“Hey ada anak monyet nyari pisaaang….ouuooo”, ujar Sadam kepada Sherina si anak baru di sekolahnya. Sebuah kalimat dalam film yang mengawali era baru kebangkitan perfilman Indonesia, setelah sebelumnya sempat mati suri karena tidak adanya produksi film dalam negeri yang muncul ke permukaan. Film berjudul Petualangan Sherina yang disutradarai Riri Riza ini seolah menjadi ‘trigger’ untuk film-film setelahnya yang mulai bergeliat lagi untuk bermunculan menawarkan ceritanya kepada khalayak ramai. Sebuah film yang dikemas apik baik dalam hal penggarapan film-nya itu sendiri, sampai untuk urusan soundtrack-nya yang tidak main-main dengan menggandeng Elfa Secoria sebagai orang dibalik musik-musik yang dihasilkan di film tersebut, seorang musisi bertalenta kebanggaan Indonesia yang banyak mengharumkan nama Indonesia di pentas dunia musik internasional.
Bicara tentang Petualangan Sherina berarti bicara tentang era baru kebangkitan film Indonesia, bicara tentang sebuah soundtrack film indonesia yang dikemas dengan apik (mengingat filmnya sendiri merupakan sebuah film drama musical). Dan bicara Petualangan Sherina juga berarti bicara tentang nostalgia masa SMP dengan semua pengalaman yang terlewati yang digambarkan film itu. Bahkan saking ‘booming’nya film itu, sampai-sampai di setiap pementasan drama di sekolah kala itu selalu saja menggunakan lagu-lagu dalam film petualangan sherina tersebut untuk adegan-adegan yang diperankan. Seperti ketika beradegan berantem misalnya, hampir bisa dipastikan untuk setiap adegan berantem dalam sebuah pementasan drama kala itu selalu memakai lagunya dalam film tersebut dengan lirik lagunya yang seperti ini….“dia pikiiir dia yang paling hebaat merasa paling kuaaat dan paling dahsyaaat...”. Dimana adegan dalam film-nya itu sendiri menampilkan adegan Sadam dan Sherina yang tengah berantem saling menjatuhkan siapa yang lebih hebat melalui lagu dan koreografi yang memorable (setidaknya buat saya). EPIC.!!!
Sebuah film yang mengawali era baru kebangkitan film indonesia
Lanjut masa SMA film indonesia yang ditonton pun tidak lagi terwakili oleh film semacam Petualangan Sherina atau film petualangan lainnya yang sejenis. Namun lebih kepada film remaja, dari mulai yang bertemakan drama sampai bagaimana ‘ngehek’ nya anak muda yang bisa-bisanya terwakili lewat film. Dari sisi drama cinta-cintanya terwakili dengan film Dealova, Brownies, atau mungkin Radith & Jani. Lalu dari sisi ‘ngehek’ nya anak muda terwakili dengan film Catatan Akhir Sekolah dan Realita, Cinta & Rock n Roll yang kala itu dua film tadi menjadi seolah trend di kalangan anak mudanya. Dengan dandanan yang bisa dibilang ‘rebel’, sampai pola pikir yang menuntut untuk sebuah kebebasan dalam berekspresi dan mau jadi apa kita sebebas-bebasnya (tapi positif ya). Bahkan untuk urusan soundtrack film-nya (lagi-lagi menyoroti soundtrack film-nya) lagu-lagunya sendiri sangat bisa mewakili apa yang ingin disampaikan dari film-nya. Seperti di film Catatan Akhir Sekolah misalnya, semua lagu-lagu yang ada di film tersebut merupakan lagu-lagu dari musik yang tidak umum yang biasa ditampilkan atau diperdengarkan dalam skala yang besar atau sebut saja lah ‘mainstreme’. Di film itu menampilkan musik-musik dari musisi/band yang sebenarnya punya potensi besar namun tidak atau belum muncul ke permukaan. Kenapa ini menjadi penting untuk dibahas? Karena seolah mewakili dari cerita yang ingin disampaikan oleh cerita film tersebut (dalam hal ini film Catatan Akhir Sekolah) musik yang ditampilkan juga merupakan sebuah bentuk pembuktian kebebasan berekspresi dalam berkesenian/bermusik. Terbukti ini ditegaskan dengan banyaknya musik-musik ‘cutting edge’ yang kiranya agak susah untuk dicerna telinga orang banyak disini. Namun ya kembali ke konsep si ceritanya tadi, jika kebebasan berekspresi adalah hal yang penting, dan itu tersampaikan dengan baik di film ini. Anak muda, pintar, kreatif, dan punya terobosan ke depan.
Setiap film mewakili sedang ada dalam fase apa saya waktu itu. Dengan Petualangan Sherina yang mewakili jiwa kanak-kanak ‘yang hampir gede’ saya, dengan Dealova yang mewakili ketika saya sudah ada di titik mengenal cinta dan segala macam problematika drama/roman picisan yang ada di sekitarnya, lalu dengan Catatan Akhir Sekolah yang mewakili betapa anak muda itu harusnya bebas berkreasi dan berekspresi tanpa harus terkekang dengan semua aturan baku yang kiranya bisa mengekang bakat kita dan ingin menjadi apa kita. Semuanya mewakili fase-fase dimana saya tumbuh menjadi seseorang sampai saat ini, ketika saya menulis ini (tentang film-film Indonesia) yang mempengaruhi saya lewat ceritanya yang merupakan reprentasi saya dan sedang ada dalam fase apa saya saat itu.
Menambahkan saja :
Sampai hari ini film Indonesia terus bergeliat menapakan taringnya untuk menjadi ‘minimal’-nya tuan rumah di negeri sendiri. Dan ini tidak sekedar hanya hisapan jempol belaka, karena terbukti dengan animo penonton yang memadati bioskop-bioskop tanah air untuk menonton karya film dalam negeri sendiri itu sangat banyak dengan grafik yang terus saja naik. Dengan Laskar Pelangi yang meraih 2 juta penonton lebih hingga yang paling baru Habibie & Ainun yang meraih 3,7 juta penonton dalam kurun waktu satu bulan saja. Dengan pencapaian seperti ini kiranya kita bisa optimis akan kemajuan film indonesia kedepannya untuk bisa berbicara banyak di pentas film internasional. Dan sepertinya harapan itu bukan sesuatu yang muluk untuk perfilman Indonesia. Karena sampai saat ini sudah tercatat banyak film Indonesia yang bisa bicara banyak di pentas film internasional. Sebut saja Film Lovely Man yang dengan aktor utamanya Doni Damara bisa mengalahkan aktor kawakan seperti Andy Lau di suatu ajang penghargaan film tingkat asia untuk kategori aktor terbaik. Atau film The Raid yang menjadi atau masuk Box office Amerika dengan jumlah penonton yang tidak sedikit. Ini merupakan suatu ajang pembuktian sineas-sineas kita jika film Indonesia layak dan memang pantas untuk ada dalam skala internasional. Dengan banyaknya sineas-sineas film/film-maker baru yang potensial, agaknya semuanya mungkin untuk diraih. Tinggal bagaimana kita-nya saja yang mau apa tidak mendukung sineas-sineas kita untuk bicara banyak di pentas film internasional.
Dan sebenarnya yang jauh lebih penting dari itu semua adalah bagaimana ketika kita bisa menularakan semangat berkreasi dalam membuat film atau apapun bentuk kreatifitas itu seperti apa untuk memajukan bangsa ini. Bagaimana menularkan inspirasi lewat film. Bisa lewat ceritanya, lewat penggarapan filmnya, sampai lewat pencapaian-pencapaian yang diperoleh film tersebut yang bisa memacu sineas-sineas lainnya untuk membuat film yang bagus juga.
Harapan selalu ada, tinggal mau atau tidak-nya saja.
Semangat terus sineas-sineas film kita. SALUUT.!!
Dimuat juga di surat kabar Belia Pikiran Rakyat (rubrik insight) cek disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar