CHAPTER 1 (Nonton Pagelaran Orksetra di Aula Barat ITB)
Minggu tanggal 23 April kemarin, seorang teman ngajak saya pergi nonton pertunjukan orkestra di kampus ITB. Saya mengiyakan ajakan itu karena saya memang tertarik, dan kebetulan saya pernah satu kali nonton pertunjukan semacam itu ketika masih sekolah di SMK dulu. Waktu itu sekolah saya kedatangan teman-teman dari SMM Jogja, untuk melakukan pertunjukan di auditorium sekolah saya. Dan saya cukup menikmati pertunjukan itu. Ada dua point sih yang membuat saya tertarik nonton. Pertama saya suka suara yang dihasilkan dari ansambel musik semacam itu. Kedua, saya suka perpaduan brass section maupun string section yang menurut saya terdengar “wah”, dan memanjakan telinga, karena untuk bisa memainkan musik semacam ini penuh dengan perhitungan dan ketepatan nada dan harmoni yang tidak sembarangan. Meskipun di lain sisi saya juga sangat menyukai musik punk yang kasarnya main “hajar” saja, tanpa itungan yang sedetail musik klasik dalam orkestra.
Singkatnya kami (saya, teman saya dan istrinya), berangkat pukul 4 sore. Kami tidak langsung ke ITB, tapi makan dan ngopi-ngopi dulu, khas kaum urban kekinian yang suka nongkrong dan ngopi. Sampai sekira habis Maghrib lah, kami melanjutkan perjalanan ke kampus ITB. Pertunjukannya sendiri dimulai pukul 7 lebih dikit lah. Oh iya saya lupa, pertunjukan ini diberi judul Travelling Through Melodies, yang rutin digelar oleh mahasiswa/i ITB yang tergabung di ITB Student Orchestra. Dan konser ini merupakan konser ke 10 dari acara tahunan yang rutin digelar oleh mereka.
Konser dibuka dengan penampilan dari ansambel gitar. Dan bicara tentang gitar klasik. Saya jadi inget dulu pernah sengaja beli gitar nilon buat belajar main klasik, dan ternyata susah. Tapi berbeda dengan para gitaris dimalam itu. Mereka enteng saja mainin lagu-lagu klasik dari mulai lagu Malaguena nya Ernesto Lacuona sampai lagu The Entertainer nya Scott Joplin. Yang terasa kurang mungkin soal dinamika. Saya kurang bisa merasakan dinamika permainan gitarnya malam itu. Naik turunnya tidak terlalu terasa. Meskipun secara skill tidak diragukan lagi.
Konser dibuka dengan penampilan dari ansambel gitar. Dan bicara tentang gitar klasik. Saya jadi inget dulu pernah sengaja beli gitar nilon buat belajar main klasik, dan ternyata susah. Tapi berbeda dengan para gitaris dimalam itu. Mereka enteng saja mainin lagu-lagu klasik dari mulai lagu Malaguena nya Ernesto Lacuona sampai lagu The Entertainer nya Scott Joplin. Yang terasa kurang mungkin soal dinamika. Saya kurang bisa merasakan dinamika permainan gitarnya malam itu. Naik turunnya tidak terlalu terasa. Meskipun secara skill tidak diragukan lagi.
Penampilan kedua giliran para “tukang tiup”, alias dari wind ansambel. Ragam alat musik tiup seperti flute, klarinet, saxophone, trombone, dan lainnya, mengisi ruangan di Aula ITB, yang bangunannya mengingatkan saya sama Aula di Hogwart nya film Harry Potter. Akustik room nya bagus banget. Saking bagusnya kayaknya suara orang berdehem aja kedengeran. Setelah para “tukang tiup” ini menyelesaikan repertoar lagu-lagunya, acara break sebentar, dan dilanjut ke sesi dua.
Setelah lebih kurang 20 menit, acara dilanjutkan, dan kali ini para penampil hadir dalam format yang lebih ramai dan “utuh”. Dimulai oleh solo biola, yang menandai jika sebentar lagi saya akan menyaksikan suguhan musik yang “wah” dan dalam istilah teman saya “serasa jadi bangsawan”. Strata ya cukup terasa karena saya jarang sekali mendengar musik seperti itu, dan memang untuk bisa memainkan musik seperti itu susah. Makanya pertunjukan semacam itu layak mendapat apresiasi. Dari semua lagu yang ditampilkan, yang paling membekas di saya ketika mereka menggubah lagu Bubuy Bulan. Lagu tradisional Jawa Barat itu menjadi begitu “menyayat hati”, dan permainan biola dilagu itu benar-benar memanjakan telinga saya ( 4,5 bintang dari 5 bintang).
Lalu “gong” nya pas sang pengaba yang bernama Guntario Sukma Cahyani, tampil menggunakan kostum Pikachu. Kostum ini agaknya tidak jadi sekedar gimmick buat lucu-lucuan saja. Karena ternyata kostum itu mewakili lagu-lagu kartun (lebih tepatnya kartun 90an), yang dia interpretasikan dalam sajian musik orkestra. Kesan “wah” dan menyenangkan hadir mengisi ruangan aula ITB malam itu. Ada sisi nostalgia yang ditingkahi kekaguman akan ide membawa memoar manis waktu kecil, yang diterjemahkan lewat sajian musik yang indah.
CHAPTER 2 (Jadi Pembicara di Munas APMPI)
Jumat, 28 April 2017 saya menjadi pembicara untuk acara Musyawarah Nasional Aliansi Pers Mahasiswa/i Politeknik Se-Indonesia, atau disingkat MUNAS APMPI, di Wisma Graha Yudha Bandung, yang melibatkan sekitar 11 Politeknik dari seluruh indonesia. Setelah sekitar beberapa hari sebelumnya salah seorang anggota dari badan pers mahasiswa kampus Piksi Ganesha, menghubungi saya untuk jadi pembicara dan memberikan sedikit materi tentang penulisan artikel.
Jumat, 28 April 2017 saya menjadi pembicara untuk acara Musyawarah Nasional Aliansi Pers Mahasiswa/i Politeknik Se-Indonesia, atau disingkat MUNAS APMPI, di Wisma Graha Yudha Bandung, yang melibatkan sekitar 11 Politeknik dari seluruh indonesia. Setelah sekitar beberapa hari sebelumnya salah seorang anggota dari badan pers mahasiswa kampus Piksi Ganesha, menghubungi saya untuk jadi pembicara dan memberikan sedikit materi tentang penulisan artikel.
Jujur, ini pertama kali buat saya jadi pembicara seperti itu. Pengalaman pertama saya bicara didepan umum paling ketika saya PKL ngajar waktu sekolah di SMK. Itupun tidak sebagai pembicara yang bisa dibilang menjadi central point dalam sebuah acara, saya hanya sebatas ngajar saja waktu itu. Makanya pengalaman menjadi pembicara di acara MUNAS APMPI kemarin cukup membuat saya gugup, terlebih saya typical orang yang gampang kikuk dan suka “Blank” karena grogi.
Acara dimulai sekira pukul 4 sore dan berlangsung selama dua jam sampai Maghrib. Saya sedikit berbagi pengalaman tentang bagaimana menulis artikel, yang sudah saya jalani selama lebih kurang 6 tahun dari tahun 2011. Tema besar yang saya jadikan materi di acara itu adalah tentang menulis artikel dari perspectif yang menarik. Saya sendiri kebetulan mempunyai ketertarikan lebih sama musik. Jadi artikel yang saya tulis kebanyakan diambil dari sudut pandang saya tentang musik. Meskipun tidak selalu yang saya tulis itu artikel tentang musik, ada juga tentang politik atau sepak bola, tapi pendekatan saya, atau analogi saya selalu dari perspectif saya yang tertarik dengan musik.
Point-point yang mendasari materi di acara itu adalah tentang menulis opini yang ditambahi analogi, sudut pandang, dan kesimpulan dari sisi ketertarikan si penulis akan sesuatu. Tidak banyak memang yang saya tahu, mengingat latar belakang saya juga bukan dari dunia jurnalistik. Tapi ya semoga aja sedikit ilmu yang saya tahu bisa berguna. Jika tidak ya pura-pura saja berguna, jadi saya ga terlalu ngerasa bersalah karena telah diundang dan dibayar. Hehe
Disela-sela pemberian materi juga, diselingi dengan diskusi, dan diakhir saya memberikan “tantangan” menulis kepada peserta MUNAS, untuk menggambarkan kampus mereka masing-masing dari sudut pandang yang mereka pikir menarik. Nantinya tiga terbaik akan mendapatkan sertifikat dari pihak penyelenggara. Menarik, ketika mereka menuiskan tentang kampusnya masing-masing. Ada yang menganalogikan kampusnya seperti kapal titanic yang karam, ada juga yang menulis sisi lain mahasiswa/i kampusnya dari segi busana yang dipakai mereka ke kampus.
Terima kasih untuk teman-teman panitia selaku pihak yang mengundang, dan para peserta MUNAS atas partisipasinya. Selamat menulis, dan semoga teman-teman cukup punya nyali buat nolak tawaran menulis berita Hoax, meskipun bayarannya lumayan besar. Hehe.
Terima kasih untuk teman-teman panitia selaku pihak yang mengundang, dan para peserta MUNAS atas partisipasinya. Selamat menulis, dan semoga teman-teman cukup punya nyali buat nolak tawaran menulis berita Hoax, meskipun bayarannya lumayan besar. Hehe.
Duta Pepsodent 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar