“Suka Blue Boy juga?”.... kalimat awal perkenalan dari dua orang yang sebelumnya tidak kenal sama sekali, mencoba untuk kenalan, menjadi kenal, dekat, saling suka, sampai akhirnya seolah tidak pernah kenal sama sekali. Atau jika saja ini mengarah kepada haru biru drama televisi berjudul “kulit cinta tak ceputih canti”, maka lebih tepatnya mencoba untuk tidak mengingat jika keduanya pernah kenal, dekat, saling suka, pernah berbagi tawa, dan pernah bahagia bersama. (kemudian hoooo dan woooo “so cheeeeesy”, ujar seorang penonton pemerhati televisi, dengan perbandingan koneksi TV kabel di channel National Geographic)
“maaf, aku cuma bisa bilang itu”..... kalimat penutup dari awal perkenalan itu tadi. Kalimat penutup yang akhirnya mau tidak mau perannya mematahkan sebuah ekspektasi. Banyak hal. Tentang Elora dan segala macam keyakinan jika sinar terang itu akan datang. Karena nyatanya ini menjadi redup, seperti lampu motor yang aku pakai, yang akhirnya dengan semua keterbatasan penglihatan yang aku punya, aku tak bisa mengendalikan motor yang aku bawa. Panduan cahaya, yang mau tidak mau aku bergantung padanya ketika berkendara, harus menjadi oleng dan terjatuh karena ada yang salah dengan lampu motor yang aku pakai. (kemudian hoooo dan woooo “so cheeeeesy”, ujar seorang penonton pemerhati televisi, dengan perbandingan koneksi TV kabel di channel National Geographic)
Ngga. Ini bukan salah kamu. Aku setuju dengan yang Aidan Hawken nyanyikan ketika dalam liriknya dia berujar. “....it's gonna be fine if you have to go. And I always wish you well you know. It's time for you to do everything. You always wanted to do. So, I'll see you when you make it through” (kemudian hoooo dan woooo “so cheeeeesy”, ujar seorang penonton pemerhati televisi, dengan perbandingan koneksi TV kabel di channel National Geographic)
Jika harus ada yang disalahkan, mungkin yang salah itu ekspektasi. Satu hal yang sangat aku benci seperti halnya harapan yang sangat ingin aku bunuh. Terjebak dalam keinginan, terjebak dalam doa, terjebak dalam keheningan, terjebak dalam dogma. Akal-akalan manusia agar terkesan bijak dalam bentuk kalimat “berdoa, hanya Dia yang bisa membolak-balikan hati manusia”, hanya akan meneruskan sebuah ekspektasi yang akhirnya terpatahkan. Lagi.
Dengan segala kerendahan hati, dan semua keimanan yang aku percaya akan Tuhan. Sepertinya Tuhan sedang malas membolak-balikan hati si penggemar Blue Boy tadi agar mau kembali. Mungkin Tuhan akan bilang “I’m a director and you’re an actor. That's the deal!!”. Jadi aku nurut saja ikuti skenarionya. Toh Tuhan tidak akan membawa kita sejauh ini hanya untuk dia tinggalkan. Semua bakal happy ending sih. Kalo belum happy berarti belum ending. Ujar seorang teman pada suatu hari.
Ada pertanyaan seperti ini “mungkin ga dua orang yang sudah putus bisa balikan lagi?”. Maka aku akan menjawab “mungkin”. Lalu ada semacam butuh ketegasan lewat pertanyaan “bisa ga dua orang yang sudah putus balikan lagi?”. Maka aku akan menjawab dengan lebih tegas lagi “bisa”. Semua cara bisa dilakukan dari A sampai Z. Dari cara yang baik, kurang baik, bahkan tidak baik sekalipun. Semua bisa dilakukan biar bisa balikan.
Tapi pertanyaan besarnya adalah “buat apa?”.
Tapi pertanyaan besarnya adalah “buat apa?”.
......sementara itu lagu Blue Boy berakhir di menit ke 4 lebih 29 detik.
“the sweet refrain sung twice at morning-time . save me, i beg you.
now goodbye”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar