Sekitar tahun 2013-2014, muncul Skrillex yang saat itu mulai mempopulerkan dubstep, dan membuat generasi musisi elektronik yang baru. Saat itu banyak anak muda cukup mudah membeli alat untuk membuat musik elektronik, karena device nya hanya laptop dan controller, hingga membuat banyak musisi yang terbilang awam dengan mudahnya melabeli diri mereka sebagai musisi elektronik. Fenomena seperti itu membuat Bottlesmoker berpikir “ini kenapa instan banget ya? Segampang itu”.
“Karena waktu itu cukup rame juga dengan fenomena EDM dan Dubstep tersebut, sampai akhirnya kita kepikiran untuk mengubah fenomena itu dengan hal yang tradisional. Karena dulu sejarah musik elektronik itu sendiri bahkan diawali dari bebunyian benda-benda sekitar, yang dalam artian lebih organik lah bisa dibilang, dan kita ingin mengembalikan lagi hal itu, seperti misalnya membuat kick drum dari meja yang dipukul, atau dari bekas galon air lah misalnya. Kita ingin menantang diri sendiri dengan cara tradisionalnya musik elektronik. Selain itu kita juga ingin mengenalkan pada publik jika musik elektronik itu bukan hanya (menurut istilah Angkuy) jedag jedug saja”.
Nobie menambahkan jika stigma orang tentang musik elektronik pada saat Skrillex muncul itu sesuatu yang instan. "Banyak orang beranggapan jika musik elektronik ya hanya untuk party atau narkoba lah, seolah musik elektronik dikaitkan dengan hedonisme lah bisa dibilang. Disitu jadi keluar esensi dari musik elektronik itu sendiri, karena semuanya instan, serba digital, dan semua orang pun bisa. Jadi kita ingin membalikan anggapan-anggapan seperti itu", ujar Nobie.
Karena hal itulah akhirnya mereka meluaskan eksplorasi musikalnya dengan mempelajari pattern-pattern musik etnik, yang berfokus pada ritual dan musik tradisi, yang kemudian diaplikasikan di album Parakosmos. Beberapa hal seperti pemilihan judul lagu pun diakui oleh Angkuy menjadi satu hal menarik untuk ‘diulik’ lebih jauh lagi. Seperti misalnya pada lagu berjudul “Bonet Circle”, yang diadaptasi dari ritual bonet, dimana ritual tersebut dilakukan dengan tarian melingkar sambil berpegangan tangan dan bernyanyi. Pola tarian seperti itu kemudian diartikan oleh Bottlesmoker seperti looping, yang kemudian hal itu diterjemahkan musiknya dengan teknik looping juga. Hal-hal seperti itu cukup menjawab tentang pertanyaan dari mana Bottlesmoker memilih judul, berhubung lagu yang mereka bawakan tidak menyertakan lirik didalamnya.
Angkuy juga menambahkan tentang alasan mereka memilih eksplor ke ranah musik etnik/tradisi. “Kita bahkan sampai kuliah lagi agar paham dulu pakem-pakemnya, karena kita juga tidak mau ‘merusak’ pakem-pakem yang sudah ada. Setelah kita merasa cukup bereksplorasi dengan toys music di album sebelumnya, kita sepakat untuk menutup eksplorasi tentang itu dan meneruskannya ke ranah musik tradisi, meskipun pada tahap pembelajarannya kita hati-hati sekali karena takut ‘merusak’ pakem-pakemnya itu tadi”.
“Setelah kita memutuskan untuk kuliah lagi, kita dikasih pola-pola teori kreativitas lah bisa dibilang. Lalu kita terapkan setelah kita melakukan wawancara untuk observasi secara sejarahnya, maknanya, dan yang paling seru ternyata pemaknaan kalau dari tradisi atau local wisdom itu. Kita kan tadinya memandang sebelah mata musik tradisi, karena kita anggap hal tersebut udah ketinggalan lah, padahal ternyata koor dari semua yang ada sekarang ini asalnya dari tradisi. Observasi yang kita lakukan juga cukup banyak, dari mulai buku, baca-baca hasil penelitian orang, sampai akhirnya secara data kita pikir sudah cukup, baru kita berani bereksplorasi di ranah tersebut”.
Sedangkan menurut Nobie album Parakosmos ini bisa dibilang menjadi pintu untuk Bottlesmoker bisa meluaskan eskplorasi musik tradisi tersebut ke daerah lainnya, yang belum mereka pelajari. Hal yang diamini juga oleh Angkuy, dimana memang pada awalnya mereka tidak mau jika musik tradisi itu tadi hanya sekedar nempel, seperti saat membuat musik lalu ditambahkan suara suling atau kecapi misalnya. “Kita ingin spirit dari alat musik suling tadi tetap ada, atau kenapa bunyi suling itu seperti itu, tentunya ada alasan-alasan tertentu, yang berhubungan dengan kosmologi lah, dengan rasa bersyukur lah, dan masih banyak lagi. Kita coba serap spirit-spirit itu dan kita pindahin ke musik elektronik versi kita. Jadi ketika orang mendengarkan pun tetap ada perasaan semacam kangen ke tanah sunda lah atau apa lah, yang memang hal itu sudah jadi satu paket dengan karakter musik tradisi, lalu kita coba mix dengan musik elektronik versi kita”.
Menurut Angkuy yang membuat album Parakosmos itu menjadi seru itu karena mereka mengadaptasi ritual, nyanyian, dan 'doa-doa' yang sudah ada, namun disajikan tanpa musik, dan sifatnya lebih ke perkusif, hanya nyanyi-nyanyi saja. Kekosongan musik dalam ritual itu kemudian diisi Bottlesmoker dengan musik ala mereka, sebagai bentuk interpretasi dari ritual tersebut. Diakui oleh mereka jika proses kreatifnya di ranah ini cukup membuat Bottlesmoker kesulitan, karena mereka terbiasa membuat pola dengan vokal yang mengikuti musiknya, sedangkan ini jadi terbalik, dimana musik yang mengikuti vokalnya yang memang tidak bisa diubah-ubah lagi, karena sudah ada dalam bentuk ritual itu tadi. Hal itu menurut Angkuy cukup memakan proses yang cukup lama, namun menjadi seru karena ada tantangan baru untuk Bottlesmoker dalam proses kreatifnya.
Ketika ditanya tentang sejauh apa eksplorasi musikal Bottlesmoker, agar seimbang dengan pakem-pakem musik tradisi yang sudah ada, Nobie menjawab jika untuk mengaplikasikannya mereka mencoba semampu yang mereka bisa, seperti contohnya pada pola di ritual Bonet, dimana mereka nyanyi bersama secara repetitif, yang tanpa disadari pola-pola itu punya tempo yang konstan meskipun tanpa metronom. Dari sana Bottlesmoker membaca temponya, dan hal itu dijadikan patokan jika temponya tidak boleh lebih dari yang sudah ritual tersebut pakemkan.
Angkuy menuturkan jika dua hal yang menjadi ciri dari musiknya Bottlesmoker itu terletak pada beat, dan synth yang mereka mainkan hingga membentuk mood lagunya itu sendiri. “yang saya ingat ada di salah satu lagu yang judul ritualnya itu ratapan, dimana setiap hari Minggu, ibu-ibu di daerah Sumba itu berdoa atau seperti curhat ke Tuhan lah, tapi lewat nyanyi, dengan tempo yang pelan, dan pembawaan tone-tone nya itu selalu sedih. Hal itu kita tangkap spirit-nya seperti berserah diri atau kesedihan itu tadi. Sampai akhirnya hal tersebut kita aplikasikan dengan tone-tone nada yang mewakili mood kesedihan itu”.
“Terus karena ritual ini sifatnya seperti memohon ampun, kita cari temponya yang memang menangkap mood akan hal tersebut, dan itu tidak mungkin dengan tempo yang cepat, karena kan tempo cepat biasanya lebih ke motivasi, aktraktif, semangat, makanya temponya pelan. Darisana kita juga menemukan formula tempo, seperti contohnya dengan tempo 90, yang bisa membuat aliran darah lancar dan lebih rileks. Hal seperti itu kita pelajari juga dari rumusan-rumusan psikologi musik”, ujar Angkuy.
Hal sebaliknya terjadi di lagu “Bonet Circle” yang sempat dibahas di paragraf awal tadi, dimana lagu itu diambil dari ritual bonet, yang secara tempo dimainkan dengan cepat, berisikan nyanyian-nyanyian yang seperti berbalas pantun, dan jadi seperti 'perang kata'. “bonet itu ritual untuk bersyukur dari hasil panen di daerah NTT. Uniknya, ritual tersebut mengambil beat nya dari bonggol jagung yang dipukul-pukul, dan jadi seperti tribal musik lah bisa dibilang. Auranya seperti perang, jadi kita membuat musiknya juga lebih dinamis, dan tetap mewakili rasa-rasa ritualnya itu sendiri.
Selain itu, ada juga ritual panggayang. Sebuah ritual yang dilakukan saat panen padi tiba, dimana ibu-ibu di daerah Sumba sana itu nyanyi-nyanyi sambil menari, yang kalau kita asumsikan seperti karakter beat-beat elektropop, yang memang dance-able. Jadi kita membuat musiknya juga yang dance-able, agar menangkap mood dari ritualnya itu sendiri, ujar Angkuy.
Nobie menambahkan jika mereka lebih into to the ritualnya, jadi bukan membuat lagu terus ada ritual apa dan ‘menempelkannya’. Mereka mempelajari dulu tujuan ritualnya seperti apa, misalnya saja seperti jentreng, itu mereka cari tahu dulu jentreng ini fungsinya untuk apa, apakah untuk mengunci tempo atau apa. Jadi tidak hanya menempelkan jentreng itu ke dalam lagu yang mereka buat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar