Rabu, 14 Juni 2017

SUATU HARI KETIKA SI LIDUEL MERENGEK MINTA ES

Suatu hari si Liduel dateng ke rumah saya. Dia minta dibelikan Es. Tapi saya tidak lantas begitu saja menuruti keinginan dia. Saya larang dia minum Es. Saya suruh dia makan siang dulu, namun dia menolak dan tetep ngerengek minta dibelikan Es, dan saya tetap tidak membolehkannya. Dia ngamuk, marah sama saya. Mungkin yang ada dipikirannya itu kaya bilang apa salahnya minum Es pas lagi siang terik seperti waktu itu. Dia pulang sekolah, cape, haus, dan minum segelas Es/Sirup tentu akan menyenangkan. Dia kesal karena saya melarangnya. Ada raut muka tidak senang yang dia kasih lihat ke saya, seperti penuh dendam. 

Lalu, mungkin karena cape marah-marah dia akhirnya ketiduran. Setelah sekitar dua jam dia tertidur, pas bangun dia sudah tidak marah lagi dan bilang laper. Saya kasih dia makan. Dia makan dengan lahap dan ceria seperti biasa. Lalu saya tanya “dede udah ga marah?”. Dia jawab “ngga”. Yaudah ini sirupnya. Tuh udah ditambahin Es krim lagi. Dia senang dan kegirangan. Saya yang menyaksikan tingkah dia jadi kepikiran sesuatu tentang diri saya yang malu saya akui, jika dia lebih baik dari saya, dan saya belajar sesuatu dari dia.

Es sirup di hari itu adalah suatu harapan buat si Liduel. Dia berekspektasi jika segelas Es sirup bisa membuat harinya menyenangkan, setelah dari pagi dia berjuang di sekolah untuk belajar, yang sudah menjadi tuntutan buat dia setiap harinya. Seharian beraktifitas di sekolah tentu membuatnya lelah, dan mungkin yang ada dipikirannya, bolehlah sekiranya orang dewasa itu membolehkan dia minum sirup, sebagai reward karena dia telah berpeluh-peluh berkegiatan di sekolah. Namun keyataannya ketika dia sampai di rumah harapannya hancur. Kenyataan tidak sesuai ekspektasi dia. Lalu dia mengekspresikannya dengan marah sebagai ungkapan kekecewaannya, dan saya ambil bagian dengan berperan sebagai orang yang menghancurkan harapan dia itu. Tapi tak lama. Karena dia dengan cepat begitu saja melupakannya, dan kembali menjadi dia yang seperti biasa, ceria dan menyenangkan. 

Lalu saya lihat diri saya sendiri. Berapa lama saya marah sama orang. Terus mengumpulkan kepingan amarah itu sampai tak sadar jadi dendam. Akumulasi kekecewaan dan harapan yang dipatahkan oleh orang yang saya berharap lebih kepadanya, menjadi dendam yang sulit direda. Rasa sakit hatinya selalu saja terasa. Saya malu, ketika melihat si Liduel yang masih asik dengan sirup es krim nya. Kenapa saya tidak bisa memaafkan sebagaimana si Liduel bisa memaafkan. Ketika saya berpikir orang yang membuat saya kecewa hatinya kotor, ternyata saya tidak lebih baik dan mungkin hati saya lebih kotor. Amarah yang memuncak di dada saya begitu terasa sesak, dan ini tidak mungkin bisa saya rasakan jika hati saya bersih. Saya lihat lagi si Liduel. Dia tidak pernah membenci orang seperti halnya saya membenci. Saya malu. Rasa malu makin bertambah ketika saya menyadari saya juga marah sama Tuhan. 

Jika si Liduel menjalankan kewajiban dia setiap harinya dengan belajar di sekolah, saya sebagai hamba Tuhan merasa saya sudah memenuhi kewajiban saya. Berbuat semaksimal mungkin menjadi orang baik buat “Dia”, dia, dan banyak orang. Tapi kenapa harapan saya harus dipatahkan? Dan untuk hal ini, si Liduel jauh lebih baik dari saya, karena dengan gampanganya dia bisa berkompromi dan bisa melupakan rasa kecewanya sama saya, yang waktu itu berperan sebagai orang yang mematahkan harapannya. Sebagai penebusan rasa bersalah, akhirnya saya mau berbaik hati memberinya sirup dengan tambahan es krim pada akhirnya. Tak sampai hati saya membiarkan si Liduel kecewa berlarut-larut jika seharian itu dia tidak bisa minum sirup. 

Saya malu dengan pikiran saya yang dangkal dan banal. Malu dengan merasa sok tahu akan kebahagiaan yang berhak saya dapatkan. Padahal Tuhan sudah menyiapkan kebahagiaan berkali-kali lipat dari apa yang bisa saya bayangkan dan harapkan. Karena semuanya mudah buatNya. 

Dan belajar itu, jika saya mau sedikit saja menundukan kepala atas kesombongan saya, maka hal sekecil apapun bisa jadi pelajaran, bahkan dari anak kecil berumur enam tahun yang merengek minta sirup. Maka saat ini, lewat tulisan ini, saya minta maaf dan sudah memaafkan kamu, kalian. Terima kasih atas pengalaman dan pelajaran yang berharga. Semoga hidup jauh lebih baik dan memang akan lebih baik ketika damai menyertainya. 

Karena saya pelupa, jadi saya menulis. Dan tulisan ini akan terekam tak pernah mati. Maka saat ini, saat saya sedang bisa berpikir “bener”, saya tulis ini. Jika suatu hari saya mulai tidak “bener”, tulisan ini yang akan mengingatkan saya.  

Big Love 
Bandung, 14 Juni 2017  

Ultraman Liduel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar