Hari sabtu Bandung sedang panas dan macet, kolaborasi yang gampang banget buat menyulut emosi siapapun pengendara, yang kebetulan sedang berpacu dengan waktu, sebelum akhirnya sampai ke tempat tujuan. Saya jadi salah satu diantara pengendara itu. Memacu motor saya agar segera sampai menuju jalan Moch Toha, tepatnya disebuah pabrik coklat tempat si pacar bekerja. Kami ada janji berangkat bareng menuju Kineruku, untuk menghadiri diskusi dan launching album dari band Flukeminimix.
Saya tahu band ini sekitar tahun 2012, waktu nonton di Majahouse secara tidak sengaja. Karena waktu itu niat awalnya mau nonton Nicfit sama Under The Big Bright Yellow Sun. Terus nyempil band ini satu. Mereka waktu itu tampil bagus, baik dari segi performance maupun secara musikalitas. Apalagi mereka terbilang niat dengan memboyong Cello dan Contra bass dalam pertunjukan mereka.
Pertemuan kedua dengan band ini yakni pas di acara Summer & Rain (sekitar tahun 2014) di Pangalengan. Sebuah gigs yang memadukan musik dan suasana kemping. Seru sih acaranya, tapi.....Nah tapinya ini. Waktu itu sayangnya pihak penyelenggara kurang rapi dalam hal teknis. Saya salah satu yang kebetulan tertimpa sial pas acara itu. Cuaca di Pangalengan yang pada dasarnya udah dingin banget itu, ditambah pula hujan (kaya nyocol sambel pake cabe lah. Kebayang kan pedesnya, yang dalam hal ini kebayang kan dinginnya). Nah celakanya saya tidak dapat jatah tenda yang dijanjikan panitia. Sebelum akhirnya saya Hipotermia karena cuaca dingin dan ditambah belum dapet tenda pula, datanglah sebuah bantuan Tuhan yang dikirim lewat manajer band Flukeminimix (yang kebetulan kenal dengan si pacar). Dia menawarkan agar kami (waktu itu ada saya, si pacar, Lulu, Komang, dan Tuan muda Pupuh) pake tenda artis aja. Tenda artis dalam hal ini adalah tenda yang diperuntukan untuk pengisi acara di Summer & Rain waktu itu. Singkatnya, jadi Flukeminimix ini merelakan tendanya untuk kami pakai. Merelakan kenyamanan tenda yang besar (lengkap dengan fasilitas sleeping bag) untuk kami pakai. Darisana saya jadi makin respect sama band ini. Band yang selain punya musikalitas ok, juga punya sense of empati yang ok.
Balik ke Flukeminimix dan sebuah acara diskusi yang mengulas tentang relevansi musik tanpa lirik, dalam kaitannya sebagai sarana menyampaikan pesan sebuah lagu. Tiga paragraf diatas yang saya tulis tentang awal mula saya tahu dengan band ini adalah satu contoh pemborosan narasi, yang sebenarnya bisa diringkas dalam bentuk sebuah lagu berdasar pada pengalaman, perasaan, dan daya hayal. Flukeminimix menangkap itu. Mereka merepresentasikan tiga unsur penting dalam proses penciptaan karya lewat sebuah musik tanpa lirik. Apakah berhasil? Hal inilah yang jadi pembahasan dihari itu.
Acara dibuka oleh Ucok (dengan atau tanpa Homicide), yang dihari itu bertindak sebagai moderator, sebelum akhirnya menyerahkan mic pada Idhar dan mas Taufik yang waktu itu didaulat sebagai pembicara. Idhar bicara tentang pengalamannya meliput konser Mogwai, sebuah band yang lebih kurang punya konsep bermusik yang sama dengan Flukeminimix. Idhar menjelaskan tentang musik Mogwai dan kaitannya dengan ruang, struktur lagu, dan menangkap pengalaman yang dirasakan ketika mendengar bunyi, yang kita sepakati bersama dinamakan dengan label post rock ini. Hal yang lebih kurang sama dengan pernyataan mas Taufik, ketika dia memberikan argumen jika dalam hal teknis bermusik, peran instrumen yang dimainkan pada musik so called post rock atau eksperimental rock ini adalah bukan tentang seberapa hebat mereka bermain musik secara teknis, tapi instrumen musik disini ada untuk membangun atau menangkap struktur dan ambience emosi yang ingin disampaikan. Hal ini dikuatkan pula oleh pernyataan salah satu personil Flukeminimix yang mengatakan jika beberapa dari mereka ada yang tidak bisa memainkan alat musik dari segi teknis harus seperti apa. Namun lepas dari itu ada sense of bunyi (bahasa inggris yang belibet) dari emosi yang dihadirkan masing-masing personil dalam lagu Flukeminimix ini, yang kemudian bentuk itu terstrukur jadi sebuah ambience yang mengisi ruang imaji ditiap telinga yang mendengar. Pola seperti itulah yang akhirnya membentuk sebuah representasi bunyi lewat sebuah judul lagu. Apalagi jika berbicara tentang keutuhan sebuah album, yang lengkap dengan artwork didalamnya, makin menguatkan argumen yang ingin disampaikan flukeminimix dalam karya nya. Walaupun untuk musik tanpa lirik seperti ini setidaknya rentan akan penafsiran yang beragam, sesuai dengan kapasitas mencerna masing-masing orang yang mendengar.
Foto diambil dari facebook Q Yonk Diah
Musik tanpa lirik ini seperti menangkap gelagat bunyi yang lahir, untuk kemudian direpresentasikan oleh ruang imaji sampai berbentuk sebuah bangunan. Ornamen seperti simbol pada artwork ataupun ruang/tempat untuk mendengarkan lagu tersebut ada untuk menguatkan bangunan seperti apa yang sedang kita bangun. Apakah kita sedang membangun sebuah taman, sebuah danau, atau sebuah absurd paradiso, tempat dimana kita merasa nyaman dengan imajinasi kita sendiri, singgahan antara mimpi dan paradoks akan ilusi dan harakiri.
Saya mencoba untuk memberi kesimpulan hari sabtu kemarin dengan sebuah sketsa instrumen musik yang saya buat (dalam hal ini tulis), sebagai representasi saya akan cuaca yang panas, macet, bertemu ucok, menghadiri diskusi, suasana intim, pacaran, dan perjalanan pulang menuju hamparan kasur yang nyaman, sampai akhirnya tertidur.
Dibuka dengan bunyi noise yang pekat, distorsi kasar, ketukan drum yang agresif sampai menit kedua, menggambakan perjalanan dan lalu lintas yang hectic. Setelahnya bunyi petikan gitar perlahan mengalun, sedikit ditingkahi sayup string section, pelan saja jangan terlalu mendominasi, agar tidak mengambil peran sunyi yang dirasa perlu sebagai penghormatan untuk sebuah jeda, seperti apa yang dikatakan John Cage di 4’33”. Menit ini menggambarkan suasana Kineruku yang tenang dan nyaman. Lalu setelahnya diisi dengan ketukan drum yang konstan mengawal sampai menit ke empat, dengan penambahan dan pengulangan melodi dari inversi dan progresi chord gitar dan bass. Bunyi drum yang konstan menandakan diskusi sudah dimulai. Kenapa harus konstan? agar menjaga rima dan flow acara yang sedang berlangsung. Sedangkan inversi melodi dan progresi chord gitar dan bass menandakan para pembicara sedang memberikan statemennya masing-masing. Jadi melodi disana harus tergambar jelas, sedkit chorus dan reverb pada settingan efeknya.
Menuju menit kelima, string section yang tadi tergambar sayup dan perlahan mengalun, kali ini lepas saja memberikan agresifitas melodinya, menandakan ada riuh tepuk tangan pertanda diskusi selesai dan orang-orang yang hadir memberikan penghormatan pada Flukeminimix, atas karya nya yang resmi lahir pada hari itu. Memasuki menit ke enam distorsi gitar mulai perlahan masuk lagi dan sedikit membombardir, lalu mematahkan bangunan string section yang dibangun tadi. Ini menggambarkan perjalanan pulang yang kembali terjebak macet lagi. Sampai akhirnya dimenit ketujuh, instrumen musik yang lain pamit, dan hanya menyisakan bunyi dentingan piano. Melodi per melodi dari tiap tuts yang dibunyikan bergerak sangat lambat, makin melambat, pelan, sampai tidak terdengar sama sekali. Itu menggambarkan saya sudah tidur.
Foto diambil dari twitter @kineruku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar