Senin, 18 April 2016

PROBLEMATIKA DILEMA KELAS MENENGAH NGEHEK

Suatu hari saya berjualan kaos kepada seorang tetangga rumah saya. Karena dengan pertimbangan ingin kaosnya cepat kejual, saya ngasih harga murah (menurut saya) dari yang biasanya saya jual. Jadi saya ga banyak ngambil untung dari hasil selisih harga produksi dan penjualan. Waktu itu saya kasih harga kaosnya 50 ribu. Relatif murah menurut saya jika melihat dari kualitas kain dan sablon dari kaos yang saya jual. 

Jika dilihat dari sisi ekonominya tetangga saya ini terbilang mapan, atau ringkasnya dia lebih kaya secara materi dibanding saya. Jadi kaos seharga 50 ribu udah murah banget lah bagi dia, begitu pikir saya. Tapi ternyata saya salah. Menurut dia harga kaos segitu kemahalan. Kaos yang dia punya rata-rata seharga 30 sampai 40 ribu. Harga kaos segitu biasanya didapat dari obralan di pasar, dengan kualitas barang hasil dari limbahan pabrik kain/tekstil.  Karena kalo kaos yang saya jual, harga produksinya saja sekitaran 35 ribu, dengan pemilihan material kain dan sablon yang lumayan bagus. 

Kemudian saya mikir apa tetangga saya ini begitu pelit? perhitungan kah? Hemat kah? Ngerasa cari duit itu susah kah? Atau pada dasarnya emang ga suka aja sama kaos yang saya jual? Atau malah pada dasarnya ga suka sama saya? Jawaban dari pertanyaan itu bisa semuanya benar, bisa semuanya salah, atau ada diantara kedua asumsi itu.

Tapi lepas dari itu, saya kemudian mikir lagi tentang tetangga saya tadi. Secara ekonomi kondisi keuangan saya dibawah tetangga saya yang punya koleksi kaos kisaran 30-40 ribu itu. Sedangkan saya yang kondisi keuangannya dibawah dia, kisaran kaos yang saya punya harganya dari 80 ribu sampai 150 ribu. Apa yang akan tetangga saya bilang seandainya dia tahu ada kaos seharga 150 ribu di lemari baju saya? Apa yang membuat saya dan tetangga saya ini punya perbedaan akan definisi kaos yang bagus menurut kami?

Menurut tetangga saya kaos itu yang penting murah. Ya, hanya itu saja kuncinya : MURAH. Sedangkan menurut saya kaos itu harus yang bahan/kainnya bagus, sablonnya bagus, gambarnya bagus, dan penilaian itu akan terus berlanjut sampai ditahap seniman yang menggambar/desain kaosnya siapa. Penilaian ini berkaitan dengan nilai estetikanya harus seperti apa, hingga kemudian kaos bisa jadi fashion statement buat saya. Panjang dan muluk. Dua kata yang mungkin akan diucapkan tetangga saya jika membaca definisi kaos yang bagus menurut saya. 

Lalu apa yang salah? Apakah tetangga saya yang ekonominya baik ini terlalu pelit mengeluarkan uang 50 ribu untuk kaos? Atau apakah saya yang ekonominya tidak terlalu baik ini tidak tahu diri dengan membeli kaos seharga 150 ribu? Ini kemudian menjadi menarik untuk dipikirkan ditengah hiruk pikuk mikirin mantan pacar (eeeaaa masih aja). 

Tetangga saya mungkin akan dengan tegas menyanggah tuduhan saya yang bilang jika dia pelit. Dia mungkin akan bilang kalo cari duit itu susah, dan sesuatu yang dapetinnya susah maka tidak akan mudah jika dilepaskan begitu saja. Jadi ngeluarin uang 50 ribu itu rasanya berat banget (sama kaya ngeluarin kamu dari pikiran aku)

Saya tidak setuju dengan dia yang bilang jika cari duit itu susah. Menurut saya cari duit itu gampang jika pointnya cuma “duit” nya saja. Jika seribu rupiah masuk dalam kategori duit, maka cari duit itu gampang. Jadi hantu parkir di indomaret juga bisa dapetin duit segitu. Yang susah itu ketika pointnya mulai melebar dengan kuantitas (dibaca : cari duit yang banyak sampai berjuta juta dan milyaran ). 

Tapi kemudian pertanyaannya adalah, kenapa saya tidak merasa sayang mengeluarkan uang 150 ribu hanya untuk kaos? Padahal saya tahu persis jumlah uang segitu tidak sedikit jika dilihat dari kondisi ekonomi saya. Dalam istilah teman saya, inilah yang pada akhirnya menjadi apa yang disebut “problematika dilema kelas menengah ngehek” 

Mungkin maksud dari “problematika dilema kelas menengah ngehek” menurut teman saya itu, jika dalam kalimat akan seperti ini, “udahlah duit pas-pasan aja sok-sok punya definisi soal kaos, sampe beli kaos mahal gitu. Udah beli yang murah saja”. Tapi apakah karena saya bukan orang kaya maka saya tidak berhak mempunyai definisi kaos yang bagus menurut saya? Apakah saya tidak boleh punya selera? Seolah orang yang tidak berlimpah uang seperti saya terkesan tidak tahu diri jika beli kaos dengan harga diatas seratus ribu?   

Pertanyaan tadi mengingatkan saya dengan seorang tukang/kuli bangunan yang saya kenal di kantor saya. Suatu hari saya sedang mendengarkan lagu di komputer kantor saya, lalu datanglah si mang ini. Dia bilang “wenk, stel lagu Greenday, Bon Jovi, atau Gun’s n roses lah. Ada ga?”. Saya reflek bilang “ah kaya yang betul. emang tahu lagu-lagu itu?”. Trus dia nyanyiin lagu-lagu dari band-band tersebut, dan ternyata dia hafal. Lalu kemudian kejadian itu bikin saya malu. Malu sama diri saya sendiri yang cenderung merendahkan dia. Kalimat “ah kaya yang betul. emang tahu lagu-lagu itu?” adalah kalimat lain dari “masa kuli bangunan dengerin Greenday. Sebuah band punk yang pernah dapetin Grammy award. Eh emang tahu Grammy? Pasti ga tahu. Ga pantes. Dengerin dangdut aja. Lebih cocok”. 

Kalimat itu lahir karena saya merasa lebih berpendidikan dibanding si mang, saya juga merasa lebih punya akses untuk tahu banyak tentang musik lewat internet. Ringkasnya saya merasa lebih baik dibanding si mang. Pikiran saya yang merasa lebih baik dibanding si mang inilah yang tanpa saya sadari menjadi bagian dari “problematika dilema kelas menengah ngehek” itu tadi. Dan hal itu bikin saya malu. Betapa saya yang masih kelas menengah ini berani dengan lancangnya bilang jika si mang ga pantes dengerin Greenday atau Bon Jovi yang so called “musik barat” itu. Saya merasa direndahkan karena dianggap tidak pantas punya selera yang baik dalam hal memilih kaos, tapi saya sendiri malah merendahkan, atau merasa berhak menentukan jenis musik seperti apa yang seharusnya didengar oleh seorang kuli bangunan. 

Dalam urusan selera, “problematika dilema kelas menengah ngehek” ini biasanya cenderung merendahkan apa yang biasa orang sebut dengan istilah typical atau mainstream, namun sialnya buat ngejar ke-ekslusifitasan itu sendiri juga perlu ditebus dengan harga yang tidak murah. Ada begitu banyak dari para kelas menengah ngehek ini mencibir betapa jeleknya album dari ST 12 atau Wali yang kala itu booming di Indonesia. Namun sialnya, untuk bisa koleksi piringan hitam band-band yang sering diobrolin para hipster juga tidak murah. Misalnya saja dengan gaji yang hanya 1,5 juta per bulannya, lalu kemudian memutuskan membeli vinyl seharga 250 ribu, rasanya terkesan seperti memaksakan. Seperti halnya saya yang beli kaos seharga 150 ribu tadi. Namun apakah itu salah? 

Seperti biasa, pertanyaan salah dan benar selalu menarik sekaligus naif menurut saya. Karena lepas dari salah dan benar itu sendiri nyatanya kita sering berada di wilayah abu-abu. Lagipula tidak ada satu orangpun yang bisa memberi gambaran kebenaran itu secara utuh. Seperti halnya saya yang punya foto gading gajah, dan teman saya yang punya foto ekor gajah. Kami bersikeras jika foto yang kami punya adalah foto gajah yang sah. Saya berpendapat jika kebenaran foto gajah hanya bisa dibuktikan lewat foto gadingnya yang saya punya, sedangkan teman saya berpendapat jika kebenaran foto gajah yang sah hanya bisa dibuktikan lewat foto ekornya. Padahal tidak ada satupun dari kami yang bisa memberikan gambaran utuh dari bentuk gajah itu sendiri. Kami hanya berangkat dari asumsi kami sendiri, yang berpendapat jika masing-masing foto yang kami punya adalah kebenaran mutlak akan bentuk gajah itu sendiri. Padahal apa yang menjadi asumsi kami itu bukan bentuk yang utuh, meskipun itu sebuah kebenaran. 

Silahkan dengarkan lagu Wali jika memang suka, silahkan dengarkan lagu DIIV jika memang suka. Silahkan beli kaos yang murah jika memang suka, silahkan beli kaos yang mahal jika memang suka. Silahkan hubungi nomor 083822827290 (whatsapp) jika mau beli kaos atau bikin kaos (bisa satuan dan desain sendiri juga lho), iklan. *mohon ini dianggap serius*
Silahkan berasumsi apa saja jika memang suka, silahkan berpendapat apa saja jika memang suka. Dan silahkan ditulis silakan bukan silahkan. 

Lalu pertanyaan besarnya adalah, setelah kenakalan remaja di era informatika, apakah problematika dilema kelas menengah akan dijadikan judul lagu baru Efek Rumah Kaca? Pointless memang. Nyari bridging buat closing doang. Hehe. 

Warning alert : Pergerakan para kelas menengah ngehek ini, mereka hadir lewat aksi #nowplaying, #nowwatching,  check in tempat di path, dan tak lupa dengan berbagai kutipan bijak dari para pemikir kelas dunia dalam twitter seperti bung Fiersa misalnya. Hashtag wkwkwk, hashtag eeaa. 

“Hidup memang life yang penuh kebohongan tanpa F”. 



2 komentar:

  1. Emang paling ngehe kelas menengah mah, liat orang kaya mewah, ngiri, paling lamborghini nya dikasih bokapnya, bilang2 sama orang kaya pada pelit gak punya moral kepedulian terhadap sesama manusia, giliran kelas menengah punya kerjaan yang lumayan gajinya, di samperin pengemis, memalingkan muka,preettt

    BalasHapus
  2. Selera musik kan gak memandang penghasilan, saya aja punya warung makan kecil-kecilan malah suka dengerin musik EDM, Jazz, dan akhir-akhir ini Instrumental (walau kadang-kadang dangdut juga ikut diputar), yang penting selama musiknya enak mah saya puter.

    BalasHapus