Jika harus ada pengakuan, rasanya saya perlu mengakui kalau setiap memasuki ruang pameran seni saya seperti masuk ke semesta yang berbeda. Disana saya menemukan banyak sekali warna dan perspectif, di mana semua emosi disajikan dalam bentuk karya seni. Satu hal yang kemudian ditimpali seorang teman yang berkata ketika seni dibagikan, ia menjadi bahasa universal yang menghubungkan hati dan pikiran.
Tapi masalahnya, ruang-ruang seni itu terkadang dibuat eksklusif dan ‘berjarak’ dengan calon penikmatnya, padahal keajaiban seni terletak pada kesederhanaannya untuk menjangkau semua orang. Ia tidak membutuhkan pemahaman yang mendalam, hanya sebuah hati yang terbuka untuk merasakannya.
Menurutnya lagi, seni yang sejati tidak pernah eksklusif; ia adalah undangan terbuka kepada semua untuk merasakan, memahami, dan mengalami keindahan dunia dari perspektif yang berbeda. Dalam konteks karya visual, karya tersebut adalah jendela ke dalam jiwa manusia yang menawarkan pemandangan yang bisa dilihat dan dinikmati oleh siapa saja. Ia berbicara dalam bahasa warna dan bentuk yang bisa dimengerti tanpa kata-kata, di mana ketika kuas menyentuh kanvas, ia menciptakan dunia yang bisa dijelajahi oleh semua orang. Jadi ketika sebuah lukisan dipajang, ia menjadi ruang bersama di mana setiap orang dapat menemukan makna pribadi. Ia menyentuh hati kita dengan cara yang berbeda, namun tetap berbicara dalam bahasa yang sama—bahasa visual yang universal.
Obrolan beberapa tahun silam tersebut, kemudian kembali terlintas ketika saya (yang saat itu mewakili ITB Press) berkesempatan meliput acara “Pameran Niat Baik” yang diselenggarakan di Abraham and Smith HQ, Jl. Tamblong Dalam No. 2, Bandung, pada hari Jumat 23 Agustus 2024. Pameran ini merupakan bagian dari gelaran Popcon Market Vol.2 yang juga menghadirkan beberapa musisi dan tenant makanan/jajanan yang siap memanjakan lidah para pengunjung yang datang. Untuk urusan visual, ada lebih dari 150 karya seni yang dipamerkan dan dibuat oleh beragam kalangan, mulai dari seniman, anak-anak, artis, tokoh politik, dan lain-lain, yang pada malam itu berhasil memanjakan mata dengan semua olah kreasi yang mereka buat.
Dengan mengetengahkan tema “Meraba Seni, Menyentuh Hati”, pameran ini mengamini betul tentang apa yang saya tulis di dua paragraf awal tadi tentang keajaiban seni yang terletak pada kesederhanaannya untuk menjangkau semua orang.
Hal tersebut menurut sang kurator, Angga Wedhaswhara awalnya pihak penyelenggara membuat undangan terbuka untuk para seniman, dan ternyata animonya sangat besar, hingga terkumpul sekitar kurang lebih 190 orang (seniman & non seniman) yang tertarik untuk terlibat di pameran.
“Sebagai niat baik dari kami, kami sangat sadar jika ini akan berpotensi menjadi pameran yang sangat cair. Karya-karya yang dalam tanda kutip tidak terkurasi dengan baik, tapi saya percaya jika setiap seniman, apapun yang dia buat pasti punya niat baik”, ujar Angga menjelaskan tentang alasan dibuatnya pameran ini.
Selain itu, menarik pula untuk dicatat tentang media kanvas yang dibuat berbentuk lingkaran berukuran 30cm. Hal tersebut menurut Angga dibuat seperti itu agar para seniman yang ‘mapan’ atau pun non seniman yang terlibat di pameran ini mendapatkan tantangan yang sama, di mana mereka keluar dari kebiasan mereka sehari-hari yang biasa melukis di atas kanvas berbentuk kotak.
Menggaris bawahi tentang ‘kesetaraan’ antara para seniman dan non seniman yang terlibat di pameran ini, hal itu tergambar pada harga yang ditawarkan untuk setiap karya yang dibandrol dengan harga Rp.321.123,-. Hal tersebut menurut Angga seperti sebuah cermin di mana di satu titik kita akan turun, namun disatu sisi hal ini merupakan sebuah permulaan yang diwakili oleh angka 123.
Hal senada diutarakan pula oleh Doni, sebagai orang dibalik Abraham and Smith ini. Menurut Doni, Abraham and Smith merupakan sebuah ruang yang bisa dimasuki oleh siapapun dan dari latar belakang apapun. Diakui oleh Doni, meskipun tempat yang dia gawangi ini terbilang kurang proper untuk sebuah pameran seni, namun antusias orang terhadap berbagai macam inisiasi yang dibuat disini terbilang tinggi, termasuk ketika dia dan orang-orang yang terlibat di dalamnya menginisiasi gelaran “Pameran Niat Baik” ini.
“Tujuannya dibuat pameran ini sih agar seni bisa menjangkau semua kalangan”, ujar Doni menjelaskan tentang maksud dibuatnya gelaran ini.
Salah satu seniman yang terlibat di pameran tersebut adalah Khoeruman Taos. Pria yang akrab disapa Taos ini sebelumnya pernah menggelar pameran tunggal di tempat yang sama. Menanggapi tentang gelaran Pameran Niat Baik ini Taos menuturkan jika yang menarik dalam pameran ini adalah adanya peleburan antara seniman ‘mapan’ dengan non seniman, yang bahkan diantaranya ada anak-anak yang baru pertama kali belajar menggambar/melukis.
“Yang menarik disini justru ketika kita melihat karyanya, kita tidak melihat siapa yang membuatnya, tapi murni karena kita merasa terhubung dengan karyanya dan kemudian tertarik untuk membelinya, tanpa tahu siapa yang membuat karya tersebut. Menurut saya itu jadi sesuatu yang fair”, ujar Taos menanggapi pameran tersebut.
Yang juga menarik dari gelaran ini adalah adanya sosok manusia emas yang membuka pameran ini. Sosok bernama asli Yandi ini selain didaulat membuka pameran, dia juga melukis secara langsung sosok dibalik tempat Abraham and Smith, Doni. Menariknya, sosok manusia emas ini tidak hanya kali ini saja terlibat di pameran lukisan karena sebelumnya sosok ini juga sering muncul di berbagai pembukaan pameran.
Tentang pameran ini sendiri, Pak Yandi menuturkan jika ada hal yang unik dalam pameran ini, salah satunya tentang kanvas yang dibuat berbentuk lingkaran. Menurutnya banyak seniman atau pun non seniman yang baru melukis semuanya mendapat atau diberi ruang yang sama, termasuk soal apresiasi dalam bentuk harga, yang sama-sama dibandrol dengan harga Rp. 321.123,-.
Selain tentunya pameran lukisan/visual, gelaran ini juga diisi oleh performance art dari Panji ‘Mi-ink’ Sisdianto. Ditemui disela-sela acara, Panji menuturkan jika penampilannya malam itu berhubungan dengan ilmu meditasi yang dia pelajari, yang mana Panji juga merupakan seorang praktisi di bidang tersebut. Dalam penampilannya malam itu, Panji menyertakan pula buah hatinya yang dia gendong mengelilingi area pameran seraya mengucapkan kata “Dah” berulang kali. Menurut Panji, ketika kata “Dah” tersebut diucapkan terus-menerus akan menghasilkan kelistrikan dengan kimia tubuh yang terkondisi untuk akhirnya -kurang lebihnya- mencapai pencerahan. Hal tersebut kemudian dia aplilasikan pada penampilannya malam itu.
Selain itu, menurut Panji juga kata tersebut biasanya menjadi ungkapan awal bayi untuk meracau. Lebih jauh menjelaskan tentang ‘keunikan’ kata “Dah” tersebut Panji juga menghubungkannya dengan pergerakan seni rupa yang kita kenal dengan nama Dadaisme, yang mulai muncul ke permukaan pada era perang dunia kedua di Jerman. Saat itu seni menjadi satu tatanan eksklusif untuk kalangan tertentu saja, sampai akhirnya Dadaisme membawa keriangan/dorongan bermain anak kecil untuk dipraktekan menjadi seni murni/seni tinggi.
Apa yang dituturkan Panji kemudian cukup tergambar pada pameran malam itu, yang memang banyak juga memamerkan karya yang terbilang ‘naif’ karena dibuat oleh anak-anak. Namun meski begitu, karya tersebut tetap punya nilai yang tinggi, terlebih ketika hal tersebut dihubungkan dengan konteks atau tema yang diangkat pada pameran malam itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar