Selasa, 11 Desember 2018

MUSIK TANPA SUARA? APAKAH BISA?

Pada Tahun 1952 seorang komponis musik klasik bernama John Cage membuat sebuah proyek yang fenomenal nan kontroversial, saat dirinya berupaya membuktian tentang adanya konsep dikotomi bunyi dan sunyi. Dia mendekonstruksi konsep bunyi-sunyi, dengan menghadirkan pertunjukkan orkestra diam pada ratusan orang yang menghadiri penampilannya, dimana seluruh pemain instrumen dalam orkestra itu hanya diam tanpa memainkan alat musiknya. Bahkan Cage selaku dirigen juga terdiam dan membisu.

Lewat pertunjukan itu lahirlah sebuah komposisi berjudul ”4:33”, yang kemudian menjadi terkenal karena dianggap jadi sebuah temuan baru di dunia musik. Menurut Cage, kosong, sunyi, tak bersuara, titik nol, netral, tak berpihak, semuanya hanya persepsi. “Jika ada seseorang yang memposisikan dirinya dalam sebuah kekosongan dan kenetralan, itu hanya persepsi mentalnya, yang berusaha menempatkan diri di luar titik-titik biner yang dia persepsikan ada”, ujar Cage.

Hal senada juga pernah diutarakan Ferruccio Busoni dalam buku “Sketch of a New Esthetic of Music”, tahun 1907, jauh sebelum John Cage menyajikan orkestra diam nya tersebut. Busoni menyatakan bahwa dengan perkembangan di berbagai hal, mulai dari esensi seni, referensi, psikologi komposer hingga perkembangan improvisasi, kekosongan atau tidak ada bunyi di musik itu bisa memiliki makna dari musik itu sendiri. Uniknya, hal tersebut rupanya mendorong beberapa musisi seperti Boards of Canada, Coheed and Cambria, Soulfly, John Lennon & Yoko Ono, hingga Soundgarden jadi ikut mendekonstruksi konsep bunyi-sunyi tersebut, dimana menurut mereka kesunyian itu justru mampu menerjemahkan musiknya itu sendiri.

Lagu-lagu seperti “Magic Window”, “A Lot of Nothing”, “91101”, "Two Minutes Silence”, dan “One Minute Of Silence” yang disajikan oleh para musisi di atas, pada akhirnya menorehkan catatan akan eksplorasi musikal yang lebih jauh dari sebuah lagu tanpa lirik, seperti yang datang dari genre musik post-rock atau elektronik seperti Bottlesmoker misalnya. Jika pada lagu-lagu post-rock pemaknaan lagu dibangun dari atmosfir yang lagu itu buat, maka jika merunut pada apa yang John Cage lakukan dalam pertunjukannya, ketiadaan bunyi dari para pemain musik yang terdiam tanpa memainkan alat musiknya itu, nyatanya masih menghadirkan suara-suara yang terdengar disepanjang waktu penampilannya tersebut, seperti suara hela nafas, suara penonton yang terbatuk, suara penonton yang menahan tawa, atau suara detak jantung masing-masing personal yang hadir di pertunjukkan orkestra diam tersebut. Hal itu kemudian diasumsikan Cage sebagai 'isi' dari pertunjukannya, dimana suara-suara itu mampu jadi 'instrumen' dari komposisi yang Cage sajikan. 

Namun jika apa yang Cage buat dengan orkestra diamnya itu masih sulit diterima nalar, seorang penyanyi dan penulis lirik yang cukup diperhitungkan di Indonesia bernama Tulus, mencoba menjawab esensi dari kesunyian tadi lewat video klipnya yang berjudul “Langit Abu-Abu”. Seperti halnya Cage, Tulus juga menghadirkan atmosfir ruangan dalam lagunya. Bedanya, Tulus tidak benar-benar terdiam seperti yang dilakukan oleh Cage, namun dia tampil bernyanyi tanpa iringan musik, dimana suara gema dan kekosongan ruang dalam video klip tersebut menjadi 'instrumen musik' itu sendiri. Hal ini membuat lagunya terasa begitu menyentuh, karena setiap tarikan nafas yang Tulus hembuskan terasa begitu dalam, dengan caranya menyampaikan lagu itu.

Balutan lirik yang lahir dari curahan hatinya tersebut, ketika itu disajikan tanpa iringan musik, membuat kita jauh lebih terfokus, dengan semua yang tertangkap dalam ruangan itu. Sedangkan secara isian lagunya, Tulus seperti sedang menghabiskan semua upaya dia menyuarakan isi hatinya lewat lagu ini, dan cukup bagi Tulus, yang hanya dengan suaranya saja mampu membuat air mata pendengarnya jatuh, andai itu dihadapkan pada cerita yang sama dengan cerita lagu ini. Tidak adanya bunyi instrumen musik dalam video ini menepis kemungkinan yang bisa mengalihkan perhatian, andai itu ditimpali bunyi piano atau gitar misalnya. Ketidakadaan bunyi instrumen musik ini jadi sejalan dengan suara hati yang dinyanyikan oleh Tulus, hingga melahirkan asumsi jika apa yang tidak terdengar sesungguhnya tidak benar-benar terdiam, termasuk suara hati.

Dengan konsep video klip seperti ini, ungkapan yang berbunyi “musik adalah perasaan yang bisa didengarkan” menjadi terasa relevan, yang dengan segala konsepnya mampu membuat kita tersadar jika suara hati jauh lebih terdengar ketika disajikan "telanjang", tanpa olah tata suara instrumen lain dengan bermacam manipulasi suaranya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar