke-trigger untuk
meluaskan lirik lagu PS ke dalam format cerita novel jika saya tidak tertarik
dengan lirik lagunya itu sendiri. Ini mungkin akan subjektif karena saya bicara
dari kacamata saya sebagai penggemar Pure Saturday, tapi bagi saya lirik
lagu-lagu PS adalah yang terbaik yang pernah saya baca/dengar.
Kilas balik ke tahun lalu ketika saya
kepikiran buat menulis novel ini. Mang Ade adalah orang pertama yang saya
temui. Selayaknya ‘tata krama’ yang diterapkan orang tua saya, tentu hal
pertama yang harus saya lakukan ketika ingin membukukan konsep ini adalah
meminta izin terlebih dahulu ke si empunya karya. Karena buku ini juga
berkaitan erat dengan lirik-lirik lagu yang ditulis Mang Ade di PS. Mang Ade
merespon positif meski seringkali dia mengingatkan jika pada outputnya novel
ini baiknya terlepas dari PS, meski trigger menulis novel ini berawal dari
lagu-lagu PS.
Mang Ade kemudian membandingkan
novel saya dengan buku karya Idhar Resmadi yang menulis biografi soal Pure
Saturday. Menurut Mang Ade pembeli buku Idhar sudah bisa dipastikan adalah
penggemar PS, atau minimal orang yang penasaran dengan PS. Maka jelas, pasarnya
adalah penggemar PS. Tapi -menurutnya lagi-, orang yang membeli buku saya tidak
harus penggemar PS atau yang tahu PS. Jadi bisa saja karya saya terlepas dari
PS meskipun secara konsep buku novel ini adalah bentuk respon atau interpretasi
saya akan karya PS.
“buku maneh bisa lebih gede karena pasarnya luas, da teu kudu penggemar ps atau nu nyaho ps nu meuli buku maneh mah”, ujar Mang Ade suatu hari.
Lucunya, beberapa fakta yang
terjadi ternyata tidak sedikit juga penggemar PS yang ‘menolak’
buku ini karena dianggap tidak cukup tepat menggambarkan apa yang PS ingin
sampaikan dalam lagu-lagunya.
“Pure People mah moal aya nu maca
novel siga kieu atuh”, ujar seseorang yang dirahasiakan namanya hahaha.
Meski begitu, ada cukup banyak
juga penggemar PS yang menyambut positif lahirnya buku ini. Entah itu tertarik
karena cerita bukunya, tertarik karena ‘ada PS’ nya, juga ada yang tertarik
karena bisa menikmati karya PS dengan interpretasi yang berbeda. Saya sebenarnya
tidak berfokus pada pendapat orang akan karya saya seperti apa. Saya tidak
dianugerahi limpahan energi yang sanggup menanggapi hal-hal seperti itu. Buku ini
hanya bentuk kesukaan saya akan PS dan kesukaan saya pada kegiatan tulis
menulis.
Sama halnya dengan penerbit buku
ini yang ogah-ogahan ‘memasarkan’ buku saya karena menurut mereka saya sebagai
penulis belum punya nama yang bisa dijual. Sangat kecil jika harus dibandingkan
dengan nama-nama penulis lainnya yang ada di tanah air. Ditambah dengan
kenyataan jika strategi bisnis yang mereka rancang ternyata meleset. Mereka mikir
penggemar PS banyak dan pastinya akan loyal untuk kemudian membeli buku ini.
Nyatanya banyak juga penggemar PS yang ‘menolak’ buku ini. Saya juga tidak
punya cukup banyak energi untuk memusingkan soal itu, bahkan ketika penerbit
melakukan kesalahan fatal menuliskan nama saya di sampul buku. Rasanya tidak
ada kesalahan lebih fatal dari itu yang pernah dilakukan sebuah
penerbit/publishing.
“Ya lo kan belum punya nama nih,
jadi ya kita ngejual nama PS nya aja wenk. Anggap aja lo jadi ghostwriter lah”,
ujar mereka suatu hari.
Mungkin karena menganggap saya
belum punya nama itulah sampai akhirnya mereka tidak teliti (atau bahkan
peduli) dengan nama saya sampai bisa-bisanya ditulis salah di sampul buku. Hal
ini jadi mengingatkan saya pada omongan teman saya yang menyuruh saya
mengurungkan niat merilis buku ini. Karena menurutnya nama saya tidak akan
muncul ke permukaan jika menggandeng nama besar PS. Dan benar saja, boro-boro
muncul ke permukaan, lha kalau pun muncul juga nama nya salah hahaha.
Tapi balik lagi ya. Saya tidak
punya cukup banyak energi untuk memusingkan soal itu. Teman saya, Rianti bahkan
terlihat gemes sekali ketika tahu nama saya ditulis salah di sampul buku,
bahkan di akun instagram penerbit tidak ada sama sekali unggahan yang
mempromosikan buku saya. Pilihannya ada dua. Pertama, saya menghabiskan semua
energi saya untuk protes dan menuntut agar penerbit ikut mempromosikan buku
saya, atau saya jalan sendiri untuk mempromosikan buku saya. Akhirnya saya
pikir, saya lebih memilih menghabiskan semua energi saya untuk jalan sendiri
mempromosikan buku saya dengan cara saya sendiri. Meski itu harus
berdarah-darah.
Banjaran, 23 Juli 2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar