Rabu, 05 Juni 2019

MALAM LEBARAN DI BANJARAN

Pukul tiga dini hari saya menulis ini, di rumah kontrakan yang saya tinggali bersama istri dan anak saya, yang lagi lucu-lucunya. Menulis menjadi kewajiban sekaligus hiburan untuk saya. Satu jam sebelumnya saya sedang berjibaku menyelesaikan artikel untuk website dimana saya bekerja. Satu jam setelahnya, saya menulis ini, karena ada yang harus saya tuangkan dalam bentuk tulisan, yang rencananya akan saya unggah di blog saya yang sepi. Bagus. Karena jika ramai, akan jadi polemik. Saya tidak suka berpolemik, berdebat, atau beradu argumen. Melelahkan. Mengherankan ketika banyak orang beradu argumen menyuarakan kebenaran yang dia yakini. 

Kebenaran versi dia tentunya bukan kebenaran yang mutlak, karena memang tidak ada yang mutlak selama itu keluar dari pikiran dan mulut manusia. Keterbatasan pengetahuan dan kemampuan nalar yang terbatas tidak akan sanggup menerjemahkan apa yang Tuhan ingin sampaikan. Mungkin hanya dengan kerendahan hati yang sangat besar yang bisa menangkap maksud dari yang ingin disampaikan oleh Tuhan. Itu pun hanya sedikit. 

Lepas dari itu, malam lebaran menjadi berbeda ketika saya dihadapkan pada serangkaian tanggung jawab, mengingat saya sekarang adalah seorang suami, ayah, dan juga karyawan sebuah perusahaan. Dulu, lebaran begitu menyenangkan karena saya tidak dibebani tanggung jawab seperti sekarang. Menikmati hidangan di hari terakhir bulan ramadhan bersama keluarga besar, ketika nenek saya masih ada. Rasanya segala hal yang membuat saya tersenyum tertinggal di tahun 90an, ketika kehangatan keluarga masih begitu terasa. Tidak seperti sekarang. Satu persatu pergi. Nenek dan Ayah saya, dua orang yang paling dekat di hidup saya harus pergi lebih dulu. Adik-adik saya, masih ada, tapi jiwanya pergi. Menjadi pribadi-pribadi penyendiri yang punya dunianya sendiri di kamar masing-masing. 

Satu-satunya manusia yang masih ‘hidup’ adalah ibu. Jiwa dan raganya masih bisa saya rasakan kehangatannya. Satu-satunya yang membuat lebaran masih memilik arti buat saya adalah karena ibu. Hampir sepuluh tahun melewati lebaran tanpa ayah, memaksa kami harus terbiasa dengan keadaan itu. Namun tahun ini saya beruntung, karena keluarga kami kedatangan satu orang anggota baru. Anak saya. Nabhan Ammar Gafi Wiradiputra. Lebaran ini dia menginjak usia sepuluh bulan. Sedang belajar berjalan, dan sedang hobi ngoceh.

Lebaran tahun ini dan seterusnya akan menjadi milik anak saya dan sepupu-sepupunya. Seperti halnya saya dulu, yang selalu senang ketika berkumpul dengan sepupu-sepupu saya. Hingga akhirnya mereka larut dalam kehidupannya masing-masing, yang bahkan sudah lupa bagaimana cara berinteraksi dengan keluarga selain dari membahas pekerjaan dan karir. Padahal dulu kami begitu fasih bicara soal Dragon Ball, atau pun band-band yang kami sukai saat itu. 

Lebaran menurut versi saya 20 tahun lalu mungkin adalah sebuah momen perayaan, seperti halnya Liverpool yang merayakan kemenangannya di liga champions tahun ini. Melaksanakan Shalat Ied di lapangan yang sangat besar dengan takbir yang bergema, bergantian dengan petasan di sepanjang perjalanan dari rumah menuju lapangan. Setiap tahunnya kemegahan itu makin berkurang, dan bahkan tahun ini, ketika dulu jam-jam segini saya masih tidur lelap, hari ini saya masih berkutat dengan urusan pekerjaan di malam lebaran. 

Ramadhan tahun ini rasanya saya terlalu banyak bekerja hingga lupa esensi dari ramadhan itu sendiri. Dulu, karena ada pesantren kilat, suasana ramadhan begitu terasa, apalagi ditambah libur sekolah satu bulan ketika Gus Dur jadi presiden. Berburu tanda tangan ustad usai ceramah pas tarawih, atau ikut pengajian saat subuh, dan bermain petasan setelahnya. Tahun ini rasanya semua hal bermuara pada uang dan ketakutan-ketakutan lainnya yang bersifat materi. Takut tidak dapat THR, takut tidak bisa beli baju lebaran, atau pun ketakutan lainnya yang dulu tidak saya rasakan. Karena orang tua saya yang menjamin semuanya. Keadaan berganti, giliran saya yang harus menjamin istri dan anak saya.

Saya mungkin satu dari sekian juta orang di Indonesia, yang kadung terdoktrin tradisi dan budaya yang sebenarnya jauh dari esensi hari raya lebaran itu sendiri. Selang beberapa menit sebelum saya menulis ini ada artikel yang menuliskan tentang sejumlah karyawan pabrik yang berdemo karena hanya mendapat THR berupa satu toples kue. Mereka melempar toples-toples kue itu sebagai bentuk dari protes mereka kepada perusahaan. Begitu barbar dan makin menegaskan jika negara ini makin menjauh dari apa itu adab, yang padahal kita baca di buku PPKN zaman sekolah dulu. Mengaku berpenduduk mayoritas muslim, tapi tidak mencerminkan jati diri seorang muslim yang damai. 

Menyia-nyiakan kebesaran tuhan saat bertakbir atas nama politik. Padahal politik jelas-jelas urusan duniawi. Berani benar membawa nama tuhan untuk urusan remeh temeh semisal membela capres yang gagal berkali-kali menjadi orang nomor satu di negeri ini. Benar-benar ngga nyambung. Apalagi dikaitkan atas nama umat islam. Padahal Islam adalah jalan menuju rumah yang dindingnya dipenuhi dengan kedamaian dan adab kepada sesama. Bukan jalan menuju istana negara. 

Selama masih ada orang-orang yang sibuk dengan urusan remeh temeh macam itu, rasanya selama itu pula lebaran tidak akan menemukan bentuk aslinya. Semoga saja lebaran tahun depan kita tidak menemukan hal barbar seperti itu lagi. Allah sudah sangat baik memberikan akal dan hati untuk kita (hambanya). Sayang kalau tidak dipakai.

Selamat berlebaran. Salam sayang saya untuk semua makhluk di bumi.
Give peace a chance. I love u. 

Banjaran, 5 Juni 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar