Selasa, 11 Maret 2014

ADA HAL TENTANG MUSIK YANG TIDAK LAGI MENARIK UNTUK DIBAHAS

Mengawali tulisan ini dengan mengutip pernyataan Friedrich Nietzsche yang mengatakan jika “tanpa musik, hidup adalah sebuah kesalahan”. Satu kutipan yang diamini oleh banyak orang yang memang bersentuhan langsung dengan musik seperti pelaku musik (musisi) nya itu sendiri, juga penikmat atau pendengar musik. Musik adalah perasaan yang bisa didengarkan, maka dari itu banyak orang yang merasa terwakili oleh musik karena atas dasar perasaan itu tadi, yang terwakili lewat nada dan irama yang harmonis dalam struktur sebuah bagan lagu. Sulit rasanya untuk percaya jika ada orang yang tidak pernah mendengarkan musik. Kalau kata Harry Roesli sih minimalnya setiap orang pernah bernyanyi atau mendengarkan lagu kebangsaannya sendiri, kalaupun memang musik popular terasa asing di telinganya.

Menghubungkan musik dengan sebuah momentum peringatan ‘Hari Musik Nasional’ yang diperingati setiap tanggal 9 maret di Indonesia. Kenapa tanggal 9 maret? Karena tanggal itu diambil dari hari kelahiran W.R Supratman sang pencipta lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’, sebagai bentuk penghargaan untuk beliau. Tujuannya dibuat Hari Musik Nasional sendiri sebenarnya bagus, mengingat musik sudah begitu erat kaitannya dengan kehidupan setiap orang dimanapun itu. Namun ketika momentum peringatan Hari Musik Nasional hanya dijadikan sebagai sebuah wacana saja, apakah esensinya masih ada? Seperti kebanyakan momentum hari peringatan lainnya yang begitu banyak dibahas orang namun menjadi nir makna, dan berakhir sebagai sebuah judul saja.

Bukannya musik Indonesia tidak bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri, namun apresiasi akan sebuah karya musik yang bisa dibilang menyedihkan, dengan bentuk penghargaan yang terasa sangat kurang. Tentang pembajakan misalnya. Berbicara tentang pembajakan, maka kita akan berbicara tentang masalah yang ‘rasanya’ tidak akan selesai, dengan kata lain mustahil. Menjadi ironis sekaligus naif jika di jaman digital seperti sekarang ini, kita hendak menahan arus pembajakan itu, dimana pilihan mendengarkan lagu bisa dengan satu kali klik download (gratis) dan lagu pun bisa dinikmati.

Ada hal tentang musik yang sepertinya tidak lagi menarik untuk dibahas. Seperti pembajakan tadi misalnya. Ketika rilis album fisik hanya berakhir pada sebuah formalitas saja sebagai pencapaian artistik seorang musisi atau sebuah band, yang berbanding terbalik dengan keuntungan yang didapat (jika konteksnya bisnis). Apalagi jika wacana tentang pembajakan ini diteruskan dengan mencari perhatian pemerintah untuk bisa sama-sama menangani ini. Bagaimana mungkin kita bisa optimis akan ada titik terang tentang pembajakan ini, jika nyatanya kios penjual cd bajakan itu bersebelahan dengan kantor polisi? Hak intelektual yang tercuri dibiarkan begitu saja diputar begitu kencang disebelah kantor aparat pemerintah? Karena saking skeptis tentang pembajakan ini bisa selesai, kemudian ini menjadi tidak lagi menarik untuk dibahas.

Musisinya sendiri harusnya tidak ‘cengeng’ dan minta perhatian pemerintah terus, karena akan susah (jika tidak ingin dikatakan mustahil) masalah ini akan bisa dibereskan. Caranya untuk bertahan di musik bisa dengan membentuk pasarnya sendiri dan fan base yang kuat, yang dimana fan base yang kuat ini adalah calon pengapresiasi (atau sebutlah pembeli) potensial dari karya yang ditawarkan, dari mulai album musik sampai merchandise sang musisi itu. Semuanya akan bersinergi jika ada saling keterikatan satu sama lain. Keterikatan dalam hal perasaan sang pendengar yang terwakili lewat musik yang musisi itu mainkan. Hal itulah yang pada akhirnya bisa melahirkan fans militan untuk seorang musisi atau sebuah band. Dengan fan base yang kuat karya musik itu akan lebih ‘mengena’ dan bisa diapresiasi dengan baik lewat pembelian album musik yang asli (baik bentuk fisik ataupun lewat itunes/digital download berbayar), dan orang juga rela beli tiket untuk pertunjukan musik musisi idolanya.

Ada yang berpendapat main musik ya main musik saja, tanpa harus menjadikan musik sebagai mata pencaharian utama, yang ditakutkan akan ‘mengotori’ esensi dari musik itu sendiri, dimana musik untuk musik dan passion. Namun ada juga yang menjadikan musik sebagai jalan satu-satunya dia mencari nafkah, dan oleh karena itu (‘maaf’ jika harus mengatakan ini) musik yang disajikanpun menjadi dangkal dan ngejar laku di pasaran saja. Karena perbedaan cara pandang inilah yang akhirnya membut keduanya berseberangan. Ada yang mengarahkan hal yang bertolak belakang tadi menjadi sebuah wacana musik indie vs mainstream, yang sayangnya lagi-lagi tidak menarik untuk dibahas.

Jika saja berbicara ini pada tahun 90an mungin akan menarik, dimana di tahun itu arus musik bawah tanah mulai bergeliat dan mulai berkembang di beberapa kota di Indonesia. Tapi sekarang, jaman dimana Otong Koil sudah mau berkolaborasi dengan Charly (maaf jika contohnya harus ini. Hehe), rasanya sudah tidak relevan ngomongin itu. Karena keduanya punya pangsa pasarnya masing-masing, harusnya keduanya tidak saling mengusik, apalagi sampai harus saling menjatuhkan. Setiap musisi berangkat dengan apa yang dia percaya, dan dia merasa nyaman dengan apa yang dipilihnya. Kalaupun ada yang bisa sedikit dibenahi adalah ketika harusnya keduanya diberi porsi yang sama, sehingga masyarakat para penikmat musik diberikan pilihan musik yang beragam, dan tidak ada pada satu pola musik yang sama.

Jika sampai pada paragraf ini masih belum menemukan apa menariknya artikel ini, berarti memang benar jika ada hal tentang musik yang tidak lagi menarik untuk dibahas. Dari mulai Hari Musik Nasional, pembajakan, sampai Indie vs Major. Daripada diteruskan, maka skip saja dan beralih pada pembahasan tentang alasan keluarnya Bastian dari Coboy Junior misalnya. Setidaknya itu lebih menarik, dengan ditegaskannya wacana itu menjadi trending topic dunia (tepatnya dunia dalam twitter)

Dimuat juga di kanaltigapuluh.info. Baca disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar