Menerka semiotika rasa. Harus hitam harus putih? Harus cekung harus cembung?
Tak semua manusia mampu menerjemahkan manusia, namun mengejanya mudah saja. Sebuah labirin yang berakhir dititik awal, lalu memulainya dititik akhir. Sebagian mengira hidup untuk bersedih, sebagian lainnya mengira hidup untuk gembira. Padahal tak satu juga dari kita pernah membaca satu kalimatpun dari buku yang ditulisNya. Kita hanya selalu merasa kita adalah tokoh utamanya. Lalu bagaimana dengan kasir dengan senyum ramahnya yang kita patahkan lewat strata yang dibuat manusia? Apakah bisa hidup terus berjalan tanpa senyum ramahnya?
Jarum jam berdetak seiring dengan manusia yang selalu merasa naas. Diberi hidup untuk merasa paling naas. Apakah memang harusnya bersedih diberi hidup? Atau apakah harusnya gembira diberi mati? Sebagian mengira ekspektasi adalah biang keladinya, sebagian lainnya mengira logika adalah Tuhan baginya.
Pukul dua lebih tiga puluh delapan. Seseorang berjalan dalam keheningan malam. Apakah dia mengira dia sendirian? Sedangkan aku sedang menuliskan tentangnya. Tentang arah langkah tanpa arah, tentang senyum simpul atau entahlah. Entah itu senyum atau entah itu caranya bergumam sendirian. Aku hanya mengira. Seperti halnya dia yang mengira tentang aku. Mengira tentang dogma ataupun cara Tuhan bekerja. Apakah dengan karma atau rangkaian cerita drama?
Maaf aku ralat. yang benar pukul dua lebih empat puluh empat. Bisa dengan angka bisa dengan aksara, bisa juga dengan rasa. Rasanya masih ada selama detak jarumnya masih terdengar ada. Sampai akhirnya seseorang yang tadi aku ceritakan pergi. Jadi rasanya aku sudahi saja.
Maaf aku ralat. yang benar pukul tiga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar