Rabu, 04 Mei 2016

ROMANTISME

Beberapa hari yang lalu saya denger lagu baru Blink 182 di youtube. Jelek banget. Bisa dibilang lagu terburuk Blink 182 yang pernah saya dengar seumur hidup saya. Kenapa? Karena Blink sudah selesai bagi saya. Sejak Tom keluar, Blink sudah mati. Atau ketika banyaknya gimmick dan drama yang dipertontonkan trio pop punk asal San Diego itu, Blink sudah mati. Lalu pada akhirnya Blink hanya jadi artefak sebuah romantisme buat saya. 

Saya tumbuh besar dengan musik mereka, memuja mereka dengan semua lagu-lagunya. Blink 182 hadir ketika saya mulai tertarik musik, belajar main gitar, dan memutuskan bercita-cita jadi musisi dan mulai ngeband. Saya  mengenangnya sebagai sebuah monumen, jika saya pernah ada dititik itu. Mendengarkan lagu-lagunya setiap hari, belajar memainkan lagu-lagunya lewat gitar saya, menghafal lirik-liriknya, dan begitu memujanya. Namun itu berakhir di album Take Off Your Pants And jacket. Setelah itu tidak ada yang bisa saya jadikan alasan kenapa saya harus tetap menggemari band ini, kecuali sebagai romantisme semata, kalo saya tumbuh besar lewat lagu-lagunya.

Berbicara soal romantisme saya jadi ingat kejadian kemarin pas saya ke bioskop. Hari itu antriannya panjang banget. Kebanyakan mereka ngantri buat nonton film Ada Apa Dengan Cinta 2 (AADC 2). Film yang sempat booming  14 tahun lalu, zaman dimana saya masih pake seragam putih biru. Dulu saya merasakan hype film itu, meskipun tidak begitu tertarik buat nonton. Zaman saya SMP cinta cintaan mah mana ada menariknya. Setidaknya tidak lebih menarik dibanding pengalaman pertama saya merokok dan ketahuan.

Tapi karena booming, saya akhirnya nonton juga film itu. Tapi bukan di bioskop, melainkan di rumah teman saya lewat VCD bajakan. Kualitas gambarnya tentu saja jelek, namanya juga bajakan, dan zaman dulu pula. Sekarang sih bajakan juga bagus. Dulu VCD bajakan film itu gambarnya ga fokus dan sering goyang-goyang dengan bonus bayangan kepala orang lewat. Tapi lepas dari gambar yang jelek, ada sosok pemain AADC yang menarik perhatian saya. Dia adalah Ladya Cheryl yang berperan sebagai Alya. Ada yang aneh pas saya lihat Ladya. Mungkin saja jika Ladya ini cinta pertama saya. Hahaha. 

Oh iya sebagai tambahan : adegan AADC yang paling saya suka waktu itu pas geng nya Cinta nari-nari. Ada ser-seran gitu. Dan mungkin itu awal mulanya saya masuk masa puber. Perasaan yang aneh dan susah dijelaskan pokoknya.

Lalu ketika sekarang dibuat kelanjutannya, film AADC kembali booming seperti 14 tahun yang lalu. Kenapa bisa booming lagi? Ya karena romantisme. 

Hari itu ada dua film yang mendominasi layar bioskop. Pertama AADC 2, kedua Captain America Civil War (sebuah kisah pertempuran sesama The Avengers dalam konflik kesalah pahaman untuk mencari winter soldier). Yang nonton AADC pastilah didasari rasa nostalgia zaman dulu, dan ingin merasakan lagi romantisme yang dibangun 14 tahun lalu. Sedangkan yang nonton Civil War, adalah mereka yang memang ngejar special effect dan adegan-adegan laga yang “wah” khas Hollywood. 

Buat saya AADC menarik karena ada sosok Alya yang diperankan Ladya Cheryl di film itu. Namun ketika mengetahui kabar jika Ladya tidak lagi menjadi bagian dalam film, maka AADC 2 tidak menarik buat saya. Saya tidak bisa menilai film ini sebagai sesuatu yang objektif, selain karena romantisme itu tadi. Dan romantisme saya ada di sosok Alya. Jadi ketika sosok Alya tidak ada, saya jadi tidak punya alasan buat nonton. Sama seperti Blink 182 tadi, tidak ada Tom maka tidak ada Blink 182, dan tidak Alya maka tidak ada AADC.  Fase keduanya telah selesai untuk saya pribadi. 

Maka pilihannya ya film Captain America Civil War. Menghibur lah lumayan filmnya. Banyak adegan-adegan bagus. Ledakan dimana-mana. Dan saya nilai film ini secara objektif. Tidak ada sisi romantisme ataupun nostalgic di film itu. Saya tidak tumbuh besar dengan komik Marvel, jadi ketika nonton itu tidak ada sisi emosional dari saya. Murni objektif karena banyak adegan seru yang menghibur. Cukup melegakan sih karena tidak ada ekspektasi apapun dari saya akan film itu. Saya cuma bosan di rumah dan pengen hiburan, lalu kebetulan ada temen ngajakin nonton, dan untungnya film itu cukup menghibur. 

Namun jika sebelumnya saya sudah menaruh ekspektasi tentang film yang akan saya tonton, sesempurna apapun film itu, biasanya selalu ada saja kurangnya. Sama lah kaya asmara. (eeeaaa mulai) Halah. Hahaha. Asmara itu ganggu karena ada ekspektasi disana. Dan ketika kejadian tidak sesuai ekspektasi jadinya ya gitulah. Kecewa, sedih, kesel, tapi sialnya ga ada yang bisa dilakukan juga, karena jadinya serba salah kalo kata Raisa mah lah. Mau ngotot dibilang memaksakan, mau pasrah juga ga gampang. Jadinya labil. 

Jadi? Jadi ya ujung-ujungnya nulis di blog. Kenapa nulis bog? Karena udah tidak bisa ditampung dan tumpah di kepala. Mau bikin vlog tapi muka saya ga enak diliat di kamera. Jadi ya saya masih setia dengan teknologi blogger yang mulai udzur ini.  

Kamu. Iya kamu. 

Aku memlilih untuk mengingat semua kebaikanmu, sedangkan kamu memilih untuk mengingat kesalahanku. Dititik itu kita tidak bertemu. Aku mengingatkanmu tentang komitmen awal kita berdua, aku mengingatkanmu akan sebuah romansa. Sedangkan kamu mengingatkanku tentang kesalahanku. Dititik itu kita tidak bertemu. Aku bilang kita bisa mulai lagi, sedangkan kamu bilang kamu terlalu takut dikecewakan. Ada dua hal yang kamu lupa. Pertama : kamu lupa kalo aku manusia biasa yang bisa salah. Kedua : kamu lupa kamu ada di dunia. Dunia memungkinkan kita kecewa setiap harinya. 

Pagi ini aku ingin sarapan bubur, namun sampai jam 12 siang tukang bubur belum juga nampak. Maka hari ini aku dikecewakan oleh tukang bubur yang tidak berjualan. Lalu aku berangkat, dan ban motorku bocor, dan terpaksa harus nambal. Tidak hanya oleh tukang bubur (yang ga tau udah naik haji atau belum), hari ini aku dikecewakan juga oleh para penebar paku di jalan. 

Singkat cerita, lalu sampailah aku disuatu tempat. Aku ada janji ketemu untuk urusan pekerjaan. Tak lama HP ku berbunyi, ada pesan tertulis seperti ini “wenk sorry hari ini kayaknya kita ga bisa ketemu, besok lagi ya”. Lagi-lagi aku dikecewakan. Dihari ini saja aku sudah dikecewakan oleh tiga orang sekaligus. Itu belum termasuk aku yang dikecewakan oleh band, kerjaan, Tom Delonge yang keluar dari Blink 182, pertemanan, dan komitmen kita. Tapi lantas aku bisa apa? 

Pada akhirnya kamu hanya menjadi artefak romantisme buat aku. Seperti halnya Blink 182 tadi. Sama-sama pernah hadir sebagai sesuatu yang indah, namun harus berakhir disatu titik. Tidak akan ada lagi Blink 182 di hidup aku, tidak juga kamu. Kalian hadir hanya sebagai romantisme yang aku kenang sesekali saja. Aku tidak mungkin lupa. Atau mungkin saja aku bisa lupa, tapi teman aku bisa dengan enteng begitu saja tanpa pretensi apapun ketika dia nyetel lagu Embrace – Gravity, yang bisa mengingatkan aku sama kamu hanya lewat lirik awalnya saja. 

(...........random mind)

Aku jadi ingat sebuah film berjudul Little Miss Sunshine. Film itu menggambarkan tentang bagaimana kita menyikapi kekalahan. Dwayne (nama tokoh dalam film itu)  kalah ketika dia tidak lolos menjadi penerbang, sedangkan Olive (juga nama tokoh dalam film itu) kalah ketika dia tidak menjadi juara kontes kecantikan Little Miss Sunshine. Tapi mereka merayakan kekalahannya dalam perspectif mereka. Mereka mungkin gagal atau kalah oleh sebuah sistem menurut aturan-aturan tertentu. Olive kalah karena dalam sistem  penilaian kontes kecantikan dia tidak masuk kriteria, dan malah bertolak belakang dengan sistem penilaian. Dwayne kalah atau gagal jadi penerbang  karena dia buta warna. Dalam sistem atau aturan/syarat menjadi penerbang, buta warna itu haram hukumnya. Dwayne kalah oleh sistem dan aturan yang berlaku. Tapi kemudian dia bilang “aku akan tetap terbang dengan caraku sendiri”. Sedangkan Olive, dia kalah oleh sistem penilaian dewan juri akan definisi cantik. Tapi Olive cantik dengan caranya sendiri. Mereka berdua kalah oleh sistem, tapi mereka berdua menang lewat perspectif dan cara mereka sendiri. 

Aku kalah oleh aturan yang kamu buat. Jika dalam berhubungan, berbuat kesalahan itu haram. Tapi mungkin aku menang atas ego aku sendiri yang memilih untuk mundur (pada akhirnya, setelah cape ngotot). Aku bukan bagian dari sistem atau aturan yang kamu buat. Kamu berhak akan sistem yang kamu buat, begitu juga aku berhak dengan sistem yang aku buat. Dititik itu kita tidak bertemu. Aku tidak menyalahkan sistem itu. Aku juga tidak membencimu. Selamanya kamu akan aku ingat sebagai seseorang dengan kebaikannya. Karena aku memilih mengingatmu dengan kebaikanmu. 

Aku mungkin kalah oleh dunia. Dunia terlalu besar dan kuat untuk aku lawan. Tapi aku selalu punya theater of mind yang menghendaki aku untuk menang. Dunia nyatanya nyebelin. Bukan tempat untuk menaruh harapan. Tapi aku memilih berkomitmen untuk hidup, dan ngotot ingin terus hidup sampai saatnya aku dimatikan. Walaupun bukan sekali dua kali keinginan untuk mengakhiri hidup terbersit di pikiran aku. Ada banyak cara untuk aku mengakhiri hidup. Bisa dengan loncat dari gedung, bisa dengan meminjam pistol rakitan seorang teman dan “dor” aku tembakan di kepalaku. 

Tapi itu hilang begitu aku ingat ada seseorang menunggu di rumah yang selalu ada dengan kalimat penawaran “a makan dulu, tadi mama udah masakin telor”. Sementara yang lain masih dengan pertanyaan “sayang udah makan?” atau “jangan lupa makan, nanti sakit”, ibu sudah siap memasak dan menyiapkan makan untuk anaknya yang tidak jadi bunuh diri. “gapapa ya a cuma telor, tadi mama ga sempet masak, ada kerjaan lumayan numpuk”. 

Telor buatannya adalah makanan paling enak di dunia. Mengalahakan masakan chef manapun, masakan di restoran manapun. Lalu aku menatapnya dalam. Aku pikir dunia akan sekali lagi mengecewakan aku. Dunia akan mengecewakan aku ketika pada akhirnya ibu harus pergi suatu hari nanti. Membawa pergi manusia terbaik yang pernah terlahir di dunia.Namun ketika dia pergi, dia tidak akan jadi romantisme semata. Karena romantisme bisa dikenang dengan cara yang indah namun bisa menimbulkan kekecewaan ketika keberadaannya tidak lagi ada. Ibu tidak akan pernah hilang dan mengecewakan. Dia akan jadi sebuah romansa. Karena cinta lahir setiap hari lewat matanya.  

Tapi ya lepas dari semuanya, tidak ada menang kalah lah. Bukan juga tentang menang kalah, sedih, kecewa, gembira, ataupun kehilangan. Pada akhirnya kita akan menemukan jalan masing-masing, atau menghilang jadi debu-debu berterbangan, dimakan kesoktahuan kita yang menganggap diri kita ada. Karena menganggap diri kita ada inilah yang membuat kita merasakan sakit. Sebuah kayu akan hancur dan patah karena wujudnya ada, karena jika wujudnya tidak ada, dia akan dihancurkan dengan cara apa? Jadi kita berpasrah saja dan tidak berkeinginan apa-apa. Karena katanya sumber masalah itu kan keinginan.

Jadi? Pada akhirnya keinginan terbesar saya adalah ingin tidak punya keinginan. 

Bandung, 4 mei 2016


Ilustrasi gambar : @amenkcoy




1 komentar:

  1. wow... kayanya cuma kata itu yang bisa mewakili setelah baca. perasaan dibikin campur aduk, hhaa.. yang awalnya mikir "naon sih", ditengah cerita ketawa" sendiri inget zaman ABG, di bbrapa paragraf terakhir sampai akhir banget yang bikin ngena gegara ngebahas betapa baiknya ibu" kita..ceileeeh kita :D pokonya keren banget lah a tulisannya (y)

    BalasHapus