Sabtu, 11 April 2015, bertempat di teater tertutup Dago Tea House, Bandung. Banda Neira, Gardika Gigih, Layur, serta Duo Jeremia Kimosabe dan Suta Pangekshi, menggelar pentas musik kolaborasi mereka bertajuk “kita sama-sama suka hujan”. Dinamakan “kita sama-sama suka hujan”, karena menurut para penampil (peserta kolaborasi) mereka memiliki karya yang berkaitan dengan hujan. Baik itu yang terinspirasi oleh perasaan yang muncul sebelum hujan, selagi hujan, atau setelah turun hujan.
Konser dibuka sekitar jam 7 malam, dengan penonton yang memadati area konser, dan siap “kehujanan” bareng, atau tepatnya kehujanan eksperimental ambience-coustic lirih syahdu, yang menjadi tema besar dari konser ini.
Ketika masuk area konser akan berlangsung penonton disuguhi foto-foto Banda Neira dan teman-temannya dari beberapa pertunjukan mereka. Ada juga replika Rara Sekar dan teman-temannya yang dibuat seolah “kehujanan”, lengkap dengan jas hujan yang mereka kenakan. Menariknya, penonton juga bisa berfoto dengan replika itu.
Sekitar jam 8 malam, pertunjukan bertajuk “Kita Sama-Sama Suka Hujan” ini mengawalinya dengan lagu “Hujan Dan Pertemuan”. Lagu yang secara isian (terlebih judulnya) bisa memberi gambaran kenapa pada akhirnya konser ini bisa terselenggara, lengkap dengan set panggung yang ditambahkan awan-awan kecil bergelantungan (terbuat dari semacam kapas), dengan tambahan (semacam benang) yang nempel di awan yang bergelantung tadi, dibuat menyerupai gambaran tentang hujan. Makin dikuatkan dengan permainan lampu warna-warni disekitar panggung. Komposisi musik yang dibuat untuk lagu ini juga seolah menjelaskan jika para penonton akan mendapat sesuatu yang lebih, ketika melihat Ananda Badudu memainkan large tom/floor drum, yang tidak biasanya dia mainkan, selain dari gitar akustik yang biasa mengiringi Rara Sekar bernyanyi. Disamping itu dua string section Jeremia dan Suta makin menguatkan asumsi jika konser ini akan melebihi ekspektasi penonton yang datang.
Selesai dengan lagu pembuka yang terbilang megah itu, para penampil sedikit berdialog tentang alasan kenapa mereka suka hujan. Sampai kemudian hujan menjadi inspirasi bagi para penampil malam itu untuk dijadikan tema lagu. Rara Sekar bertindak sebagai (katakanlah) “moderator”, dalam sesi bincang-bincang akrab itu. Ditimpali dengan Ananda Badudu, yang meskipun menampilkan mimik gugup diatas panggung, namun keakraban antara Banda Neira dan teman-temannya begitu cair dan tidak jarang mengundang tawa penonton.
Dinamika yang naik turun dari tiap lagu yang dibawakan membuat penonton ada dalam kenyamanan mengikuti alur lagu sampai eargasm. Dengan ditingkahi permainan musik Ananda Badudu dan senandung Rara Sekar, yang tak henti membuat merinding meskipun hanya berucap aaa, dududu, atau pararampa. Bisa dibilang sepanjang pertunjukan berlangsung, senandung dari Rara menjadi cukup dominan memberikan isian yang menghanyutkan ditiap lagu yang dibawakan. Selain itu dentingan piano dari Gigih dan dua string section (Cello dan Biola) Jeremi & Suta, piawai membuat hati lunglai (atau menurut bahasa anak sekarang itu “dalem banget”), makin dikuatkan lagi dengan lagu Layur yang mengawang dan pintar memancing imajinasi sejenak meninggalkan konser, untuk berada diantara bebunyian ombak dan pasir pantai.
Lagu dari Layur yang mengawang ini dikuatkan dengan komposisi musik di lagu “Langit dan Laut”. Bahkan untuk memberikan ambience dari lagu itu, ditambahkan pula suara ombak dan suara orang berlarian disekitar pantai. Menariknya, suara ini direkam langsung oleh Layur sebagai sampling lagunya agar terdengar lebih nyata, dan memberi gambaran utuh tentang sebuah lagu, yang bukan hanya bagus dari segi musiknya saja, namun juga isian yang kuat perihal ilustrasi, dan cara dia memancing imajinasi dilagu ini begitu pintar. Sampai kemudian konser rehat sejenak sekitar 15 menit.
Permainan Piano (ditambah sedikit solo) dari Gigih mengawali pertunjukan “Kita Sama-Sama Suka Hujan” sesi kedua. Sampai ketika coda dari permainan piano Gigih berakhir, konser diteruskan dengan lagu “Kereta Senja”, dan sedikit dialog antara mereka tentang awal mulanya mereka bisa bertemu, cocok dalam hal bermusik, dan memutuskan membuat pertunjukan musik bareng. Beberapa dialog diatas panggung ini lagi-lagi bisa memancing tawa penonton yang hadir. Misalnya saja ketika Rara menilai musik layur dengan sebutan Bantul Postrock, atau ketika Gigih meminta maaf karena diantara semua yang tampil dia yang paling serius.
Keakraban mereka diatas panggung, dan beberapa penonton yang menyaksikan pertunjukan dengan duduk lesehan, menjadikan konser ini punya isian yang menarik, dengan musiknya yang terbilang “wah”, namun masih bisa menampilkan kesederhanaan dari para penampilnya. Dalam bahasa awam, konser ini bisa dinilai seperti pertunjukan orchestra with cassual way gitu lah.
Disesi kedua pada konser “Kita Sama-Sama Suka Hujan” , Gigih cukup menarik perhatian lewat lagu-lagunya. Salah satu lagu Gigih yang dibawakan dengan apik pada malam itu adalah lagu “Tenggelam”, yang juga merupakan sebuah soundtrack film “Rumah”, dan pernah dipentaskan di Okinawa jepang. Lagu ini menarik dengan warna musiknya, yang bisa dibilang ada sentuhan etnik sedikit, namun dibalut dengan musik “ala” Gigih yang khas. Dilagu ini tampak Rara menampilkan sebuah tarian saat dia menyanyi. Dia tampak larut dalam lagu ini.
Para penampil berbincang kembali diatas panggung. Kali ini mereka saling bertanya (atau lebih tepatnya menilai satu sama lain) tentang musik masing-masing. Misalnya Layur yang diminta pendapat tentang Banda Neira, lalu Banda Neira diminta pendapat tentang musik Gigih, dan begitu seterusnya mereka saling bertanya dan menilai musik temannya yang tampil malam itu.
Kemudian pertunjukan sampai pada lagu “Derai-Derai cemara”, yang merupakan musikalisasi puisi dari Chairil Anwar. Tampak Rara Sekar sedikit menahan rasa harunya dilagu ini, karena menurutnya lagu ini punya kata-kata yang bagus, sekaligus menyedihkan. Terdengar pula Rara sedikit terisak ketika menjelaskan tentang betapa bagusnya puisi mas Chairil ini.
Sampai pada akhirnya konser yang berlangsung (lebih kurang) hampir 2 jam ini tiba pada lagu terakhir, setelah sebelumnya mendapat encore dari penonton. Maka mengalunlah lagu “Diatas kapal Kertas”, yang disambut koor penonton yang hadir. Makin menarik lagi ketika semua penampil (peserta konser) memperlihatkan kemampuan bermusiknya lewat sebuah solo mereka masing-masing. Dari mulai Gigih dengan solo pianonya, Jeremi lewat solo Biola nya, Suta lewat solo Cello nya, sampai Rara sekar yang tampil dengan solo beat box, lalu bernyanyi dengan suara robot, dan yang lebih lucunya lagi Rara bernyanyi solo dengan menyerupai suara Ananda Badudu, lewat alat yang (dalam bahasa awam) seperti alat perekam/sampling yang bisa dimix jadi sebuah komposisi suara, dengan rara sekar sebagai konduktornya.
Setlist lagu terakhir telah selesai dimainkan. Para penampil berkumpul dan memberikan penghormatan kepada penonton yang hadir malam itu. Tepatnya untuk para penonton yang ikut bersenandung pararampa dan kehujanan bareng di konser “Kita Sama-Sama Suka Hujan”. Ambience hujan dan gemercik gerimis yang diwakili piano Gigih, perasaan sendu kala hujan yang diwakili Rara, dan dikuatkan dengan para penampil lainnya, membuat hujan kali ini benar-benar disukai banyak orang. Setidaknya bukan hujan yang sedang marah, dan menjadikan kota Bandung ini beberapa kali kebanjiran karena curah hujan yang tinggi. Hujan dalam konser ini adalah ketika melodi yang bersahutan dengan ritmis dalam gerimis yang mengundang banyak orang untuk bernyanyi bersama.
Berfoto dengan Rara Sekar yang aduhai
(tapi cuma replikanya. huft :( )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar