Senin, 14 Mei 2018

ROMANTISME THEMILO LEWAT SUGUHAN MUSIK ATMOSFERIK DI WASTED PARTS SHOWCASE



Bertempat di Institut Francais Indonesia, Jalan Purnawarman Bandung, Themilo menggelar showcase mereka yang bernama “Wasted Parts Showcase”, pada Sabtu, 12 Mei 2018 kemarin. Pertunjukan ini menjadi terasa istimewa, di usia lebih kurang dua dekade band ini berdiri. Apalagi Themilo akan  datang dengan repertoar lagu-lagu lama mereka di album Wasted Parts, yang banyak diantaranya menghadirkan romantisme tersendiri, mengingat Themilo bisa dibilang band “sebagai”, terlebih untuk publik di Bandung. Hadir sebagai salah satu band yang mempelopori musik shoegaze, membuat nama Themilo menjadi yang paling diingat, sebagai band yang menyuguhkan musik atmosferik, dengan balutan efek reverb dan delay tebal yang mengawang.

Masuk ke pelataran gedung IFI Bandung, pengunjung disuguhi berbagai foto Themilo dari era awal mereka berdiri sampai saat ini. Disana pengunjung bisa melihat transformasi Themilo dari masa ke masa. Dari mulai Ajie sang Vokalis masih berambut gondrong dan kurus, sampai beberapa mantan personil Themilo seperti Suki, Hendi, atau Coro, yang meskipun saat ini tidak lagi mengisi formasi di tubuh band Themilo, namun perannya tidak bisa dipisahkan begitu saja, mengingat torehan kreasi mereka tertuang juga dalam karya-karya yang disuguhkan Themilo, baik itu dalam format album, maupun beberapa penampilan mereka bersama Themilo.

Sekitar pukul tujuh malam pertunjukan dimulai, dengan menghadirkan Lightspace sebagai band pembuka showcase Themilo ini. Musik post-rock yang mereka bawakan, sangat menarik untuk disimak, baik itu secara teknis mereka bermain musik, maupun cara mereka menghadirkan dinamika dan harmoni yang selaras dengan mood pertunjukan malam itu, dimana persamaan mereka dan Themilo ada dalam benang merah yang sama, ketika keduanya piawai menciptakan ruang imajinasi dalam setiap notasi yang dimainkan. Lightspace hadir dengan agresifitas melodi yang mereka mainkan dengan stage act yang tidak hanya menarik, namun juga menjadi gambaran yang sejalan dengan musik, dan visual art yang terpampang di atas panggung.

Selesai penampilan Lightspace, band kedua yang tampil menjadi pembuka showcase Themilo ini adalah Space Astronauts. Kehadiran band ini menjadi semakin mengukuhkan jika pertunjukan malam itu adalah bentuk dari nostalgia, mengingat band ini juga masuk dalam jajaran “band lama”, ketika Bandung masih begitu fresh, dengan pilihan musik unik yang beragam, pada era 2000 awal. Dengan olah tata suara dari synthtesizer, band ini membangun ruang yang menuntun penonton ke alam bawah sadar mereka untuk berfantasi ke sebuah tempat utopis, merayakan "kebisingan" demi "kebisingan" dalam balutan synth.

Bunyi-bunyian dari musik mereka seolah gerbang masuk ke tempat utopis, dengan dilengkapi oleh tata cahaya lampu dan visual art yang berkolaborasi membangun mood pertunjukan menjadi sebuah “petualangan” audio visual ciamik. Menariknya, Space Astronauts membawakan lagu dari Themilo berjudul “Cool”, sebagai penutup penampilan mereka, sebelum akhirnya Themilo didaulat mengisi panggung.

Selesai penampilan dari Space Astronauts, layar di sisi panggung menampilkan video footage penampilan Themilo pada era awal mereka berdiri, sekitar tahun 1997, dan bisa dibilang sebagai penampilan perdana Themilo di atas panggung. Footage tersebut menjadi mesin waktu bagi penonton yang mungkin ada di era itu, dan buat para penggemar baru Themilo, itu menjadi artefak sejarah, yang mungkin kali pertama bagi mereka melihat Themilo di era awal. Seperti misalnya saat Themilo mengisi acara di gelaran RRREC Fest, di era album awal mereka Let Me Begin.

Sekitar pukul delapan, Themilo mulai menampakan dirinya di atas panggung, dan langsung mengalih komando dengan lagu-lagu hits mereka seperti “Dreams” sampai “Dont Worry For Being Alone”. Disela-sela penampilan mereka, Ajie memberi sedkit speach  tentang cerita perjalanan dia bersama Themilo, khususnya pada era album Let Me Begin. Hal ini semakin “komplit” ketika Ajie mempersilakan Fiki Satari, yang merupakan Excecutive Producer album Let Me Begin, sekitar tahun 2001-2002. Menurutnya, selain pernah sekolah bareng bersama Ajie di sekolah music business+audio engineering, dia juga jatuh cinta dengan komposisi karya dan live ambience Themilo. Maka dari itu dia mau menjadi Excecutive Producer di album itu.

Untuk melengkapi nostalgia bersama Themilo di era album pertamanya, mereka juga mengundang Andi Asmawir ke atas panggung. Mawir (sapaan akrab Andi Asmawir) adalah manajer pertama Themilo di era awal mereka berdiri, yang berjasa memunculkan nama Themilo ke permukaan, hingga akhirnya dikenal, dan menjadi sebesar sekarang. Selain itu, ada juga Satria Nb atau akrab dipanggil Iyo, vokalis dari grup band Pure Saturday. Iyo yang saat itu menjadi pemimpin redaksi majalah Ripple, menjadi salah satu yang berjasa mengangkat nama Themilo lewat media yang Iyo punya. Seperti misalnya saat Themilo tampil di Surabaya, Iyo bersama tim dari majalah Ripple ikut kesana, dan menuliskan tentang penampilan Themilo disana. Hal ini menurut Iyo didasari bentuk dukungan dia agar band-band yang punya karakter musik seperti Themilo bisa jauh lebih dikenal. Setelah Iyo turun panggung, Themilo memanggil mantan personil mereka, Uti dan Hendi “Unyil” ke atas panggung, untuk sedkit bercerita tentang pengalaman mereka saat tergabung bersama Themilo. Sampai akhirnya Themilo menutup sesi pertama dengan lagu “Serbuk Terbang Telah Sirna”.

Masuk di sesi kedua, Themilo tampil membawakan lagu “sejuta umatnya” yang berjudul “Romantic Purple”. Lagu yang sempat menjadi heavy rotation di MTV Indonesia saat itu. "Romantic Purple" menjadi suguhan menarik ketika Themilo tampil hanya dengan iringan piano dari Sandi Mardiansyah, yang saat itu menjadi additional keyboard Themilo. Lagu ini menjadi hal yang memorable pada showcase yang digelar Themilo bersama DCDC malam itu. Ajie yang biasanya bernyanyi di nada-nada rendah, yang kadang tidak jarang tenggelam oleh bunyi instrumen lain, malam itu menunjukan kelasnya sebagai seorang vokalis yang telah lama berkarir, lebih kurang 20 tahun itu. Lantunan lagu yang dinyanyikan Ajie, seakan menyudahi petualangan dalam ruang imaji yang dituntun oleh musik atmosferik ala Themilo pada lagu-lagu sebelumnya. Penonton seakan mendaratkan kembali lamunannya untuk menikmati lantunan lagu “Romantic Purple”, yang dinyanyikan oleh Ajie.

Sedikit catatan yang menarik untuk dituliskan pada penampilan Themilo malam itu, ketika barisan penonton yang khusuk duduk bersila menikmati musik Themilo. Posisi penonton yang duduk bersila dibawah panggung, seakan terkesima melihat sosok Ajie yang ditempa oleh tata cahaya di atas panggung, yang menyuguhkan backlight ketika kerlap kerlip lampu kadang menyuguhkan siluet menarik, dan sosok Ajie seakan mensabdakan sesuatu yang bisa dengan mudahnya masuk dalam pikiran kita, sadar atau tanpa sadar, selama lima menit lagu itu berjalan.

Kejutan tidak hanya sampai disitu, karena Themilo menyajikan dua orang mysterious guest dalam pertunjukannya malam itu. Yang pertama adalah Wishnu Kinu, vokalis dari band Eta, yang juga merupakan rekan dekat Themilo dan menjadi salah satu pionir dalam scene musik Bandung, khususunya scene musik indie-pop. Dia bernyanyi di lagu berjudul “For All The Dreams That Wings Could Fly”. Sedangkan mysterious guest kedua adalah Wanggi Hoed, yang menyuguhkan sebuah performing art dalam bentuk pantomime. Penampilan Wanggi mampu dengan sempurna menggambarkan ilustrasi musik yang dimainkan Themilo di atas panggung. Lewat bahasa tubuhnya, penonton menjadi larut dan seakan merasakan apa yang diutarakan Wanggi, meski tidak dalam bentuk verbal. Sampai akhirnya Themilo menutup penampilan mereka malam itu dengan lagu “Daun dan Ranting Menuju Surga”.



















Si Jurnalis dengan muka tegang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar