Selain menjadi tonggak baru perfilman Indonesia pasca hiatus lama, film “Petualangan Sherina” dan “Ada Apa Dengan Cinta”, yang rilis sekitar tahun 2000an awal juga melahirkan kembali soundtrack film yang tidak hanya bagus secara estetika karyanya saja, tapi juga melekat dalam ingatan. Ada Elfa Secioria dengan kemegahan musiknya di film “Petualangan Sherina”, serta duet suami istri, Melly Goeslaw dan Anto Hoed di film “Ada Apa Dengan Cinta”. Para musisi tersebut seakan menjadi generasi baru sejak Eros Djarot pernah begitu mencuri perhatian dengan gubahan lagu yang dia buat untuk soundtrack film “Badai Pasti Berlalu” pada tahun 1977, lengkap dengan nama-nama musisi ‘berbahaya’ lainnya seperti Chrisye dan Yockie Soerjoprajogo.
Selain Elfa Secioria dan duet suami istri, Melly Goeslaw & Anto Hoed yang merajai hampir semua soundtrack film di tanah air saat itu, ada nama-nama musisi lainnya (atau dalam hal ini dikerucutkan lagi kepada musisi-musisi ‘indie’) yang juga merambah ke ranah perfilman, seperti Zeke Khaseli, Bemby Gusti, dan Mondo Gascaro. Tiga orang musisi tersebut dikenal juga sebagai personil sebuah band ‘indie’ di tanah air, dari mulai band LAIN, Zeke and The Popo, hingga Sore. Ketiganya tidak hanya piawai membuat lagu dalam format band saja, tapi juga mampu menjadi seorang penata musik untuk film, yang turut menentukan nuansa dan mood film tersebut.
Zeke Khaseli
Seperti halnya dua band Zeke, LAIN dan Zeke and The Popo yang terbilang ‘ajaib’, Zeke Khaseli adalah musisi yang juga identik dengan film-film ‘ajaib’, dengan isian cerita yang multitafsir. Olah tata musik yang dia buat kebanyakan berbentuk instrumental, tanpa isian lagu yang gamblang bercerita tentang sesuatu. Misalnya saja dalam film “Fiksi”. Musik dalam film tersebut terbilang menggantung, dan seperti berisikan tingkah iseng Zeke bermain-main dengan cello, biola, serta piano, yang seperti dimainkan secara random, tanpa struktur yang 'gamblang' secara komposisi musiknya. Namun, hal itu malah bisa menangkap apa yang ingin disampaikan film tersebut, dan isian musik yang Zeke buat bisa menguatkan karakter utama dalam film itu (seorang pemain cello psikopat, yang kerap membunuh tetangga-tetangganya di sebuah rumah susun).
Film yang dimainkan oleh Ladya Cheryl sebagai tokoh utamanya ini, berhasil membawa Zeke Khaseli mendapatkan penghargaan dari Festival Film Indonesia tahun 2008, untuk kategori Penata Musik Terbaik. Lima tahun setelahnya, Zeke bersama Yudhi Arfani mendapatkan penghargaan untuk kategori yang sama di Asia Pacific Film Festival (APFF) Awards, lewat film “What They Don’t Talk About When They Talk About Love”, karya sutradara yang juga ‘membidani’ film “Fiksi”, Mouly Surya.
Selain itu, pada tahun 2016 Zeke dan Yudhi Arfani kembali mendapat apresiasi dengan masuk sebagai nominator di ajang Festival Film Indonesia tahun 2016, untuk kategori penata musik terbaik, lewat film “Nay”, karya sutradara Djenar Maesa Ayu. Hingga akhirnya Zeke dan Yudhi Arfani kembali mendapatkan piala citra di ajang Festival Film Indonesia tahun 2018, untuk film “Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak”, yang juga merupakan karya sutradara Mouly Surya.
Bemby Gusti
Jika Zeke dikenal sebagai musisi yang identik dengan film-film ‘ajaib’ layaknya sebuah film Art House, maka musisi yang juga drummer dari band Sore, Bemby Gusti, dikenal berkat karakter musik vintage yang kadung melekat dengannya sejak dia berkarir bersama bandnya. Selain bertanggung jawab pada bangunan ritmis lagu-lagu Sore, nyatanya Bemby juga mampu menghidupkan visual sebuah film lewat musiknya.
Menariknya, film-film yang melibatkan Bemby sebagai penata musiknya, rata-rata bergenre horor, seperti misalnya film “Pengabdi Setan”, karya Joko Anwar, yang membawa Bemby beserta kedua rekannya, Aghi Narottama dan Tony Merle, mendapatkan piala citra di ajang Festival Film Indonesia 2017, untuk kategori penata musik terbaik. Satu tahun setelahnya, Bemby kembali menjadi nominator untuk kategori yang sama, lewat film “Kafir : Bersekutu Dengan Setan”, karya sutradara Azhar Kinoi Lubis.
Catatan khusus untuk film “Pengabdi Setan”. Di film itu Bemby membuat sampling beberapa bunyi yang masuk ke dalam kategori psychoacoustic, dimana hal tersebut dapat menyulut ketidaknyamanan penonton, mulai dari nada rendah piano, suara deritan pintu besi berat, alat musik gesek yang dimainkan tak bernada, hingga percakapan manusia. Instrumen tersebut jika dimainkan akan mengeluarkan suara yang dapat menarik secara paksa kondisi psikologis penonton untuk keluar dari zona nyaman dan tenggelam dalam ketakutan.
Selain itu, pada proses kreatif penataan musiknya Bemby juga menambahkan satu layer berisi infrasound, berupa gelombang suara berfrekuensi rendah di bawah 20 hertz, yang tidak bisa terdengar oleh manusia, namun bisa terasa seperti getaran rendah (humming), dan dapat ditangkap alam bawah sadar manusia. Infrasound ini sering dipakai untuk eksperimen tentang human fear & anxiety. Menariknya, semua hal tersebut dikemas dengan style musik ala horor 1980-an, sesuai arahan sang sutradara, Joko Anwar.
Mondo Gascaro
Mantan rekan Bemby di band Sore, Mondo Gascaro, menjadi musisi berikutnya yang juga berkarir menjadi penata musik dalam sebuah film. Dengan musikalitasnya yang mumpuni, Mondo aktif membuat scoring musik untuk beberapa film di tanah air, seperti “Berbagi Suami” (2006), “Quickie Express” (2007), “Pintu Terlarang” (2008), “Arisan 2” (2011), “Hello Goodbye” (2012), hingga yang terbaru, dan akan tayang tahun 2019 ini, karya sang maestro film, Garin Nugroho berjudul “Kucumbu Tubuh Indahku” (Memories Of My Body).
Mungkin diantara Zeke dan Bemby, Mondo menjadi musisi yang terbilang paling banyak menggarap musik untuk film, hingga hal tersebut terbawa pada saat proses kreatif dia membuat album Rajakelana. Diakui olehnya jika dalam album tersebut dia ingin menghadirkan apa yang disebut dengan ‘absolute music’, atau menurut yang diistilahkan oleh Mondo dengan kalimat “musik yang lebih sinematik”. Karena alasan itulah akhirnya dia memasukan dua buah lagu instrumental dalam album tersebut. Hasilnya tidak sia-sia, karena Rajakelana diganjar sebagai album terbaik tahun 2016 versi majalah Tempo.
Dalam sebuah wawancara yang dilakukan DCDC bersama Mondo Gascaro beberapa waktu lalu, Mondo menuturkan tentang proses dia membuat musik untuk film. Menurutnya, ada kebiasaan-kebiasaan dalam film yang secara prosedurnya melewati beberapa tahapan seperti baca skrip, syuting, lalu berlanjut pada tahapan editing, sampai akhirnya dia mendapat picture lock yang sudah tidak berubah, dan dari situ dia mulai bisa bekerja.
Sedangkan untuk karakter musiknya sendiri menurutnya tergantung dari filmnya, dan sebagai penata musik dia harus bisa mengikuti pesan filmnya. Selain itu, ditambahkan juga olehnya jika kesulitan menata musik untuk film justru bukan masalah genre atau style musik itu lagi, tapi lebih kepada masalah-masalah dalam film itu sendiri, yang memang mesti terpecahkan. Seperti misalnya film komedi yang digabungkan dengan drama. Dalam penataannya perlu ada pertimbangan-pertimbangan yang cukup problematis, dimana dia sebagai penata musik harus bisa mengkombinasikannya, karena nantinya akan berpengaruh pada nuansa dan mood film tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar