Lagi-lagi ada di titik ini lagi. Lagi-lagi berasumsi, lagi-lagi menganalogi. Merenung setelah seharian berhadapan dengan sesuatu yang lumayan mengganggu pikiran, dan kontra dengan apa yang diri ini sabdakan benar. Berharap seseorang akan sama sejalan dengan apa yang diinginkan, mungkin sesuatu yang mustahil, dan kiranya sangat sulit untuk bisa diarahkan kearah seperti apa yang diinginkan. Sama halnya dengan berharap semua orang tercipta menjadi orang yang sama. Ga mungkin. Karena harmoni itu adalah bisa menyelaraskan perbedaan, berkompromi dengan kenyataan, dan memilih cara yang pintar untuk menghadapinya.
Rangkuman hasil pemikiran satu jam lebih dalam perjalanan menuju pulang, di atas sepeda motor di tengah hujan, yang semakin menambah sisi dramatis dari apa yang dipikirkan tentang cerita romansa picisan yang remeh temeh (mungkin), jika dilihat dari sisi mencintai karena apa, bukan mencintai untuk apa.
Ah cinta. Apa sih cinta? Nulisnya aja udah geli sendiri, karena kata itu sangat riskan jika diartikan dengan pemahaman yang dangkal, dan hanya tahu artinya dari lagu yang ‘ehm uhuk mellow menye menye’ begitu saja, tanpa pertanggung jawaban artian dari kata cinta itu sendiri seperti apa.
Seperti memuntahkan apa yang ingin dimuntahkan ketika akhirnya bisa menulis ini. Karena nyatanya dengan menuliskan ini, setidaknya lebih baik daripada bercerita kepada siapa dengan siapa, yang oleh siapa kepada siapa terbantahkan, dengan analogi yang oleh siapa kepada siapa ajukan keberatannya, akan apa yang oleh siapa kepada siapa yang kebetulan adalah saya sampaikan.
Jadi siapa itu ga tahu siapa. Siapa lainnya adalah saya yang keberatan dengan siapa itu sampaikan. Bingung memang ketika semua pemahaman tentang ini itunya hanya berakar kepada logika. Tapi juga rasa tak jua menengahi semua kebuntuan ini. Rasa terus saja memberikan argumen lain. Ketika oleh logika disudahi, rasa malah meneruskan dengan pemahaman lainnya, yang… ah udahlah, pokoknya jikalau anda bukan ibu saya mungkin sudah pusing dibuatnya.
Beliau satu-satunya orang yang menurut saya paham betul bagaimana menyikapi hidup. Tidak seperti saya yang sering gagal mencuri ilmu itu dari beliau. Sehingga oleh hal remeh temeh seperti cerita picisan yang sebenarnya, ‘harusnya’ menjadi satu penyejuk ditengah kegelisahan oleh hal lainnya tentang hidup, malah justru kegelisahan itu tercipta oleh cerita roman picisan itu sendiri. Cinta, drama, mengharu biru, atau apalah itu orang menyebutnya, tentang sayang-sayangan ala remaja pada umumnya, yang sebenarnya terpatahkan oleh band Efek Rumah Kaca, jika jatuh cinta itu biasa saja.
Tapi memang indahnya romansa membuat logika macet, dan terbawa suasana romansa yang berkedok merah muda. Padahal merah adalah api yang menyala. Terlalu cinta menggambarkan seperti itu. Dan mungkin sebenarnya kata terlalu memang tidak pernah berkesan baik pada pemahamannya. Kata apapun jika ditambah dengan kata ‘terlalu’ biasanya akan berkonotasi negatif.
Balik lagi kepada romansa yang indah seperti dalam dongeng, namun juga menguras air mata seperti dalam haru biru drama opera Rama Sinta, atau Habibie Ainun dengan empat juta penontonnya.
Karena mungkin tercipta dari seorang pemikir dan perasa, maka apapun jika sudah membicarakannya akan berhadapan dengan semua kelelahan berpikir tentang menyatukan dua kepala. Berkompromi demi sebuah kata sepakat di kedua belah pihak. Namun apa bisa? jika setiap harinya saja kita berkelahi dengan diri kita sendiri. Sisi kiri dan kanan yang terus saja berargumen panjang lebar, yang membuat kita menjadi bingung dan ragu akan ada di sisi mana kita. Sisi mana yang harus dikalahkan. Kecuali mungkin paham relatifitas, yang adalah pengecualian dari apa yang berarti pembiasan dari apa itu salah dan benar. Karena menurutnya semua sah-sah saja dan bisa-bisa saja. Maka olehnya tidak ada sisi kiri dan kanan. Semuanya menjadi bilur dan abu-abu. Terus saja mengartikan ini itunya, terus saja mencari makna apa untuk apa. Ga akan ada habisnya selama belum mati. Tapi mungkin juga tidak, karena roh mungkin masih bisa berpikir
Kenapa bisa serumit ini ya? Kata siapa kepada siapa yang kebetulan adalah saya (lagi). Rumit jika terus berpikir, simple jika menjadi seorang yang ikhlas. Mindset seorang pemikir akan terus berpikir, meskipun pemikiran itu sudah didapatkan dari pikiran sebelumnya, yang kiranya masih tetap saja berpikir memikirkan tentang pikiran dalam pikirannya itu. Mindset orang yang ikhlas adalah nerima jika apa yang dipikirkan tak sesuai dengan apa yang didapat, dia berhenti berpikir dan ikhlas.
Namun sialnya saya adalah seorang yang pemikir, yang selalu saja terjebak dalam pemikiran yang seharusnya tak dipikirkan. Melelahkan memang. Tapi jadi seorang yang ikhlas itu susah bos, kata saya kepada Tuhan saya yang nyatanya adalah memang ‘Bos’ saya. Tapi harus, kata ‘Bos’ saya yang adalah Tuhan saya, seperti yang saya bilang sebelumnya.
Setidaknya pedoman hidup berupa kitab yang adalah rangkuman sabdanya selalu saja berbunyi seperti itu. Walaupun mungkin pada kenyataannya saya banyak menyangkal tentang sesuatu yang disabdakan, namun alasan yang membuat saya mempercayainya adalah kematian. Tidak ada yang bisa saya sangkal dari kematian. Karena itulah saya bisa mengalahkan logika yang menghajar iman yang saya percaya. DenganNya saya merasa punya tempat bersandar untuk sebuah kepercayaan.
Balik kepada romansa (lagi). Konteksnya adalah, untuk bisa mengalahkan ego sendiri nyatanya lebih sulit, dibanding ketika kita memutuskan untuk berkompromi dan mencairkannya dengan sebuah rasa yang ‘katanya’ sayang-sayangan ini.
Kenapa ‘katanya?’ Hanya sebatas wacana kah? YA. Selama mengalahkan ego sendiri masih terlalu sulit dilakukan, maka kiranya kata sayang masih dalam artian ‘katanya’. Katanya kan bisa kata siapa saja, dan karena apa saja. Bisa karena nuansa, bisa karena suasana, bisa karena memang romansa adalah katanya sang penyair saja. Jadi direka-reka sendiri tentang indahnya mencintai dan dicintai. Padahal hidup-menghidupi terdengar lebih punya roh buat saya. Untuk bisa menjelaskan hal ini, seperti menjelaskan……“kiatsuksesmenarikperhatiandenganregspasimesra”.
Ga ngerti ya? Mungkin memang untuk tak dimengerti bagi si pemuja cinta buta. Jika saja cinta itu buta, maka kita akan tersesat di dalamnya. Itu bukan cinta. Adalah dua orang yang memberi pemahaman tentang hasrat ego pribadi, yang katanya adalah cinta. Padahal cinta adalah hidup menghidupi, tanpa rasa yang dialibikan dengan sebuah hasrat untuk sebuah ego pribadi.
Sebuah kalimat ‘aku sayang kamu selamanya’, yang beberapa bulan berikutnya saja sudah diingkari dengan menyerah pada suatu hubungan dan keadaan, yang tergoda begitu saja dengan warna pelangi yang memukau mata. Rapuh pada sebuah gradasi warna lain yang dilihat. Pun dengan itu. Bukan.
Adalah seorang istri merawat suaminya yang sudah setahun sakit keras, hingga tersungging senyum dari sang suami sebelum berpulangnya dia ke ‘rumahnya’. Ketika seorang ibu yang dimana seluruh hidupnya didedikasikan untuk keluarga dan ketiga anaknya. Ketika baju yang dia punya, dia pikir tidak boleh lebih bagus dari baju anaknya. Ketika dia makan di sebuah rumah makan, yang dia pikir tak boleh jika tak membungkusnya untuk anaknya, yang mungkin saja belum makan. Ketika disetiap doanya terselip nama suami dan anaknya. Itulah romansa. Romansa yang sudah bukan (lagi) rasa laksa. Tapi rasa SURGA.
Bandung, 23 januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar