Kalimat keluhan seperti ini, “dari pagi sampe malem internet ga konek terus, kesel banget sumpah serasa mau mati aja”, rasanya akan mudah ditemui disekeliling kita kaum urban milenial ini. Dan keluhan itu terasa relate dan relevan karena kita tahu rasanya bergantung sama internet dengan semua hal yang ditawarkan internet, dari mulai pengetahuan sampai hiburan. Internet menghadirkan kesenangan untuk kita yang bergantung olehnya. Jadi ketika menghadapi kenyataan sinyal internet jelek maka kita akan mengeluh dan kecewa. Namun agaknya keluhan itu tidak akan relate dan relevan jika dituliskan 30 tahun yang lalu misalnya, dimana teknologi semacam itu mungkin masih tahap trial dan error para pembuatnya.
30 tahun yang lalu kita hanya bisa berangan-angan saja gimana ya rasanya ngobrol sama orang lewat telepon, lalu orang yang kita ajak ngobrol itu bisa kelihatan mukanya. Dan ketika menghadapi kenyataan jika telepon rumah kita tidak memberikan teknologi semacam itu kita tidak akan mengeluh atau kecewa. Kita bisa maklum karena kita berpikir teknologi semacam itu masih sebatas angan-angan saja. Sampai 30 tahun berikutnya, atau tepatnya hari ini kita semua tau jika teknologi semacam itu ada bernama video call.
Sedikit banyaknya karena internet jugalah kita tahu jika kita tidak sendiri dengan semua masalah yang kita hadapi. Kita bisa dengan mudah menemukan berbagai macam artikel ataupun video tentang permasalahan banyak orang di dunia, sampai yang paling membuat kita mengelus dada adalah video orang bunuh diri yang disiarkan secara langsung (oleh sang pemilik akun/pelaku) disitus jejaring sosial Facebook beberapa waktu lalu. Lewat video itu kita tahu jika kita bukan satu-satunya orang yang punya masalah, dan kita bukan satu-satunya orang yang (mungkin bisa sampai) depresi dengan semua masalahnya. Namun pertanyaannya adalah apakah kita bisa relate dengan masalah si mas yang bunuh diri di facebook tadi? Apakah bisa berempati? Ataukah kita salah satu dari sekian banyak yang menertawakan si mas tadi, mengatakannya bodoh, lebay, drama?
Melalui sebuah investigasi, alasan si mas tadi bunuh diri diduga karena ditinggalkan oleh istrinya yang begitu dia cintai. Entah apa alasan detail sebenernya. Namun lewat dugaan itu saja banyak dari kita yang berkomentar miring atas apa yang dilakukan si mas tadi. Kalimat seperti “yaelah cewek banyak bro, bego lo”, atau “666alau. Hahahaha”, akan banyak ditujukan kepada si mas tadi yang dianggap bertindak bodoh. Dan apakah tindakan si mas itu bodoh? Ya, itu tindakan bodoh. Tapi pertanyaan berikutnya adalah, apakah kita berempati dengan si mas tadi? Padahal bukan tidak mungkin kejadian seperti itu ada disekitar kita, dengan orang-orang terdekat kita.
Saya pernah membaca sebuah artikel berjudul Bunuh Diri Dan Kita Yang Terlalu Asik Sendiri. Kita itu adalah saya dan anda yang membaca ini. Seberapa sering kita asik dengan diri kita sendiri, sampai tidak menyadari ada orang terdekat kita begitu depresi dengan masalah dihidupnya, hingga terpikir untuk bunuh diri. Jika sampai kejadian beneran bunuh diri, pertanyaannya adalah kemana kita ketika dia butuh temen untuk ngobrol tentang permasalahan dia? Atau kalaupun dia akhirnya mau bercerita tentang masalahnya, seberapa sering kita mengejek dan menganggap enteng masalah dia, lewat kalimat, “ah elu mah kurang piknik, gitu doang lebay” , alih-alih kita berempati dan support dia.
Jangan heran jika ada seseorang yang bunuh diri gara-gara terlilit hutang sebesar 100 ribu rupiah. Alasan ini tidak masuk akal bagi anda yang berpenghasilan diatas 5 juta rupiah perbulan misalnya. Sekecil apapun masalah (menurut kita) tentunya akan terasa besar jika masalah itu dibebankan kepada orang yang tidak mempunyai kemampuan, dan kapasitas untuk menyelesaikan masalah itu. Satu galon penuh berisi air tidak akan berarti apa-apa jika dituangkan ke sebuah kolam renang. Namun jika satu galon air dituangkan ke sebuah gelas, maka airnya tidak akan tertampung dan meleber kemana-mana. Begitu pun dengan masalah orang yang kita anggap kecil. Maka yang sebaiknya kita lakukan adalah membuat orang tidak merasa kecil, agar dia bisa menampung masalah yang dia anggap besar itu.
Sedikit bercerita, sejak tahun 2012 sampai tahun 2014 saya lumayan rutin menulis di kolom sebuah surat kabar terbesar di jawa barat. Saking besarnya surat kabar itu, sampai ada nilai prestis yang saya rasakan ketika akhirnya tulisan saya bisa dimuat disana. Bayangkan saja, tulisan saya dibaca orang sejawa barat. Orang di Jawa barat itu banyak loh. Sebagai gambaran saja saking banyaknya orang di jawa barat, jika saja Chairul Tanjung hendak mentraktir satu mangkok baso seharga 10 ribu rupiah untuk orang sejawa barat, itu saya jamin hartanya akan habis tidak bersisa.
Untuk “merayakan” tulisan saya yang akhirnya dimuat di surat kabar tadi, beberapa artikelnya saya gunting dan saya laminating, lalu kemudian saya simpan. Norak? Bisa dibilang seperti itu. Lebay? Boleh juga kalo dibilang seperti itu. Tapi alasan sebenernya saya melakukan itu adalah untuk menghargai diri saya sendiri. Dan saya rasa itu perlu. Saya seperti halnya juga kebanyakan orang lainnya pernah ada disituasi-situasi terendah dalam hidupnya. Merasa useless, kalah, menganggap diri pecundang, rendah diri, dan banyak hal lainnya yang mengecilkan diri sendiri. Itu manusiawi, bahkan Thom Yorke saja yang saya anggap musisi paling jenius abad ini membuat lagu Creep dengan penegasan lirik “i wish i was special.....but i’m a creep, i’m a weirdo”. Padahal secara musikal dia sangat special buat saya ataupun jutaan penggemar dia atau radiohead dimananapun.
Setiap saya ada dititik terendah dalam hidup saya, biasanya saya membuka kotak berisi kumpulan artikel saya sendiri di surat kabar tadi yang saya laminating. Biasanya itu jadi mood booster saya. Bukan karena saya narsis, bukan juga saya merasa hebat dan sombong. Tidak sama sekali. Itu saya lakukan agar saya tetap waras. Bahwa pernah disatu masa pemikiran saya berbentuk tulisan itu dibaca sekian banyak orang sejawa barat. Dan tidak sepatutnya saya merendahkan diri sendiri ataupun mengutuk keadaan. Karena bukan tanpa alasan kenapa saya lahir di dunia ini dengan semua kekurangan dan kelebihan saya. Saya perlu menghargai diri saya sendiri untuk tidak merasa kecil, atau naas dengan merasa diri jadi orang yang paling menyedihkan di dunia.
Mungkin sulit bagi saya bisa merasakan bagaimana peliknya masalah keluarga, karena keluarga saya baik-baik saja dari dulu hingga sekarang. Mungkin sulit juga bagi saya merasakan bagaimana susah dan stres nya mencari uang untuk biaya anak istri setiap harinya, karena saya belum berkeluarga, namun mungkin juga sulit bagi anda bisa mengerti kegelisahan saya, dengan hal-hal yang membuat saya depresi. Tapi setidaknya kita bisa berempati, untuk saling menguatkan jika kita tidak sekecil itu dibanding masalah yang kita anggap besar. Dan kita boleh saja kalah dalam banyak hal dalam hidup. Saya juga sering kalah dalam banyak hal, dan sering ngerasa jadi nothing ketika kalah. Tapi kekalahan-kekalahan itu tidak akan membuat saya mati atau kalah sama hidup.
Kalo lagi sedih, ya sedihlah, rayakan kesedihan itu. Kalo lagi kalah, akui saja kekalahan itu, rayakan kekalahan itu seperti halnya Olive dan Dwayne merayakan kekalahannya di film Little Miss Sunshine. Seperti halnya Basquiat yang merayakan kekalahannya dengan gambar abstrak, yang mematahkan lukisan senyum indah Monalisa. Seperti halnya Sonic Youth yang merayakan kekalahannya, lewat komposisi musik yang mematahkan struktur yang teratur dalam partitur musik klasik. Seperti halnya Bob Dylan yang merayakan kekalahannya lewat suara sumbangnya, yang menampar lirik bermetafor indah nan picisan ala gibran. Seperti halnya Teenage Death Star yang merayakan kekalahannya lewat jargon skill is dead lets rockin. Jika kita tidak bisa menang dengan perspectif orang lain, setidaknya kita bisa menang lewat perspectif sendiri.
Jadi, kenapa salah satu diri kita memilih untuk bunuh diri? Karena dia merayakan kekalahannya dengan cara yang salah. Siapa yang salah? Kita yang tidak menemaninya merayakan kekalahan dengan benar, dengan cara yang lebih cool. Kita yang tidak ada disampingnya ketika dia merasa kecil. Kita yang tidak ada disampingnya ketika dia mau cerita.
Maaf, jika semuanya sudah terlambat.
Maaf, jika semuanya sudah terlambat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar