Senin, 04 Maret 2013

MAKE MUSIK NOT MAKE [U]SICK (re-post)

Musik? apa itu musik? Musik yang bagus itu seperti apa? Musik yang apa itu seperti apa? Dan banyak pertanyaan lainnya tentang musik yang mungkin selalu jadi pertanyaan.

Jika ada sebuah pertanyan musik yang bagus itu seperti apa, sebenarnya tidak akan ada jawabannya, meskipun itu bisa didefinisikan oleh banyak sudut pandang orang. Misalnya seorang Erwin gutawa pasti akan mendefinisikan musik yang bagus itu adalah yang teoristik, tertata, tersusun dalam tempo dan repertoar lagu yang rapi. Tapi jika menurut seorang punker mungkin akan lain dan sebaliknya. Mereka menganggap musik itu yang penting punya spirit tentang apa yang ingin disampaikan, ber-orasi lewat lirik lagu, atau apapun yang sebenarnya malah tidak menyoroti musik dari sudut pandang teoristik, juga hal yang dipakemkan dalam sebuah ideologi yang diajarkan banyak sekolah musik, dan menurut saya keduanya tidak salah. Semua berhak dengan bebas mendefinisikan musik yang bagus itu seperti apa. Jadi tidak akan ada habisnya soal pertanyaan musik yang bagus itu seperti apa. Ini belum ditanya para penggemar rock, post rock, brithpop, grunge, pop atau apapun yang pastinya punya pendapat sendiri-sendiri soal musik yang bagus menurut mereka.

Musik yang bagus adalah relatif, jadi menyikapinya adalah dengan tidak memaksakan seseorang untuk setuju dengan apa yang dianalogikan tentang musik yang bagus itu seperti apa. Lepas dari semua itu “'music it's just music” dengan semua kejujurannya, harmonisasinya dan apa yang bisa tertangkap sebuah indera menjadi sesuatu yang akhirnya mereprentasikan sebuah rasa yang tercurah. Selamanya akan seperti itu. Musik tidak bisa menjadi sebuah agama atau apa yang bisa dirumuskan dan dipakemkan, karena sifatnya sendiri abstrak dan tergantung siapa yang memaknainya seperti apa. Ada yang memaknai musik sebagai hobi, tujuan hidup, just for fun atau apapun lah tergantung si penikmat musik itu sendiri mengartikannya.

Itu sedikit saja yang mendasar tentang musik dan musik bagus itu seperti apa menurut saya. Sekarang beralih dengan pernik musik selain itu. Contoh kecilnya adalah tentang genre/aliran musik. Sebagian orang mungkin ada yang tidak menyukai tentang suatu pengkotakan akan sebuah genre dalam musik. Kalau saya pribadi sih antara setuju dan tidak setuju atau mungkin malah tidak peduli soal itu. Tapi jika suatu genre musik lahir untuk menjatuhkan genre musik lainnya, itu pasti saya tidak setuju. Karena musik kan harusnya unite dan menguatkan, bahkan musik juga bisa diartikan sebagai alat pemersatu dan bahasa dunia. Genre musik hanyalah sebatas pilihan selera saja, yang tidak mungkin semua musik yang tercipta itu akan kita sukai semuanya. Pastilah ada satu atau dua yang bisa kita anggap bisa lebih mewakili diri kita ada di genre musik seperti apa, dan itu bebas bebas aja.

Berbicara musik dan segala macam hal yang terkait didalamnya, pastilah pada akhirnya kita akan berbicara tentang sebuah industri yang mewadahi karya seni itu (dalam hal ini seni musik), untuk kemudian dipublish dan sampai ke telinga kita. Namun pada perkembangannya industri itu tidak selalu berjalan ideal menurut seharusnya, atau mungkin lebih tepatnya terjadi pengurangan esensi dari sebuah karya yang seharusnya mengatasnamakan seni dalam berkarya. Namun yang terjadi, musik malah menjadi sebuah produk yang hampir tidak mempunya nilai seni (jika tidak ingin dikatan nihil).

Industi = pasar dan pasar = jualan, dan apa yang di jual adalah produk, produk yang menjual adalah apa yang pasar inginkan. Kenapa menjadi tidak sesuai dengan apa yang ideal dengan seharusnya?

Karena musik pada akhirnya menjadi suatu produk yang dijual, sehingga pada akhirnya menjadi ‘miskin’ secara nilai dari musiknya itu sendiri. Tentang musik yang dijual itu sendiri sebenarnya bukan suatu kesalahan atau dosa besar menurut saya. Wajar saja jika seorang musisi membuat musik, mengalbumkan karyanya dan berharap ada yang mengapresiasinya dengan cara membeli albumnya. Lalu salahnya? Salahnya adalah terletak dalam suatu stereotype/keseragaman demi sebuah produk yang menjual. Kalau dari segi bisnis kan apa yang pasar inginkan itu yang produk coba tawarkan agar laku. Dampaknya di negeri saya Indonesia ini, ditandai dengan lahirnya banyak band melayu kala itu. Lalu sekarang diteruskan dengan banyaknya boyband/girlband 'k-pop' disini, karena ya itu yang pasar inginkan sekarang/itu yang menjual sekarang. Padahal sebenarnya, melalui sudut pintarnya band Efek Rumah Kaca pernah memberikan statemen jka “pasar bisa di ciptakan”, dan kenyataannya mereka memang sukses meskipun mereka bukanlah termasuk dalam kategori band melayu apalagi boyband. Jika mikir positifnya band melayu ataupun boyband disini adalah bukan suatu 'kesalahan' juga bagi perkembangan warna musik disini.

Satu atau dua band melayu atau boyband/girlband sih ga masalah dan mungkin memang perlu juga sebagai keragaman warna musik disini, karena ga semua orang suka Pure Saturday atau Efek Rumah kaca, ya kan? Lalu salahnya? Tentu kembali lagi kepada pola keseragaman itu yang secara teoristiknya pola keseragaman itu ada karena si pelakunya (industri yang mewadahi musisinya) tidak berani ‘berspekulasi’ akan sesuatu yang baru, yang menurut mereka belum tentu laku di pasaran dan imbas yang bagus dari segi materi/penjualan.

Realitanya di Indonesia seperti itu, dan jika berbicara Indonesia berarti kita ngomongin soal cara berpikir skeptis yang memang seakan sudah menjadi ciri berpikirnya bangsa ini. Menyedihkan memang ketika seorang musisi (ngakunya musisi) belum apa-apa sudah berpikir “ini lagu yang dibikin laku ga ya?”, ngejual ga ya? bisa dapet duit dari ini ga ya?” Padahal sih berkarya saja dulu. Jika memang bagus pasti akan diterima, dan bentuk penerimaan itu bisa berupa album yang laku ataupun tawaran manggung yang banyak, yang ga mungkin kan jika tidak berimbas pada materi?

Jadi jangan takut berkarya. Make music not make [U] sick. 

Dimuat juga disini 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar