Minggu 26 April 2015, ada yang berbeda dari kawasan Cigondewah Rahayu no 133 Bandung. Kawasan sub-urban kota Bandung, yang terkenal dengan central kain yang cukup besar di kota Bandung ini menyuguhkan keriaan dalam bentuk pertunjukan musik, dan diskusi mengenai dokumentasi dan pengarsipan bertajuk “Saya Ada Disana (Catatan Pinggir Skena Lokal)”. Acara ini terselenggara atas kerja sama dari teman-teman 133 CGNDWHH Public Space, dengan beberapa pembicara dan juga penampil seperti Eko Wustuk (penulis buku “Saya Ada Disana”), Ojel, Jatnika “Aang” (sebagai orang yang tumbuh besar di scene musik kota Bandung), Fanny “Beatheaven”, Eski “Cupumanik”, Dadi and The Yeehaw, Bandung Lost Dog, juga Eddy Selenoid sebagai orang yang membawa wacana pengarsipan dalam konteks scene music lokal ke dalam materi diskusi.
Acara dimulai sekitar pukul 5 sore dengan penampilan dari Beatheaven feat Eski “Cupumanik”. Dua “pentolan” grunge kota Bandung ini hadir dalam format akustik. Namun meskipun keduanya tampil tanpa distorsi berisik yang biasanya jadi semacam “keharusan”, atau menjadi identik dengan apa itu “grunge” (dalam konteks estetika dan teknis bermusiknya) tidak menjadikan mereka gagal menghadirkan feel “grunge” itu sendiri dalam penampilannya. Mungkin lepas dari idiom bermusik tentang bagaimana seharusnya “grunge” ditampilkan, ada kedalaman lirik dan penjiwaan dalam isi lagu yang dibawakan, yang menjadikan feel “grunge” itu tetap terasa dalam penampilannya.
Menarik untuk ditulis juga disamping penampilan dari Beatheaven feat Eski “Cupumanik”. Disekitar area acara terdapat pula lapakan rilisan dari Deur Records, yang juga dikelola 133 CGNDWH sebagai wadah kreatifitas yang bergerak dalam hal perilisan album musik. Tentang album musik dalam bentuk fisik (kaset, CD, Vynil) itu sendiri sedikit banyak akan menjadi tema diskusi tentang pengarsipan ini. Bagaimana sebuah budaya membeli dan mengoleksi rilisan fisik ini dari era dulu ke era sekarang, dilihat dari sudut pandang pengarsipan itu sendiri.
Diantara beberapa rilisan Deur Records seperti De Tohtor atau Manipulasi, terdapat pula rilisan khusus hasil kolaborasi dengan K.C.A.B (unit kreatif dari Bandung), yang sengaja dibuat untuk acara ini. Sebuah Boxset (atau anggap saja itu boxset), yang didalamnya berisikan CD dan buku kecil tentang cerpen Asep Cobain, dimana dia bercerita tentang point of view dia akan skena lokal.
Ada satir menarik yang ditulis Asep dalam buku itu, bagaimana ketika dia mentasbihkan diri jadi anak grunge lalu berpindah jadi menyukai punk, death metal, sampai akhirnya dia kembali ke grunge, dengan menambahkan kembali nama “Cobain” ke dalam namanya.
Setelah rehat sejenak sekitar pukul 6 (break Maghrib), acara dilanjutkan dengan diskusi, yang menjadi inti dari acara ini. Acara diskusi ini dibuka oleh Amet, yang pada malam itu bertindak sebagai moderator. Amet membukanya dengan menjelaskan definisi dan perbedaan antara dokumentasi dan pengarsipan. Point-point apa saja yang bisa dimasukan ke dalam sebuah dokumen dan pengarsipan. Ditambahkan pula oleh amet jika pengarsipan ini pada prosesnya tidak sesederhana sebuah pendokumentasian, yang cukup dengan foto atau merekam pake handphone saja. Menurutnya harus ada wadah yang memang concern menulis secara konsisten, dan (dalam istilah Amet) manajemen atau lembaga yang mengelola kearsipan itu sendiri. Karena menurutnya apa yang bisa tiap individu buat sebagai bentuk dokumentasi tidak secara langsung bisa jadi sebuah arsip, jika tidak dikelola lewat manajemen atau wadah yang memang concern secara konsisten akan hal itu.
Sebagai pembuka, Eko Wustuk yang juga menulis buku “Saya Ada Disana”, ditunjuk sebagai pembicara pertama, sedikit banyak memaparkan kenapa akhirnya dia menulis buku “Saya Ada Disana”, yang berisikan catatan dia akan scene grunge dari sudut pandang dia. Eko menjelaskan jika bukunya itu bersifat subjektif, sesederhana dia suka dengan apa yang dia lihat dan dia dengar ketika dia datang ke sebuah gigs, lalu dia menuliskannya. Sekitar 5 tahun dia nonton konser musik lokal, lebih kurangnya ada 70 konser dia datangi, yang dengan rajin dia tulis setiap konser yang dia tonton. Catatan-catatan itulah yang akhirnya dia rangkum jadi sebuah buku “Saya Ada Disana” tadi.
Selain Eko ada juga Ojel, Dadi, Fanny, dan Eski, yang dulunya sempat aktif di scene musik lokal, atau lebih spesifik dalam lingkup jalan Purnawarman (sekarang jadi BEC). Bagaimana ketika itu pergerakan scene musik yang ada di Bandung sedang bergeliat, namun tidak ditunjang dengan kesadaran akan dokumentasi dan kearsipan, yang menurut mereka lebih ke hal teknis seperti alat untuk merekam dan merangkumnya jadi sebuah arsip. Sampai akhirnya sekitar tahun 2000an awal, ketika tempat nongkrong mereka dijadikan BEC (sebuah pusat belanja elektronik terbesar di Bandung) Ojel aktif menulis dan menyadarai pentingnya dokumentasi untuk sebuah arsip, agar pergerakan scene musik di Bandung tidak hanya sebatas katanya saja.
Ditambahkan pula oleh Dadi tentang era dimana sebuah arsip menemukan wadah dalam bentuk zine photo copyan. Ketika itu kesadaran akan sebuah pengarsipan mulai muncul dari beberapa tempat di Bandung, seperti misalnya komunitas Purna itu sendiri sampai Ujung Berung, dengan Kimung yang aktif dalam menulis. Sedikit berbicara tentang Kimung, yang juga punya concern tentang pengarsipan dalam bentuk literasi, salah satunya lewat buku Ujung Berung Rebel yang dia buat. Namun dengan adanya buku itupun kendala masih terasa, seperti misalnya akses untuk mendapatkan buku itu dan lain sebagainya. Hal inilah yang menarik minat kang Jatnika atau biasa dipanggil Aang untuk membuat bandungunderground.com. Menurutnya akses internet di era sekarang terbilang mudah untuk orang yang ingin mencari rujukan tentang pergerakan scene ini. Pengarsipan dalam format digital lewat internet ini sendiri mulai bergeliat belakangan ini. Salah satunya situs weneedmorestages.com yang diinisiasi oleh Wok The Rock.
Selain itu disinggung pula soal rilisan album fisik yang belakangan kembali bergairah. Artefak sejarah musik lokal yang dikemas dalam bentuk album ini setidaknya memberi gambaran tentang musik lokal era dulu sampai sekarang. Sejauh mana perkembangannya. Lepas dari “boomingnya” lagi rilisan fisik ini sekedar trend sesaat atau memang keinginan rasa ingin “memiliki”, dengan mempunyai bentuk utuh sebuah album, culture ini dinilai sesuatu yang positif sebagai bentuk dokumentasi dan pengarsipan.
Meskipun kita (menurut istilah Eski) lebih terbiasa dengan budaya oral dibanding budaya literasi atau pencatatan. Era internet ini seharusnya bisa memberikan wadah bagi pengarsipan itu sendiri. Beberapa penulis yang concern dan konsisten merangkum berbagai pergerakan scene lokal sekarang ini pun mulai banyak bermunculan. Namun hal inipun harus ditunjang pula dengan wacana yang menarik untuk diangkat. Karena apa menariknya menuliskan konser tribute yang lagi-lagi diangkat sebagai tema sebuah acara. Juga dari sisi komunitasnya juga baiknya sadar akan media, dan mau melibatkannya sebagai wadah untuk sebuah dokumentasi dan pengarsipan.
Selesai dengan diskusi acara dilanjutkan dengan penampilan Dadi and The Yeehaw. Suasana di 133 Public Space pun menjadi bising seketika dengan noise dan (dalam istilah Dadi) menyebutkan jika apa yang mereka tampilkan adalah perayaan tentang bunyi. Band ini menangkap ketidak beraturan bunyi dalam musik. Awam akan menganggap musik mereka adalah sesuatu yang chaos, ketika chaos digambarkan seperti keadaan yang kacau, penuh ketidakpastian secara tekstual. Menunjukan perilaku yang tidak terduga dalam satu kompleksitas pola-pola bermusik itu sendiri. Seperti yang dikatakan Shahida Manzoor dalam disertasinya yang mengutip Ovid Methamorposes menyatakan bahwa “before ocean was, or earth or heaven, nature was all a like, a shapeless chaos”, yang menjelaskan tentang adanya keadaan tertib diawali dengan ketidaktertiban. Atau jika tidak harus seserius itu menanggapi musik mereka. Sederhananya mereka tidak sedang bermusik dengan alat musik yang mereka mainkan, ketika musik mempunyai aturan tentang keteraturan bunyi dan ritmis yang harmonis. Mereka hanya merayakan bunyi saja. Dinikmati ataupun tidak oleh penonton.
Sampai diakhir acara, duo MC gokil dan sakit (dalam tanda kutip) Ferry dan AL pamit undur diri dengan menghadirkan Bandung Lost Dog (BLD), yang saat itu khusus membawakan lagu-lagu Pearl Jam. Penonton pun terlihat sangat menikmati lagu-lagu Pearl Jam yang dibawakan BLD. Lagu-lagu Pearl Jam agaknya menjadi yang paling gampang menyatukan banyak orang, setelah diskusi dan dibuat berpikir lama saat nonton penampilan Dady And The Yeehaw. Menarik ketika salah seorang penonton bertanya “nih band bawain lagu apa sih?” karena yang didengarnya cuma bunyi-bunyian noise penuh feedback dimana-mana. Namun akhirnya dengan lagu Jeremy nya Pearl Jam, kerutan kening itu kembali rileks dalam nyanyi-nyanyian yang membuat suasana di Cigondewah menjadi hangat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar