Ada satu adegan menarik dalam film Bohemian Rhapsody, yakni saat Ray Foster dan Queen berdebat soal formula dalam membuat lagu. Ray menginginkan Queen membuat lagu populer seperti halnya lagu “Killer Queen”, sedangkan Queen sudah tidak mau mengulang lagu dengan formula yang sama, hingga mereka mengusulkan gaya baru dalam pembuatan lagu, lewat perpaduan unsur musik rock dan opera. Ray menolak usulan Queen, sampai akhirnya keputusan itu harus menjadi penyesalannya seumur hidup, karena membuat Ray kehilangan Queen, yang namanya makin melejit usai merilis “Bohemian Rhapsody”. Sebuah lagu yang memadukan musik rock dengan opera itu tadi.
Cuplikan adegan film Bohemian Rhapsody di atas, sedikit banyaknya mewakili gambaran seperti apa industri arus utama itu ‘dimasak’, dengan apa yang Ray Foster sebut ‘formula’. Seberapa sering kita mendengar lagu-lagu dengan tema patah hati? Tema perselingkuhan? Atau mungkin kita masih ingat dengan segala macam tren musik yang pernah ada di Indonesia, dari demam pop melayu hingga ‘korean wave’, yang menjadi rujukan para produser musik membuat ‘formula’ itu tadi.
Untungnya harapan akan musik dengan sajian estetika karya yang baik masih bisa kita dapatkan, dari apa yang banyak orang sebut dengan musik arus pinggir atau sidestream, atau lumrah kita sebut musik ‘indie’ (meskipun ini agak rancu, karena kata indie awalnya merujuk pada sebuah pergerakan distribusi musik secara independen/mandiri, bukan mengarah pada jenis musik-imho). Para musisi atau band yang ada di jalur ini masih punya kesadaran akan pentingnya esensi dan estetika karya yang baik, ketimbang harus mengikuti ‘formula’ itu tadi. Semangatnya mungkin sama dengan apa yang Queen sajikan saat mereka bereksperimen membuat lagu “Bohemian Rhapsody”, dimana kreativitas dan eksplorasi musikal menjadi harga mati yang tidak bisa dikekang lewat aturan-aturan yang melemahkan hal itu.
Hari ini, puluhan tahun sejak “Bohemian Rapshody” menjadi rujukan lagu dengan tingkat kreativitas dan eksplorasi musikal yang baik, publik tanah air dibuat riuh dengan hadirnya RUU Permusikan. Sejak bocoran draft nya muncul ke publik, RUU Permusikan ini dinilai bermasalah, karena beberapa pasalnya dianggap berpotensi mematikan ruang kreativitas para pelaku musik, dengan bahasa birokrasi yang tidak punya tolak ukur yang jelas, hingga melahirkan multipersepsi, dan karenanya hal tersebut dianggap pasal karet, yang ditingkahi pula dengan hukuman pidana bagi yang melanggarnya. Efeknya? Ada sekitar 200 lebih musisi dan para pelaku seni yang menyatakan menolak RUU Permusikan, dimana hal tersebut mendatangkan kekuatan kolektif atas nama Koalisi Nasional. Kolektif ini lantang bersuara menolak RUU Permusikan, salah satunya lewat tagar #TolakRUUPermusikan, yang diunggah oleh 20 ribu lebih pengguna sosial media instagram.
Namun lepas dari perdebatan itu, RUU Permusikan ini diakui atau tidak menjadi ironi tersendiri juga, disaat band-band tanah air menginvasi dunia dengan musiknya, sementara di negerinya sendiri masih berkutat seputaran wacana dengan pemaparan logika yang jauh mundur ke belakang. Riuh dengan hal-hal yang sebenarnya menyoroti sesuatu yang mendasar tentang kebebasan berekspresi. Ini seakan mengingatkan kembali saat Koes Plus (yang kala itu masih memakai nama Koes Bersaudara) melahirkan album To The So Called "The Guilties", yang dibuat berdasarkan pengalaman mereka ketika di penjara. Atau saat Iwan Fals diinterogasi selama 14 hari karena membawakan lagu “Demokrasi Nasi” dan “Mba Tini”. Dua lagu itu dianggap menghina kepala negara, yang saat itu dijabat oleh “The Smiling General”, Soeharto. Jika hal itu terjadi lagi karena RUU Permusikan itu tadi, tentunya menjadi suatu kemunduran berpikir yang cukup jauh, di era pilihan mendengarkan musik sudah dengan satu kali klik melalui gawai pintar masing-masing.
Jika RUU itu disahkan mungkin kita tidak akan mendengar lagi Jason Ranti bernyanyi perihal pak penjahat, yang berjibaku dengan dosa dan keinginannya membersihkan diri agar suci maksimal, atau perihal Lisa yang ingin pulang ke rahim ibunya. Lewat lagu-lagunya, dengan segala kerendahan hati harus saya sampaikan, si Jeje ini sudah menyelamatkan musik folk dari tema-tema serupa senja dan secangkir kopi yang formulaik itu. Tidak menutup kemungkinan keluasan sudut pandang yang Jason Ranti sampaikan dalam lagunya harus terjerat pasal-pasal yang mengebiri jika RUU itu disahkan. Atau coba bayangkan jika semua band bicara tentang cinta dan patah hati, tanpa kritikan dari Efek Rumah Kaca lewat lagu “Cinta Melulu”.
Apakah penulis lagu semisal Addy Gembel harus menyuarakan tentang indahnya dunia, dengan segala yang tertera pada etalase layar kaca? Karena bicara tentang masa kehancuran di era Kaliyuga dinilai terlalu provokatif dan bisa dituding menyebarkan ujaran kebencian. Padahal nyatanya hidup memang sedang tidak baik-baik saja. Atau coba bayangkan jika Seringai sudah tidak bisa bicara perihal individu merdeka dalam lagunya. Mungkin pemandangan kepalan tangan di udara hanya akan menjadi angan-angan saja, karena RUU Permusikan menghendaki Seringai bicara soal program pemerintah tentang keluarga berencana misalnya. Lalu Arian di atas panggung berteriak “dua anak cukup...dua anak cukup. Yeaaah” . Tentu selain konyol, itu tidak akan relevan bagi Arian, yang belum memutuskan untuk berkeluarga, apalagi punya anak (i’m just saying. Peace. Hehe).
Apakah kita cukup nyaman dijejali musik yang sama? Dengan sudut pandang sempit karena memakai formula yang itu-itu saja. Kalau mas Anang yes, aku sih no. Benar musik itu harus bisa membuat pendengarnya lebih baik, tapi tak begini..... karena jodohku maunya ku mendengarkan musik dengan isian yang asik. Karena sik sik musik aku suka musik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar