Senin, 14 Desember 2015

ANOTHER RANDOM THING

Sebelum pada akhirnya jari-jari saya sampai pada keypad laptop yang sering hang ini buat nulis. Saya membaca wawancara efenerr dengan Arman Dhani soal banyak hal, diantaranya tentang banyaknya kritikan Dhani pada Traveller, yang membuat saya ingin berjabat erat dengan dia tanda setuju (silakan baca wawancaranya disini). Menurut saya Traveller yang sering pamer di instagramnya sedang mencoba memberikan standar kebahagiaan sesuai standar dia. Tentang apakah jika ingin bahagia harus keliling eropa terlebih dahulu? Tentang apakah jika sampai puncak gunung harus mengibarkan bendera "my life my adventure" dulu? Bagi saya itu sia-sia jika kebahagiaan bagi saya adalah tentang pulang kerja dan tiduran di kamar saya sendiri. Bagi saya rumah adalah destinasi paling ideal untuk saya, ketika saya dalam perjalanan pulang dan kebelet boker. Kenapa ideal? Karena rumah adalah tempat boker paling menyenangkan untuk saya. Saya bisa nongkrong selama apapun yang saya mau, sambil sesekali diselipin lagu-lagu kesayangan hasil rekayasa bahasa inggris dan sunda lewat nada-nada sumbang, yang oleh karenanya itu jadi terasa ideal untuk saya.

Setidaknya ada dua hal yang membuat saya mikir nih orang kenapa harus ada? Pertama "traveller instagram" tadi. kedua motivator. Seperti yang saya tulis diatas, alasan kenapa saya tidak suka traveller karena mereka memberikan standar kebahagiaan sesuai standar mereka. Membuat orang-orang yang tidak banyak uang seperti saya mati-matian ngumpulin uang biar bisa jalan-jalan. Tapi saya untungnya dianugerahi sifat pemalas yang lumayan akut. Karena sifat pemalas inilah saya akhirnya menurunkan ekspektasi saya dititik paling rendah agar gampang merasa bahagia. Ketika orang mati-matian ngumpulin uang biar bisa memenuhi ekspektasi (yang dibentuk traveller instagram tadi) buat jalan-jalan, ketika itu pula saya sedang tertawa bahagia dengan seorang tetangga saya dalam sebuah obrolan ngalor ngidul khas orang sunda yang suka bercanda. Hanya beberapa langkah dari rumah saya, saya bisa mendapatkan kebahagiaan yang saya cari. Saya tidak perlu bersusah payah melakukan perjalanan dengan kaos "my life my adventure" untuk mengejar kebahagiaan yang saya cari. Hanya beberapa langkah saja dari rumah saya, dan hasilnya sama. Sama-sama bisa senang juga. Jadi standar kebahagiaan saya, saya yang membuatnya. 

Kedua tentang motivator. Saya tidak habis pikir kenapa profesi ini harus ada? Apa kita bisa harapkan seorang manusia bisa selalu benar? Bisa selalu bijak? Bisa selalu super dengan salamnya? 

Menurut saya yang argumennya dikuatkan ibu saya. Manusia itu tidak selamanya bener, namun tidak selamanya salah juga. Jadi ketika lagi bener ya dia lagi bener, ketika lagi salah, ya dia lagi salah aja, dan siklusnya akan terus seperti itu sampai Naruto bertarung sama Dora The Explorer, atau sampai Doraemon berbentuk jajaran genjang. 

Adalah naif jika menganggap seseorang selalu benar atau selalu salah. Manusia butuh kompromi buat memaklumi manusia lainnya. Seperti halnya ibu saya yang memaklumi saya pas saya lagi bener atau pas saya lagi salah, dan begitu juga sebaliknya. Jadi tidak adil jika menilai orang yang berbuat salah akan berbuat salah terus, atau sebaliknya. 

Maka dari itu agar saya konsisten denga argumen saya, saya maklumi traveller dan motivator tadi berbuat yang tidak sejalan dengan saya. Yang traveller semoga segera menutup akun instagramnya, yang motivator semoga mereka ga jaim lagi. Kalo mau marah ya marah aja, kalau mau nangis ya nangis aja. Kalo mau co... cocol sambel ya cocol aja. Cocol aja sambelnya biar ramai. Lagian manusia mah sudah harfiahnya sebagai makhluk yang sering berkeluh kesah. Makanya Allah nyuruh solat juga biar bisa berkeluh kesah di track yang bener. Masa berkeluh kesah di TV? 

Curhaaaaat doooong. 

“Begini mah, suami saya sudah dua bulan ini ga mau nyolek saya, saya harus gimana mah?”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar