Kamis, 27 Juni 2019

BERTEMU 'IDOLA' PART 1


Ada cukup banyak momen sebenarnya yang ingin saya tuliskan, tapi berhubung kerjaan selalu saja jadi prioritas utama, jadi niat buat nulis hal-hal yang hanya penting menurut saya (benar-benar penting hanya menurut saya), tidak saya tuliskan di blog. Tengah malam, dari yang biasanya nulis buat kerjaan, nyolong waktu buat nulis ini. Tujuannya? Tidak ada. Tidak setiap pekerjaan ada tujuan, dan begitu pun dengan apa yang saya kerjakan. 

Salah satu yang menarik yang terjadi di hidup saya beberapa waktu belakangan adalah bertemu dengan beberapa ‘idola’. Kenapa pakai tanda kutip, karena idola disini adalah gambaran idola yang tidak seperti idola yang sering orang citrakan. Para ‘idola’ ini hanyalah manusia biasa, yang kebetulan punya satu hal yang relate dengan saya.

Harlan Boer. Sebelumnya saya tidak pernah tahu dia siapa, sampai akhirnya suatu hari inbox facebook saya memberikan informasi ada yang mengirimkan saya pesan. Harlan Boer nama orang itu. Sebabnya satu. Dia baca tulisan saya tentang MTV Indonesia, dan tertarik untuk mengajak saya menulis di majalah yang dia buat dengan temannya, Anggun Priambodo, bernama Majalah Cobra. Harlan Boer, Anggun Priambodo, dan Majalah Cobra adalah satu hal yang bisa kamu gambarkan tentang sesuatu yang mentah, innocent, namun punya segudang ide segar yang menarik untuk diikuti. 

Saya tertarik menerima tawaran Harlan Boer (selanjutnya ditulis Bin. Biasa dia disapa-red) untuk menulis di Majalah Cobra. Namun sebelum tulisan saya dimuat di Majalah Cobra bang Bin ngasih PR buat nulis soal resensi album The Beatles berjudul Rubber Soul. Saya tulis. Sayangnya resensi itu terlalu cemen, dan tulisan saya gagal masuk ke redaksi Majalah Cobra. Tapi dari sana saya penasaran tentang siapa itu Harlan Boer. Ternyata dia bukan orang sembarangan. Dia adalah orang dibalik C’Mon Lennon. Sebuah band dengan lagu-lagu berlirik brilian serta musik yang susah ketebak. Typical band yang kemungkinan tidak akan disukai oleh anak-anak musik ‘sekolahan’. Sebaliknya, saya suka sekali. Dari sana Bin dapat satu point dari saya.

Selain itu Bin juga adalah orang yang berjasa melahirkan band Efek Rumah Kaca. Bahkan nama Efek Rumah Kaca pun dia yang menyarankan memakai nama itu, dari yang tadinya bernama Superego. Saya suka Efek Rumah Kaca. Siapa yang tidak suka Efek Rumah Kaca? Sebuah band terbaik yang sanggup merangkum ‘Indonesia Hari Ini’ lewat lagu-lagunya. Dari sana Bin dapat point lagi dari saya.

Tapi lepas dari C’mon Lennon yang udah bubar, dan Bin yang tidak lagi berada dibalik band Efek Rumah Kaca, nilai lebih dari dia adalah tentang caranya menulis. Cara dia menemukan sudut pandang/angle dengan pilihan kata-kata yang menarik (mungkin cenderung kikuk, dengan diksi-diksi yang bertabrakan. Tapi anehnya saya suka), berhasil relate dengan saya, yang waktu itu lagi seneng-senengnya nulis dan banyak baca artikel (khususnya musik).

Beberapa tipe penulis musik yang saya amati waktu itu adalah tipe akademisi, yang menulis musik dengan sangat banyak referensi (bagus sebenarnya), namun kering dan tidak imajinatif. Kurang bisa membawa pembaca untuk bisa relate dan larut dengan apa yang dia tulis. Namun ada juga yang punya kelenturan menulis dengan daya imajinatif namun kering tentang referensi. Bin bisa berada di dua sisi itu, lentur menulis dengan referensi yang mumpuni.

Jadi mulai lah sejak itu Bin jadi ‘idola’ saya. Apalagi ketika Bin membuat lagu sendiri untuk proyek solonya, membuat beberapa mini album hingga album, dengan balutan musik yang sebenarnya -jujur- tidak terlalu istimewa, namun seperti biasa, selalu bisa dimaafkan dengan penulisan liriknya yang selalu tidak pernah punya pakem. Cara Bin menulis seperti pengemudi motor matik yang dikendarai ibu-ibu, yang tidak ada satu pun yang bisa menebak akan berbelok kemana.

Pertemuan pertama saya dengan Bin terjadi sekitar tahun 2015, saat Efek Rumah Kaca menggelar konser “Pasar Bisa Diciptakan” di Bandung. Pertemuannya tidak sengaja, saat kita sama-sama sedang di mesjid hendak melaksanakan shalat Ashar. Tentu saja tidak ngobrol. Selain karena itu di mesjid yang notabene nya bukan tempat buat ngobrol, nyali saya belum cukup mumpuni untuk sekedar menyapa Bin saat sedang memakai sepatu di pelataran mesjid tersebut.

Pertemuan kedua saya dengan Bin terjadi di studio GTV beberapa waktu lalu, dan untuk pertama kalinya saya ngobrol dengan dia. Memberanikan diri saya menyapa Bin. Bukan sok akrab, tapi kantor menyuruh saya ke GTV bukan semata-mata untuk berwisata atau jadi penonton bayaran di tempatnya pak Hari Tanoe ini, tapi karena tuntutan pekerjaan yang mengharuskan saya untuk membantu tim video mengarahkan kendali wawancara, sebagai kebutuhan dari artikel untuk website tempat saya bekerja. Bin menjadi bintang tamunya hari itu.

Awalnya saya mencoba menyegarkan ingatan Bin tentang arikel yang saya tulis untuk majalah Cobra. Bin lupa. Wajar. Namun lama kelamaan akhirnya dia ingat, dan obrolan selanjutnya cukup mengalir, meski tidak sekali dua kali saya bertingkah kikuk. Mengidap kecemasan berlebih selalu saya keluhkan di dalam hati, karena ketakutan akan kesan yang orang lain tangkap tentang sikap saya selama ngobrol. Satu hal yang cukup berkesan buat saya adalah ketika Bin masih menyempatkan untuk sekedar berbasi-basi dengan saya, dan menawarkan diri untuk juga menulis di website tempat saya bekerja. Saya mengiyakan itu, dan sampai sekarang Bin beberapa kali menulis artikel di webiste tempat saya bekerja.

Seperti biasa, tulisannya unik dengan segudang referensi menarik darinya. Ketertarikan saya dengan gaya tulisan Bin masih menyala, dan suatu saat saya punya karya, entah itu buku atau album musik, saya harap Bin bisa ikut jadi bagian dari itu. Setidaknya hal itu udah saya utarakan, dan Bin menyanggupi dengan bilang ok.  Oh iya, foto ini jadi satu hal yang menandai jika saya dan Bin pernah satu frame bareng. Niat hati ingin foto bareng, segera saya urungkan, dan cukup bagi saya dengan foto ini yang diunggah sendiri oleh Bin di akun instagramnya.

"bang ntar liatnya ke kamera ya, anggap aja itu saya"
"haloo wenky", ujar Harlan Boer. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar