Sabtu, 16 Maret 2019

YANG HARUS KITA PAHAMI DARI BARASUARA

Barasuara menjadi perbincangan kembali, usai mereka merilis album terbarunya, Pikiran dan Perjalanan. Lazimnya perilisan album musik yang baru dirilis, beberapa media memberitakannya, dan beberapa diantaranya mengulas isi album tersebut. Selayaknya sebuah ulasan yang dimaknai subjektivitas penulisnya, hal itu ternyata malah menjadi polemik ketika poin-poin yang menjadi kritikannya dianggap hanya mengejar klik saja (setidaknya menurut penuturan beberapa orang yang beradu argumen di twitter)

Ada kesan (mengutip dari akun twitter @torantula) it's cool to hate Barasuara, hingga hal itu jadi extra hipster points bagi beberapa orang. Ketika tahun-tahun sebelumnya, orang-orang justru berlomba-lomba memuji Barasuara, bahkan sampai ada istilah ‘polisi skena’, saat sang ‘polisi’ seperti mengharamkan penonton untuk mematung, tanpa ikut berjingkrak, atau terkesan tidak mengapresiasi saat Barasuara tampil dengan semua limpahan energinya di atas panggung, yang memang aktraktif.

Pencapaian artistik Barasuara dalam album Taifun mungkin sedikit mengingatkan pada Koil saat mereka merilis album Megaloblast. Bukan perkara kesamaan warna musiknya, tapi tentang cara mereka melewati zamannya, atau dalam istilah sederhananya, terlalu canggih pada eranya. Hal tersebut menjadi pujian sekaligus kutukan, karena baik Barasuara atau pun Koil, keduanya seperti kesulitan melewati pencapaian albumnya tersebut, baik secara artistik atau pun pencapaian secara komersil. Koil bahkan tidak merilis album baru selama sepuluh tahun lebih, usai merilis Blacklight Shines On. Dan malah merilis ulang album Megaloblast dalam format vinyl. Terkesan seperti susah move on, karena Otong cs ini seperti kesulitan melampaui pencapaian yang dibuat oleh Megaloblast.

Beberapa poin yang menjadi perdebatan tentang ulasan album Barasuara tersebut, diantaranya menyoroti soal formula, yang menurut sang penulis, masih sama dengan apa yang dipakai Barasuara di album Taifun. Hal tersebut kemudian memancing pertanyaan tentang apakah itu adalah sebuah konsistensi atau stagnasi? Sebuah pertanyaan yang juga diarahkan untuk Seringai, lewat album terbarunya Seperti Api.

Seperti halnya Barasuara, Seringai juga mendapat tanggapan yang lebih kurang sama, perihal formula yang mereka pakai dalam album barunya. Beberapa orang berpendapat jika apa yang Seringai sajikan dalam album Seperti Api, adalah sesuatu yang sebenarnya sudah pernah mereka suguhkan dalam album-album terdahulunya (High Octane Rock, Serigala Militia, Taring-red). Entah itu dari cara Arian menulis lirik, atau pun cara Ricky meramu riff-riff gitarnya. Tapi toh nyatanya kritikan perihal formula tersebut, tidak berpengaruh besar, selama masih banyak para Serigala Militia mengepalkan tangan ke udara menyanyikan bait lirik lagu “Mengadili Persepsi” (Bermain Tuhan), yang anthemic itu, “Individu, individu merdeka”. Begitu kuat dan membakar, untuk ukuran band rock tanah air, dengan semua kejelian mereka menyuguhkan branding yang keren tentang bandnya.

Kembali ke Barasuara. Iga Masardi, salah satu personil Barasuara yang menjadi central point, dan bertanggung jawab mengarahkan musik Barasuara, menjadi disoroti banyak orang. Untungnya ini bukan yang pertama bagi Iga. Di band terdahulunya, The Trees and The Wild, pun mendapati kritikan yang tidak kalah panas di telinga, ketika mereka (atau dalam hal ini mengarah pada sang vokalis, Remedy Waloni) dianggap terlalu mirip dengan John Mayer, dari segi karakter vokalnya. Padahal secara musik jauh berbeda. Karena kemiripan itu, eksplorasi musikal yang dilakukan oleh The Trees and The Wild seakan tidak punya pengaruh cukup signifikan, karena banyak yang salah fokus pada kemiripan dengan John Mayer tadi.

Pembahasan tentang Barasuara sebagai sebuah band alternative/indie-rock di tanah air, mungkin akan berhadapan dengan satu-satunya saingan terkuat band ini (dan pernah satu panggung untuk berkolaborasi bareng), yakni Efek Rumah Kaca. Berbeda dengan Barasuara yang langsung ‘ngegas’ dari awal mereka muncul, Efek Rumah Kaca mengawali pijakannya di panggung musik tanah air dengan konsep trio pop minimalis, sebelum pada akhirnya band ini kerap tampil rombongan, dengan isian musik yang lebih beragam dan kompleks di album Sinestesia.

Dari segi musik, baik Barasuara maupun Efek Rumah Kaca adalah band dengan personil berkemampuan musik yang mumpuni. Namun ada satu hal yang dengan segala kerendahan hati saya tuliskan, Efek Rumah Kaca lebih unggul dalam penulisan liriknya. Jika Barasuara seperti sedang bermain-main dengan diksi-diksi menarik, yang sayangnya, tidak semuanya tepat sasaran atau terasa relate dengan pendengar, Efek Rumah Kaca mampu menyajikan diksi-diksi keseharian seperti kata ‘diabetes’ atau ‘tahlilan’, yang jika dipikirkan lagi rasanya tidak akan cocok dimasukan dalam sebuah lagu, namun nyatanya punya kekuatan besar yang mengikat antara Efek Rumah Kaca dan pendengarnya.

Lirik-lirik lagu Efek Rumah Kaca terasa sangat kuat dan menggetarkan, dibanding misalnya, maaf, lirik “Bahasamu bahas bahasanya. Lihat kau bicara dengan siapa” (diambil dari lagu “Bahas Bahasa”, album Taifun), yang meski secara pemilihan kata terbilang menarik, namun sayangnya tidak ada kedekatan dengan pendengar, karena Barasuara terkesan asik sendiri saat melantunkan lagu tersebut. Dan hal tersebut juga nampaknya masih dilakukan mereka di album terbarunya, Pikiran dan Perjalanan.

Yang harus kita pahami dari band-band seperti Barasuara adalah tentang sebuah pertunjukan musikal yang baik yang dimiliki para personilnya. Tidak ada yang meragukan kemampuan bermusik Iga Masardi, TJ Kusuma, Gerald Situmorang, Marco Steffiano, Asteriska, dan Puti Chitara. Mereka akan selalu menjadi band yang terkonsep dan jeli menangkap detail yang menguatkan konsep tersebut.

Untuk yang tidak bisa menangkap konsep yang ditawarkan Barasuara, mungkin akan menganggap band ini jadi sebuah angin lalu saja. Tapi untuk yang bisa menangkap konsep tersebut, akan menganggap jika Barasuara adalah sebuah band yang mampu membuat dunianya sendiri, layaknya Tolkien atau J.K Rowling misalnya. Pertanyaannya, apakah kita mau masuk ke dunia itu atau tidak? Yang jelas, Barasuara sudah memberi kita petunjuk lewat Pikiran dan Perjalanan. Sejauh apa pikiran kita mampu menciptakan perjalanan alam bawah sadar lewat lagu-lagu dari Barasuara? Sejauh itu pula lah kita akan menemukan dunia yang dibangun oleh Barasuara tersebut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar