Pernah dengar lirik lagu seperti ini? “....kembalilah wahai sayangku, aku tak kan pernah bisa hidup tanpamu”. Lirik lagu penuh ratapan tersebut sayangnya keluar dari band dengan personil laki-laki, yang konon katanya adalah makhluk yang menuhankan maskulinitas sebagai syarat mutlak, dan super gengsi mengakui kerapuhannya. Hal ini lalu ‘dipanaskan’ oleh band Coklat yang seakan ‘mengejek’ kerapuhan lirik-lirik lagu melankolis tersebut, ketika band ini melejit dengan lagu “Karma” (album Rasa Baru). Lagu tersebut seakan menjadi kebalikan dari penggalan lirik lagu di atas tadi. Kikan (yang saat itu masih menjadi vokalis Coklat) begitu ‘gagah’ saat melantunkan penggalan lirik “....ku ingin kau rasakan pahitnya terbuang sia-sia”. Alih-alih meratapi perasaan sedih karena patah hati, Kikan lebih memilih ‘menyumpahi’ sang mantan kekasih agar mendapat karma.
Penggalan lirik lagu di awal paragraf tadi seakan menjadi ironi tersendiri, ketika mengambil sudut pandang laki-laki yang katanya superior tersebut, namun dipatahkan dengan suguhan lirik bergaya ‘hopeless romantic’, yang memohon dan meratap agar kekasihnya kembali. Seakan mengamini ‘ejekan’ Kikan saat masih bersama Coklat, kota Bandung era tahun 2000 awal pernah melahirkan band yang semua personilnya perempuan bernama Boys Are Toys. Band ini memainkan analogi laki-laki sebagai mainan dengan punchline menarik sekaligus jenaka. Hal itu seakan menjadi sebuah pernyataan yang bisa dibilang kuat, dimana perempuan ditempatkan sebagai subjek, dan laki-laki sebagai objek.
Selain itu, ada juga band She dengan musik yang terbilang lebih ‘manis’ dibanding Boys Are Toys tadi, yang bahkan punya lagu dengan lirik ‘nonjok’ tentang cara perempuan menyikapi laki-laki berkualitas jeblok. Meskipun diolah dengan gaya bahasa yang (maaf) cheesy, tapi pesannya jelas dan straight to the point lewat penggalan lirik “...no no no tunggu dulu, cinta jangan buru-buru, karena kurasa terlalu cepat, kutakut semua palsu”. Lirik tersebut menggambarkan jika perempuan tidak bisa seenaknya diajak kenalan, terus langsung ditodong jadian dan pacaran.
Peran perempuan dalam dunia musik tanah air tidak bisa dihilangkan begitu saja, mengingat negeri ini pernah melahirkan Dara Puspita. Sebuah band dengan personil perempuan, yang memainkan musik rock n roll, bahkan saat musik tersebut dilarang pada era presiden Soekarno. Band ini punya nyali bukan hanya karena mereka perempuan yang bermusik saja, tapi juga pilihan musiknya yang ‘melawan’ aturan sang presiden yang tidak suka dengan musik ‘ngak ngik ngok’ kala itu.
Satu, dua, tiga dekade setelah Dara Puspita lahir untungnya negeri ini masih sanggup melahirkan musisi-musisi perempuan yang cukup ‘menggigit’, seperti halnya band C.U.T.S, dengan dua orang vokalisnya, Ykha & Ita, yang sanggup berteriak dan bernyanyi dengan limpahan energi yang memikat. Atau ada juga band Bananach, Heals dengan bassisnya, Octavia Variana, Lose It All dengan vokalis perempuannya, Phopi Ratna Agustina, sampai yang terbaru mungkin lahir dari trio Daramuda Projek. Grup yang terdiri dari Rara Sekar, Danilla Riyadi, dan Sandrayati Fay ini menjadi antitesis dari kebanyakan grup perempuan lainnya, dan menjadi gambaran sesuai dari analogi ‘anti idol’, dengan pernyataan mereka yang berbunyi “bukan idola remaja”.
Daramuda menjadi layak disimak, bukan hanya karena grup ini berisikan personil perempuan dengan paras cantik saja, tapi cara mereka mencitrakan dirinya yang penuh senda gurau tersebut jadi suguhan berbeda, ketika band atau grup lainnya mati-matian ingin dipuja dengan segala cara lewat citra, gimmick dan wacana yang tidak jarang banal, sampai presentasi yang seolah menggambarkan jika mereka adalah pahlawan musik Indonesia yang harus digemari. Tidak dengan Daramuda. Mereka hanya ingin bercanda dengan nada, yang sialnya sekeras apapun mereka meminta untuk tidak dipuja, namun nyatanya itu menjadi sia-sia, karena siapa yang bisa menolak pesona dari ketiga nya?
Menghubungkan perempuan dan perannya dalam dunia musik tanah air, maka kita akan diingatkan tentang lagu-lagu yang terinspirasi dari perempuan. Setidaknya dalam fase kita belajar kesenian di sekolah, mungkin 7 dari 10 orang di Indonesia akan ingat dengan nada ini ...do re mi fa sol si do, la do’ si la sol... atau lagu Potret dengan hits paling terkenalnya berjudul “Bunda”. Saking berpengaruhnya perempuan dalam kehidupan kita, paling tidak dalam satu tahun negeri ini memperingati dua hari besar yang terinspirasi dari perempuan, yakni hari Kartini dan hari Ibu. Dua-duanya memberikan pernyataan yang kuat tentang emansipasi perempuan, dan peran perempuan sebagai ibu.
Kartini mungkin akan tersenyum senang karena emansipasi yang diperjuangkannya melahirkan musisi-musisi perempuan yang sanggup membuat grup keren seperti Dara Puspita sampai Daramuda. Atau bagaimana akhirnya kekuatan perempuan tadi menginspirasi Melly Goeslaw melahirkan lagu “Bunda”, sebagai bentuk penghargaannya untuk orang yang hanya satu level saja dibawah Tuhan. Lagu "Bunda sendiri hampir bisa dipastikan akan selalu diputar setiap tanggal 22 Desember, bertepatan dengan peringatan hari ibu di Indonesia.
Sedangkan untuk laki-laki yang meratapi kepergian kekasihnya hingga harus memohon agar dia kembali, sebaiknya minggir, karena ada banyak musisi/band perempuan akan tampil membawakan lagu yang lebih punya ‘nyawa’, dibanding nada-nada pesimis dan ratapan dengan gaya vokal memelas seperti dunia akan berakhir itu. Oh iya, jangan lupakan Feirsa Besari, ketika si bung pernah membuat band yang terinspirasi dari patah hatinya bernama Annarima Broke My Heart. Si bung ini pernah begitu emo pada masanya, sebelum akhirnya senang jalan-jalan ke hutan dan berpuisi di linimasa twitter dan instagram. Bung boleh kalau mau minggir dulu, karena Vira Talisa atau Danilla punya sajian lebih ‘nonjok’ dibanding lagu bung yang ber-playing victim di lagu “Juara Kedua”. Karena juara pertamanya memang bukan anda, tapi Danilla, kedua Vira Talisa, dan ketiga Isyana. Bung Juara harapan kedua lebih tepatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar