Selasa, 30 Januari 2018

TIGA PULUH MENIT PERTAMA FASE KEPALA TIGA

Umur sepuluh tahun rasanya masalah terbesar hidup saya itu PR matematika. Waktu itu rasanya ngerjain soal Matematika itu susah banget. Saya pernah punya pikiran “nih orang dewasa enak banget hidupnya, bisa ketawa-ketawa di ruang tengah pada jam-jam saya kebingungan ngerjain PR matematika”. (gambarannya adalah papa saya lagi ngobrol sama temen kantornya, ketawa-ketawa sepulang kerja di ruangan tengah). Dulu saya mikirnya pengen jadi cepet gede biar bebas dari PR matematika. Enak jadi papa, ga harus berhadapan dengan PR matematika. Dia cuma berangkat kerja, ketawa-ketawa, terus dapet duit dari kantornya. Menggaris bawahi kata “cuma” pada padanan kalimat “dia (papa) cuma berangkat kerja”, yang belasan tahun kemudian saya sadari jika pekerjaan yang dia jalani itu bukan “cuma”.

Masuk usia dua puluh tahun, matematika sudah bukan perkara besar untuk saya. Ada hal lain yang menjadi masalah yang berat untuk saya, dua diantaranya adalah perkara asmara dan pekerjaan yang awalnya saya anggap “cuma” tadi. Dua hal itu menjadi yang paling menyita pikiran saya di umur dua puluhan. Merasa menjadi manusia gagal karena saya kalah oleh dua hal itu. Menjadi jomblo dan tidak punya pekerjaan di usia dua puluhan itu rasanya dunia mau kiamat saja. Saya seakan tidak punya alasan untuk ketawa, atau dalam ruang lingkup nalar yang dihembuskan oleh pikiran, yang mengudara bersama asap rokok hasil ngutang di warung sebelah, seakan mengiyakan jika dua hal itu menjadi masalah terbesar saya. Matematika jadi terasa cemen untuk saya. Masalah ketika kesulitan mengerjakan PR matematika jadi tidak ada apa-apanya dibanding dua hal ini.
Sekarang, menjelang tiga puluh tiga menit saya memasuki usia tiga puluh tahun, semua masalah yang saya sebutkan diatas menjadi terasa dangkal, jika harus saya masukan dalam kategori masalah, karena saya sudah mendapatkan semuanya. Saya sudah punya pasangan, lalu menikah di penghujung usia dua puluhan, dan saya juga sudah mempunyai pekerjaan. Masalah terbesar yang saya rasakan saat ini adalah....ketika saya sudah mempunyai semuanya, lalu saya masih saja tidak pandai bersyukur, tentu itu menjadi masalah. Apalagi saat ini saya akan berhadapan dengan diri saya yang lain dalam bentuk mini, yang kelak akan saya sebut “nak”. 

Sekitar dua minggu lalu, istri saya mengabarkan jika dia positif hamil. Itu artinya, saya akan jadi seorang ayah. Saya akan jadi seseorang seperti papa saya, yang harus mengabdikan hidupnya untuk buah hatinya, seperti halnya papa saya yang mengabdikan hidupnya untuk saya. Maka bayangan akan tertawaan papa bersama teman kantornya sepulang dia kerja, menjadi hal yang membuat saya merenung, jika tertawaan papa di sore hari itu hanya kamuflase, dibanding seribu masalah yang dia hadapi. Bahwa pekerjaan yang dia jalani itu bukan “cuma”, tapi itu jalan dia mengabdikan hidup untuk menjamin anak dan istrinya. Bahwa tiap lembar uang yang dia belikan untuk mainan dan baju lebaran anaknya itu ditebus oleh keringat, dan terik panas matahari yang menyengat. Saya akan ada diposisi itu, dan bahkan gagap hanya untuk urusan iuran bulanan sampah dan keamanan. Atau notifikasi yang bersumber dari grup whatsapp kantor untuk urusan pekerjaan, yang berbunyi bahkan pada jam dua belas malam, ketika dua puluh tahun lalu menjadi jam-jamnya saya tidur lelap, usai kelelahan mengerjakan PR matematika tadi.


Dini hari, istri saya membangunkan saya untuk memperlihatkan ini

Tiga puluh menit usai saya menulis ini, saya resmi berumur tiga puluh tahun, dan akan menjadi fase pertama saya berkepala tiga, setelah sebelumnya, pada 30 Januari 1988, papa saya menangis haru ketika saya lahir. Tiga puluh tahun kemudian sosok bayi yang begitu dia banggakan itu telah jadi manusia dewasa di usianya yang menginjak kepala tiga, dan tongkat estafet menjadi ayah sudah didepan mata. Sementara itu saya lihat istri saya tertidur, setelah sebelumnya dia kesakitan akan kondisi kehamilannya di trimester pertama dia. Kelak kami sudah tidak akan berkutat pada persoalan drama asmara remaja lagi, tapi kami akan jadi orang tua, yang dimana segala bentuk cinta dikerucutkan pada buah hati kami. Semoga kelak dia akan menjadi sinar yang terang, dimana kehadirannya akan menyinari banyak orang disekitarnya dengan cinta yang dia punya. Dengan cinta yang besar, seperti cinta kami kepada dia dan Tuhannya.

Terima kasih untuk segala karunia, nikmat, dan semua hal yang telah terjadi dan akan terjadi. Sungguh tiada dan upaya melainkan atas pertolonganMu. Aku mencintaiMu dengan segenap hati, jiwa, raga, serta dengan segala kerendahan hati, dan semua hal yang aku percayai tentang keberadaanMu.   

Taman Kopo Katapang, 30 Januari 2018


1 komentar: