Selasa, 09 Juni 2015

ESTETIKA EMPAT DIMENSI AXE BLACKLAB TOUR 2015


Jumat, 5 Juni 2015. Bertempat di Nu Art Sculpture Bandung, diadakan sebuah gelaran musik yang diinisiasi oleh AXE sebagai pihak penyelenggara. Sedikit tentang Nu Art Sculpture yang didirikan I Nyoman Nuarta, seorang pematung Indonesia dan salah satu pelopor Gerakan Seni Rupa Baru (1976). Dia paling dikenal lewat mahakaryanya seperti Patung Garuda Wisnu Kencana (Badung, Bali), Monumen Jalesveva Jayamahe (Surabaya), serta Monumen Proklamasi Indonesia (Jakarta). Nyoman Nuarta mendapatkan gelar sarjana seni rupa-nya dari Institut Teknologi Bandung dan hingga kini menetap di Bandung.

Tempat yang didesain sedemikian rupa sehingga membuat rasa nyaman dengan nuansa yang arsi dan artsy, menjadikan tempat itu tidak hanya teduh dengan rindangnya pohon, namun juga beberapa karya pak Nyoman yang memanjakan mata, memberi kesan jika seni adalah suatu pelarian yang indah ketika penat mulai menginvasi lewat carut marut macetnya kota Bandung dewasa ini. Apalagi ditambah dengan penampilan beberapa band, yang makin menguatkan estetika semiotik dari nuansa dan suara hasil kolaborasi kenyamanan tempat dan komposisi musik yang ciamik pada gelaran hari itu.

Tak lupa juga jika selama gelaran itu berlangsung aroma wewangian khas AXE menyeruak ke seluruh sudut disana. Dengan varian terbarunya AXE ingin merangkul banyak orang yang datang pada hari itu untuk ada pada sensasi (katakanlah seperti itu) empat dimensi meliputi estetika saat memandang (dengan banyaknya unsur seni di Nu Art Sculpture), estetika saat mendengar (dengan penampilan band-band yang tampil), terakhir estetika saat mencium (dengan varian wewangian baru dari AXE)

Stage yang melingkar dengan pernik lampu yang berwarna-warni mulai dipenuhi orang, pertanda sebuah gelaran musik hari itu dimulai. Tre menjadi penampil pertama, dengan musiknya yang bernuansa post rock atau shoegaze atau eksperimental atau apapun itu, dalam pendengaran awam yang ditarik garis merah dan satu kesimpulan “musiknya ekspresif”. Sedikit kejutan yang dibawa Tre adalah ketika kolaborasi mereka dengan salah satu personil  Zaggle griff yang memberi nafas dan warna yang berbeda, selain tentunya menguatkan isian lagu dari band Tre itu sendiri.

Alvin and I menjadi penampil kedua setelah Tre. Musik folk yang belakangan menjadi “trend” di kota Bandung seperti ditegaskan oleh band ini. Hanya mungkin bedanya Alvin and I sedikit menambahkan bebunyian khas dari alat tradisional sunda seperti angklung. Ada sedikit lick dari nada-nada khas yang dihasilkan oleh angklung yang seolah “menyelamatkan” komposisi musik yang mereka bawakan. Karena jika saja bunyi itu tidak ada pada komposisi musiknya mungkin lagu-lagunya terdengar masih typical. Namun meskipun begitu untungnya lagu mereka terdengar nyaman di telinga penonton yang datang hari itu.

Ingat dengan lirik lagu seperti ini “Help me out just get me out of here Is anybody outside help some stranger here”, atau pas part chorus/reff yang catchy dan gampang nempel seperti ini “I love you like I love the sunrise in the morning?”. Jika jawabannya adalah lagu Polypanic Room dari Polyester Embassy maka kamu berhak mendapatkan sebuah piring cantik bertuliskan “follback ea kakak”, karena jawabannya bener. Band Bandung yang lumayan jarang manggung di Bandung ini cukup mengobati kerinduan penggemarnya disini. Jika pada penampilan band-band sebelumnya penonton masih lumayan asing dengan lagu yang dibawakan, maka lain cerita ketika Polem (sebutan iseng untuk Polyester Embassy) tampil diatas panggung. Penonton ada dan larut dalam lagu yang dibawakan polem. Ikut bernyanyi bersama Elang sang vokalis yang entah kenapa selalu sulit terlihat tenang, dan mengikuti irama dengan meniru air guitar dari Eki yang entah kenapa selalu terlihat tenang tiap diatas panggung. Polem menunjukan musikalitas yang tidak hanya ekspresif, tapi juga ditunjang dengan komposisi musik yang baik dari rotasi chord sampai isian layer pada gitar maupun sampling dalam musiknya, dan secara penampilan ditunjang permainan tampilan visual lampu LED yang ciamik. 

Penampil terakhir adalah band Sore yang ditunggu-tunggu banyak penonton yang datang hari itu. sedikit pengaba dari personilnya maka mengalunlah lagu No Fruits For Today, yang didaulat menjadi lagu pembuka, sebelum pada akhirnya masuk ke lagu-lagu hits mereka semisal Etalase, Merintih Perih, atau ssst. 

Lebih kurang satu dekade band ini berdiri agaknya cukup untuk membuatnya menjadi matang. Tidak hanya dari segi musikalitasnya saja, tapi dari pembawaan personilnya di panggung yang bisa membawa suasana menjadi akrab dan tidak berjarak. Apalagi dengan konsep panggung yang melingkar dengan para penonton yang duduk santai menyaksikan mereka bermusik, sedikit interaksi, dan saling melontarkan lagu mana saja yang ingin dibawakan oleh Sore. 

Untuk yang baru kali pertama menyaksikan Ade Paloh bermain terompet, lalu Bembi yang bernyanyi dibalik kemudi set drumnya, mungkin beberapa kejutan itu bisa jadi memorable dan berkesan, mengingat Sore adalah sebuah band yang matang secara musikalitasnya. Bisa dibilang jika mereka sesungguhnya tidak sedang bermain musik, tapi kehadiran mereka diatas panggung adalah penegasan jika mereka bagian dari musiknya itu sendiri. Mereka merayakan suara yang dihembuskan Ade lewat terompetnya, pondasi kokoh yang dibangun Awan dan Bembi, dan bahkan isian lick gitaris tamu Sigit Agung Pramudita dari Tigapagi. Oh iya hal yang sayang jika tidak dituliskan adalah ketika Ade pada malam itu memakai kaos bertuliskan Mondo Gascaro, sahabat lamanya yang juga ikut mendirikan Sore ini seolah hadir lewat artefak musik yang ditinggalkannya bersama Sore. Melihat Ade memakai kaos bertuliskan Mondo Gascaro rasanya sulit untuk tidak emosionil. Tapi Sore telah berjalan meninggalkan Mondo semenjak lagu ssst diperdengarkan ke publik. Dan ya mereka baik-baik saja. Lewat lagu ssst pula lah Sore menutup penampilannya malam itu.

 

Photo : Maulana Adi P

Tidak ada komentar:

Posting Komentar