Selasa, 16 Februari 2021

SETAHUN BELAKANGAN

Setahun belakangan setiap kali mau nulis harus dihadapkan pada sebuah kenyataan layar laptop rusak. Perlu waktu sangat lama sampai layar kembali normal. Itu bisa jadi masalah ketika saya dihadapkan pada deadline pekerjaan yang mengharuskan saya bekerja tepat waktu. Kerja itu ga enak karena bikin tidur juga ga enak. Ga enak karena setiap mau tidur pun mikirin kerjaan. Kalau sampai kebawa mimpi berarti fix hidup udah 90 persen dikuasai perusahaan.

Bekerja berarti keluar tenaga ekstra. Bukan perkara waktu yang disita saja, tapi buat orang yang mengalami social awkward seperti saya ngobrol sama seseorang saja bisa menguras energi yang sangat banyak, apalagi ketika tergabung dengan sebuah perusahaan yang berisikan banyak orang. Tidak gampang. Sebisa mungkin saya berlatih untuk bisa diterima di lingkungan, dan selalu tak semudah itu. Ada saja obrolan dan tindak tanduk saya yang membuat orang berpikir saya tidak becus dalam bekerja. Padahal untuk urusan menulis tentu saja saya bisa, karena kemampuan itu sudah saya asah sejak duduk di bangku sekolah dasar. Pengalaman nulis di berbagai media juga membantu meningkatkan kemampuan saya. Namun ada hal lain di luar kemampuan menulis saya yang membuat menulis menjadi beban, meski itu sebenarnya gampang.

Kadang saya harus menuliskan apa yang saya tidak suka, padahal sebelumnya, di blog ini saya menulis semua hal yang saya suka. Semua yang saya tulis disini semuanya yang saya suka, dari mulai musik, film, atau apapun lah. Tapi namanya juga kerjaan, selalu berbanding lurus dengan kompromi. Saya berkompromi dengan perusahaan, dengan pasangan, dengan teman, dan dengan banyak hal, sampai saya berpikir dimana saya bisa menemukan diri saya yang apa adanya. Setiap hari harus menjadi orang palsu demi menyenangkan banyak orang. Sebisa mungkin tidak berkata dan berbuat yang menyakiti orang. Padahal ingin sekali berkata “naon atuh anjing” sama orang-orang sombong yang sok tahu tentang banyak hal.

Cape berhadapan dengan orang seperti itu, di mana setiap harinya kerap memaksakan pandangan dan pengetahuannya dengan nalar yang saya punya. Bukannya tidak berani membantah, tapi hukuman diasingkan dari pergaulan andai saya ingin stand out dengan yang saya percaya kerap jadi momok menyeramkan. Padahal katanya lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan. Gitu kata Soe Hok Gie. Sayang saya belum bisa sekeren dia. Seringnya saya menyerah dan memilih menjadi munafik demi bisa bertahan dan tidak diasingkan. Dulu saya pernah stand out dengan yang saya percaya, tapi kemudian diasingkan dan dihadapkan pada serangkaian momen yang menyebalkan. Mau bagaimana lagi, rasanya tidak ada orang yang bener bener bisa menerima saya apa adanya.

Kadang saya berpikir. Bukan kadang sih, tapi sering. Saya sering berpikir kalo satu-satunya manusia yang tidak terindikasi bisa menyakiti hati saya itu cuma ibu saya saja. Selebihnya berpotensi menyakiti hati saya, walaupun saya sudah menjadi orang yang kompromis, bahkan menjadi palsu hanya untuk menyenangkan banyak orang. Kadang jadi orang yang selalu berusaha baik sama orang lain akhirnya berujung dimanfaatkan atau dipandang rendah sama orang. Saya ga masalah sih dipandang rendah sama orang. Tinggi rendah seseorang kan katanya dinilai sama Tuhan. Tapi yang mengganggu pikiran saya itu kenapa seberapa kerasnya kita berbuat baik sama orang, hal tersebut tidak selalu berbanding lurus dengan perlakuan orang ke kita. Njjir siga sinetron wae anu pemeran utamana sering ter-suck-kiti (meong kali ah kiti) wkwk. Tapi da emang kita ga bisa ngontrol perlakuan orang lain ke kita sih nya. Nya geus lah tarimakeun weh.

Ada teman saya yang tumbuh dengan kemarahan karena masa lalu yang dialaminya. Jika pada akhirnya dia selalu memandang orang lain seperti musuh mungkin hal itu berhubungan erat dengan masa lalunya. Menjadi defensif dan beranggapan orang orang itu pianjingeun semua. Ga bisa disalahin juga kenapa dia begitu, dan akhirnya jadi ngga apple to apple dengan perangai saya yang jauh dari itu. Saya tidak tumbuh dengan kemarahan, dan bahkan sebaliknya, saya tumbuh dengan kelembutan seorang ibu terbaik di dunia. Saking lembutnya, 30 tahun lebih saya hidup saya ga pernah melihat ibu saya marah. Jadi ketika dihadapkan pada dunia yang berisikan orang orang pemarah, hal itu jadi sesuatu yang sangat asing bagi saya. Saya tidak menemukan alasan untuk marah. Mungkin saking malas nya, seperti kata grup musik Semakbelukar yang malas marah karena berpikir itu sebuah anugerah. “rasa malas adalah anugerah untuk kita yang berpikir. Maka bermalaslah untuk lakukan hal yang rusak dan merusak”. Hal yang rusak dan merusak disini saya pikir erat kaitannya dengan rasa marah. Maka karena saya malas dan karena saya berpikir, saya memutuskan untuk malas marah.

Ini mulai ga jelas arah tulisannya kemana hahaha. Mungkin itu ya, karena saya tumbuh dengan cinta yang sangat besar dari ibu saya, pas gedenya jadi lumayan baperan, dan buat ukuran laki laki mah terlalu halus perasaannya teh ahahaha apeu. Biasa lah seniman wkwkwk. Ada sih seniman yang ngga baperan. Iya tapi karyanya pasti jelek. Ada sebuah lagu kaya gini “seperti mati lampu ya sayang, seperti mati lampuuu”, atau “cinta satu malam oh indahnya, cinta satu malam buatku melayang”. Itu saya pikir penciptanya bukan orang yang baperan, dan pas bikinnya juga ga pake perasaan. Makanya ga heran kalo outputnya juga jelek. Tapi secara bisnis bagus. Lagu itu laku dan menghasilkan banyak uang. Tapi ya ngomong bisnis mah jualan ramen pedas aja bisa laku, padahal semua makanan pedas mah rasanya ga enak, karena konteksnya cuma tentang rasa pedas aja. Kita mengesampingkan rasa asin, manis, gurih, kecut, pahit dan banyak lagi. Padahal dalam setiap makanan semua rasa harus ada, dan harus bisa dicampurkan dengan kadar yang pas.

Balik ke lagu. Ada lagu yang dibuat dengan perasaan seperti lagu-lagunya Iwan Fals misalnya. Lagu “Galang Rambu Anarki” misalnya. “cepatlah besar matahariku menangis yang keras janganlah ragu, tinjulah congkaknya dunia buah hatiku, doa kami di nadimu”. Kalau ada seseorang yang sanggup menuliskan lirik “doa kami di nadimu” udah bisa dipastikan kalo penciptanya itu baperan. Segagah apapun persona Iwan Fals, nyatanya dia orang yang baperan, karena selalu menyertakan perasaan dalam lagunya. Efeknya? Luar biasa. Jutaan penggemar dan lagu-lagu yang masuk ke hati banyak orang, termasuk saya. Potongan lirik lagu “Nak” misalnya...“engkau lelaki kelak sendiri”. Itu gila sih, kejadian banget di saya. Aneh kalau sampai ada laki-laki yang tidak bergetar mendengar lagu itu.

Balik ke curhatan saya. Intinya apa ya. ah ga tahu juga lah ya ahahaha. Saya tutup saja dengan kutipan dari Fiersa Besari. “dulu saling emut, sekarang saling mute”. Nah itu salah satu contoh seniman yang ngga baperan, karena jangankan pake perasaan, pake pikiran saja ngga itumah. Padahal kata guru saya karya seni itu harus didasari tiga unsur, pikiran, perasaan, dan daya hayal. Kutipan Fiersa itu tidak memiliki tiga unsur itu. Eh ada deng, unsur yang ketiga, daya hayal. Mungkin dengan daya hayalnya dia berhayal bisa sebesar sastrawan Sapardi atau Pramoedya, atau mungkin Soe Hok Gie, wkwkwk. Udah ah kapancing wae jang ngomongkeun si eta. Dadah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar