Kemarin tetangga depan rumah saya meninggal dunia. Satu hal yang tidak satu orangpun bisa menghindari dari ketetapan itu. Jika sudah waktunya semua orang akan dapat giliran. Itu sebuah kepastian yang tidak bisa diperdebatkan. Doa terbaik untuk almarhumah dan keluarganya semoga diberi ketabahan dan keikhlasan. Amin
Malamnya saya pergi untuk tahlilan di rumah tetangga saya itu. Lepas dari perdebatan apakah tahlilan ini bid’ah atau bukan, saya pikir pointnya adalah ketika kami berkumpul untuk bersama-sama mendoakan almarhumah, silaturahim, memuji kebesaran Allah lewat ayat-ayat yang kami baca malam itu, dan menguatkan keluarga yang ditinggalkan agar tidak larut dalam kesedihan, karena mereka tidak sendirian.
Tapi lepas dari rasa duka yang menyelimuti keluarga almarhumah dan juga kami selaku tetangganya, ada perasaan nikmat bagi saya ketika bisa berkumpul dan bersama-sama membacakan ayat-ayat al-quran, dengan semua kandungan/isi yang baik didalamnya, sebagai pegangan/pedoman saya yang memeluk islam sebagai agama saya. Betapa saya tidak harus insecure dengan kegiatan keagamaan yang saya jalani. Dan ini aneh buat saya ketika mayoritas penduduk Indonesia yang memeluk agama islam sering insecure dengan agamanya, lalu gampang sekali menyatakan orang yang beda aqidah itu kafir yang pantas dimusuhi, atau bertepuk tangan dan merasa hebat ketika Zakir Naik mengislamkan banyak orang lewat forum perdebatan, yang padahal hidayah itu menurut saya datang saat sunyi, saat kita ada dititik terendah dalam hidup kita, dan saat kita sangat ingin menemukan Tuhan.
Tujuh tahun lalu kesunyian akan kematian juga lah yang membuat saya menemukan Tuhan saya. Membuat saya mencintai agama saya. Dia datang saat sunyi. Sangat sunyi. Ketika hari-hari setelah kematian ayah saya tujuh tahun lalu. Dia tidak datang dengan berisik, karena tidak mungkin Tuhan membutuhkan teriakan yang begitu besar, sedangkan Dia sangat dekat dengan saya. Kebesaran dan keagunganNya tidak pernah saya ragukan sedikitpun. Jadi saya ga pernah ngerasa ragu atau insecure dengan semua yang saya imani.
Sampai akhirnya hari ini kita dipertontonkan dengan begitu banyak orang yang insecure dengan agama yang dipegangnya. Agama menjadi sesuatu yang berisik, penuh kemarahan, tidak menyejukan, dan menjadi alat politik praktis. Maka apakah saya sedang menistakan al-quran ketika saya bilang “jangan mau dibodohi ustad pakai surat al-fatihah untuk menggaet perempuan” misalnya? Karena pada prakteknya banyak sekali orang yang mengaku Kyai atau ustad yang memakai agama untuk sesuatu yang sifatnya hanya untuk hal remeh temeh, diluar konteks dan esensi kitab suci al-quran yang begitu agung. Mungkin masih ada yang masih ingat dengan sedekah doa. Ketika kita transfer uang dalam jumlah tertentu, lalu kita didoakan sesuai nominal uang yang kita transfer. Lalu dijanjikan doanya akan segera dikabulkan karena sang ustad berdoa nya langsung dari mekkah, yang seolah jika kita berdoa di rumah itu doa kita tidak akan dikabulkan. Secara bahasa kan itu bisa dituliskan jadi “doa yang dikomersilkan”. Jadi ketika berasumsi sebaiknya harus melihat keseluruhan konteksnya. Kalo sebagian bisa salah persepsi nantinya.
Ya memang tulisan ini mengarah kesana (tentunya buat yang kebetulan baca ini taulah arahnya kemana), dan sialnya saya nyerah untuk tidak berkomentar soal ini. Karena saya pikir ini sudah amat keterlaluan. Betapa orang menjadi dungu ketika mau diadu domba, oleh hal yang seharusnya hanya ada dalam keyakinan hati masing-masing orang. Maka aneh rasanya Tuhan yang begitu agung kita teriakan atas nama pembelaan. Aneh juga al-quran yang begitu luhur dengan semua kebaikan yang terkandung didalamnya, diangkat ke permukaan dalam sebuah wacana yang dangkal. Menjadi berisik. Tepatnya berisik yang tidak menyejukan. Lain hal seperti yang saya alami waktu kecil. Ayat-ayat al-quran diperdengarkan dengan “berisik” (yang menyejukan) dari surau-surau kecil, dari anak-anak yang mengaji pada ustad “beneran”, yang memang mengabdikan hidupnya untuk agama dan Tuhannya. Bukan ustad yang sering minta donasi lewat investasi bodong, ataupun ustad seleb yang suka kawin cerai, dan membahasnya di infotainment.
Ketika saya masih ABG nan labil Tuhan itu sering saya suruh-suruh. Karena kan katanya Tuhan bisa mengabulkan apapun permintaan saya. Jadi seperti Jin dalam film aladin saja, atau doraemon. Dangkal sekali, dan berani betul waktu itu saya suruh-suruh Tuhan untuk memenuhi keinginan saya. Dan kalaupun permintaan saya tidak dikabulkan oleh Tuhan saya marah-marah. Jadi Tuhan waktu itu bisa saya suruh dan saya marahi. Berani betul. Seperti halnya apa yang dibilang Gus Mus ketika orang-orang sekarang banyak yang minta Tuhan urusin Pilkada. Berani betul orang-orang itu nyuruh Tuhan untuk urusan sekecil itu. Karena jika Bumi saja hanya setitik kecil dibanding planet-planet yang lain, apalagi Jakarta. Mungkin hanya seperti buih saja.
Sejujurnya, bisa dibilang saya beragama islam baru tujuh tahun yang lalu, walaupun dari lahir saya sudah terlahir sebagai orang islam, karena keturunan orang tua saya. Tujuh tahun lalu adalah momen saya menemukan islam, dan menetapkan hati jika agama inilah yang akan saya jadikan pegangan saya, dengan penuh keyakinan jika semua yang ada didalamnya adalah baik. Sebelumnya saya memandang islam penuh dengan keraguan. Misalnya saja ketika saya berwudhu dan ada orang yang berkomentar, “ngapain wudhu, mandi aja sekalian”, atau “ngapain solat, kaya orang senam aja”. Dulu itu saya mikirnya “bener juga ya ngapain solat, kaya senam gitu, berdiri, ruku, sujud, duduk”. Dan karena saya tidak sepenuhnya yakin dengan agama yang saya pegang, ditambah saya tidak punya argumen untuk “kick balik”, orang yang menghina cara ibadah saya waktu itu akhirnya saya marah. Tersinggung karena ngerasa agama saya dihina, yang saya sendiri pun (waktu) itu ga tau juga apa sebenernya “kehebatan” agama saya itu.
Tapi sekarang, islam yang saya yakini itu keren, baik, agung, besar dan luhur. Jadi kalaupun ada orang yang merendahkan islam serendah-rendahnya dia bisa merendahkan, saya harusnya tidak tersinggung. Tapi jika saya tidak yakin islam itu keren, baik, besar dan agung, maka saya bisa gampang marah ketika ada yang nyenggol dikit. Karena kalau ga yakin gitu biasanya akan ada muncul pemikiran, “apa bener yang dia omongin kalo islam itu ga “sehebat” itu?”, ditambah pemahamannya tentang islam pun dangkal, jadi ya gampang kesulut. Coba deh pegang kertas, terus bakar ujungnya, dalam hitungan detik juga panasnya api bisa kamu rasakan, kamu jadi gampang kesulut. Karena apa? Karena kertas itu rapuh. Tapi coba pegang kayu atau bambu, lalu bakar ujungnya (tentunya setelah dimodifikasi menjadi obor. Ps : harus detail takut ada panasbung yang baca). Alih-alih kamu merasa panas, kayu itu malah menjadi obor buat kamu. Seperti itulah Islam yang saya yakini, kokoh dan menerangi. Tidak rapuh dan gampang terbakar seperti kertas.
Tengoklah Gus Dur, Gus Mus, Prof Quraish Shihab, beliau-beliau ini ilmu agamanya dalam sekali, pemahamannya akan agama sangat luas. Ngajinya juga jauh, di Arab. Bukan ngaji di google hasil wi-fi gratisan. Kehadiran mereka menyejukan karena ilmu agamanya yang dalam. Pandangan luas mereka seperti kolam ilmu yang tidak akan tumpah walaupun diisi air yang banyak. Sedangkan kita (khususnya saya) hanya memiliki segelas ilmu yang bisa tumpah jika diisi air yang banyak, karena kapasitas yang kecil (alias otak yang tidak mumpuni). Jadi malu rasanya jika harus ngotot debat soal agama dengan teriak-teriak, dengan kapasitas saya yang hanya segelas itu, dibanding mereka yang punya kolam ilmu. Tapi yang terjadi adalah banyak orang yang ngaji di google hasil wi fi gratisan tadi yang mengkafirkan Prof Quraish Shihab, ini luar biasa sekali. Luar biasa tidak tahu diri.
Tentang agama sendiri, yang saya tahu tidak banyak memang, tapi saya tahu jika agama saya itu baik untuk saya, dan agama kamu itu baik untuk kamu. Dan sebaiknya kita simpan dihati kita masing-masing saja saudaraku. Jadi kalo ada ustad yang ceramah di mesjid yang berisi tentang ujaran kebencian, dan kebetulan terdengar sama teman-teman non muslim (iyalah kan pake toa), mohon dimaafkan ya. Mungkin ilmunya belum seberapa. Belum seluas kolam ilmu yang menyejukan. Saya juga suka kesel kok, ketika saya pergi jumatan kan untuk ibadah, untuk mencintai Tuhan saya Allah SWT, dengan harapan mendengar ceramah akan kebesaran Allah SWT, dan bagaimana agar saya bisa lebih jauh lagi mencintai Allah SWT. Tapi yang terjadi adalah ustad-ustad itu malah memberi anjuran kebencian. Segala urusan pilkada dibawa-bawa ke mesjid. Ini luar biasa. Luar biasa ga nyambung.
Dan terakhir. Karena dari tengah (atau mungkin dari awal) udah ketebak arah tulisannya kemana, saya tulis gamblang aja. Untuk koh Ahok, saya ngga kenal anda, saya juga tidak punya kedekatan personal dengan anda seperti warga Jakarta. Tapi disebagian darah saya mengalir darah yang juga sama dengan bapak, mata sipit dan kulit putih kita tentunya menjadi anomali tersendiri di negara ini. Saya tau rasanya koh. 19 tahun yang lalu (mei 98), waktu saya masih kecil didepan mata saya sendiri saya menyaksikan bagaimana kerusuhan itu terjadi, dan ingatan akan ketakutan itu mungkin tidak akan pernah hilang dalam benak saya. Bagaimana saya, seorang anak kecil yang hidup dilingkungan pecinan takut dan diburu karena kami “beda”. Kami dijadikan kambing hitam atas bobroknya ekonomi negara ini, dan mereka merasa benar ketika menjarah toko kami, hanya karena toko kami “bukan milik pribumi”. Dan hari ini “skenario” itu akan diulang lagi. Apakah kita mau kembali menjadi dungu lagi? Dan itu dimulai dari skenario politisasi koh Ahok ini. Kaya dapat jalan aja jadinya. Tapi semoga saja itu hanya ketakutan saya saja yang berlebihan.
Perlu belasan tahun sampai akhirnya bisa sembuh dari rasa takut itu, setelah sebelumnya menjadi seorang agoraphobia karena trauma yang dalam pasca kerusuhan Mei 98. Itu ngga gampang. Tapi lepas dari itu koh, berbanggalah sedikit, karena ujaran kebencian yang mereka sebar itu mereka tulis lewat hp China yang mereka beli. Karena orang yang mengharumkan nama Indonesia itu justru lewat smash keras seorang Cina bernama Lim Swie King. Karena baju yang mereka pakai saat demo itu juga namanya baju “koko”. Karena rokok kretek yang mereka hisap pas demo itu adalah hasil campur tangan seorang Cina bernama Liem Seeng Tee, yang diproduksinya sejak tahun 1913, dan karena Soe Hok Gie itu juga seorang Cina koh.
Tulisan ini hanya akumulasi kejenuhan saya akan berisiknya beranda sosial media tentang politik dan agama yang saya tumpahin disini, dan ya semoga saja mereka ga berisik lagi soal itu. Sudahlah ya. I love u my friends. Salam sayang saya, seorang anggota front pembela islam, kristen, budha, hindu, dan konghucu. Big love.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar