Senin, 20 Juni 2016

1.021 KATA ANXIETY

Seorang teman pernah berkata sama saya “wenk, kapan nulis artiel musik lagi? Curhat di blog mulu”. Pertanyaan teman saya ini membawa lamunan saya ke lima yang lalu. 2011 itu saya lagi hobi-hobinya nulis soal musik, dari mulai ngereview sampai ngritik. Blog ini juga awalnya berisi tulisan-tulisan saya tentang musik. Sampai pada akhirnya musik menjadi kurang menarik untuk dikupas dan dikritik. Setidaknya untuk saya, seperti apapun musisi akan memainkan musiknya tidak perlu diperdebatkan, karena masing-masing akan punya pendengarnya sendiri. Tidak ada rumus yang harus diikuti seseorang untuk jadi musisi “beneran” itu harus seperti apa. Jadi buat yang telinganya biasa dengerin Tame Impala, lalu ngritik betapa jeleknya lagu-lagu Ungu buat saya sih jadi pointless aja. Toh selalu ada pilihan klik next ke lagu berikutnya yang dia suka.

Entah musiknya yang tidak lagi menarik, entah menulis yang tidak menarik, atau entah memang hidup sedang tidak menarik. Nulis yang tadinya sebagai passion, sekarang hanya menjadi sebuah cara terapi buat saya.  Caranya ya dengan menumpahkan unek-unek di blog ini. Dan buat orang yang tidak terkenal kaya saya, nulis itu masih menyenangkan karena ga akan banyak orang yang mampir/baca di blog saya. Saya kurang suka berpolemik. Semua yang saya tulis di blog ini adalah hasil point of view saya akan sesuatu. Mungkin pemahaman saya masih banyak yang salah, tapi saya sedang dalam perjalanan menuju kebenaran itu sendiri. 

Belakangan ini mental saya sedang drop. Saya menderita kepanikan berlebih, ketakutan akan intimidasi yang saya sendiri susah menjelaskannya. Rasanya cape sekali. Cape sama pikiran saya sendiri, cape sama asumsi, cape sama sugesti-sugesti, cape menerka-nerka, dan banyak hal yang akhirnya jadi dipikirin. Sampai akhirnya saya ngobrol dengan seorang teman tentang keadaan psikologis saya. 

Anxiety. 

Setelah saya cari tau apa yang sebenernya menimpa saya, ternyata yang saya rasakan itu sebuah penyakit mental yang disebut Anxiety. Dari apa yang saya pelajari tentang Anxiety, gejalanya persis dengan apa yang saya rasakan. Sering merasa cemas berlebih, panikan, dan gampang emosi karena merasa tertekan. Gejala yang kurang lebih sama dengan phobia yang sempat saya alami, agoraphobia. Ga gampang untuk bisa menjelaskan ini, apalagi berharap akan ada orang yang bisa mengerti keadaan saya. Dampaknya saya jadi kehilangan banyak hal. Temen, pacar, dan momen-momen yang seharusnya saya lewatkan bersama mereka, akhirnya saya lewati dengan kepanikan-kepanikan yang akhirnya membuat mereka menjauh. Itu bukan salah mereka. Mereka hanya tidak mengerti. Kecuali ibu dan adik-adik saya, rasanya tidak akan ada orang yang bakal ngerti keadaan saya yang sebenernya, jika orang itu tidak menderita kelainan mental juga seperti yang saya alami. 

Ada begitu banyak yang saya takutkan. Saya tidak suka kesepian, namun disisi lain saya juga takut keramaian. Saya takut ditinggalakan orang-orang yang saya sayang, tapi nyatanya karena kelainan saya ini saya kehilangan banyak orang yang saya sayang. Saya kehilangan ayah saya, dengan pengalaman yang kurang menyenangkan. Dihari terakhirnya saya membentak ayah saya, karena panik dengan penyakit yang dia derita. Sebelum saya sempat minta maaf, ayah saya keburu meninggal. Ga gampang melepas orang yang kita sayang dalam kondisi saya yang belum sempat minta maaf. 

Saya sering merasa terintimidasi oleh banyak orang. Sebuah acara reuni sekolah yang seharusnya menyenangkan, akan menjadi sangat menakutkan untuk saya. Atau hal sesederhana main/jalan-jalan nongkrong pun menjadi hal yang menakutkan untuk saya. Karena alasan itulah saya tidak banyak keluar rumah. Beberapa menganggap saya membosankan karena saya tidak tahu caranya bersenang-senang. Membuat saya senang itu mudah. Sangat mudah. Tapi membuat orang lain senang itu susah. Sangat susah. Buat sebagian orang yang berpacaran, jalan-jalan itu hal yang lumrah dan mudah. Tapi buat saya itu sama sekali tidak mudah. Ada begitu banyak pertimbangan sampai saya menemukan alasan kenapa saya harus keluar rumah. 

Terkesan drama ya? 

Hehehe. Fix berarti 800 kata yang saya tulis diatas bakal percuma kamu baca, jika menganggap ini seperti drama. 820 kata yang percuma kamu baca, jika kamu gatau rasanya direndahkan. 833 kata yang percuma kamu baca, jika kamu gatau rasanya jadi orang gagal berkali-kali. 847 kata yang percuma kamu baca, jika kamu gatau susahnya melawan ini untuk bisa mengerti apa yang kamu tertawakan. Dan 866 kata yang percuma kamu baca, jika kamu gatau apa itu empati. 

Secara spiritual, sisi relijius saya bisa menjawabnya. Saya kemudian mendekatkan diri sama Tuhan saya. Tapi sialnya, setelah itu sisi agnostik saya kemudian muncul dengan pertanyaan “apa benar tuhan itu ada? kenapa Dia membiarkan saya gagal berkali-kali, kenapa Dia membiarkan saya merasa tidak diinginkan, kenapa Dia membiarkan saya kesepian. Kemana Dia?”

Saya mencintai Tuhan saya. Tapi mencintaiNya itu melelahkan. Saya sering kebingungan harus dengan cara apa saya meminta kepadaNya. Dengan memelas saya berdoa, jawabannya saya harus ikhlas. Maka saya meminta dikuatkan agar saya ikhlas. Namun kemudian banyak hal yang melemahkan. Lalu saya bilang jika Dia yang maha mengetahui apa yang pantas dan baik untuk saya. Tiada daya dan upaya melainkan atas dasar pertolongannya. 

Terkesan drama ya? 

974 kata yang percuma kamu baca, jika kamu belum pernah merasakan susahnya berdamai dengan diri sendiri. Berdamai dengan iman sendiri. 994 kata yang hampir menggenapi 1000 kata, yang percuma kamu baca, jika isi kepalamu tidak seberisik isi kepalaku. 

Oleh karenanya, maka aku cukupkan saja di 1.020 kata.



1 komentar:

  1. Sangat sulit memang mencari orang yang mau mengerti tentang gangguan yang kita alami, dijelaskan pun ke mereka mereka pasti cuma bisa berkata 'kamu alay banget' bahkan ad yang menertawai, memang menurut mereka itu termasuk alay dan lucu tpi bgi kita yg mengalaminya itusangat mengganggu dan tdak sdikit ingin mengakhiri hidupnya karna frustasi

    BalasHapus