Lagi rame soal food vlogger inisial M ya? hhmm ngomongin soal food vlogger berarti ngomongin soal food alias makanan. Seru juga kayaknya kalau nulis soal makanan. Seumur-umur saya nulis belum pernah nulis soal makanan. Dalam rangka kangen laptop yang udah dicuekin selama lebih kurang tiga bulan ini, seru juga kayaknya kalau nulis soal makanan.
Ngomongin makanan, buat saya
pribadi kayaknya gak bisa lepas dari soal selera, nostalgia, dan romantisme
soal makanan itu sendiri. Karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman juga
saya gak segitunya tahu soal makanan, tapi dalam konteks selera dan nostalgia,
tentunya saya punya beberapa cerita yang bisa saya bagi. Dari semua menu makanan
yang pernah saya coba selama 35 tahun lebih hidup di dunia, rasanya yang paling
nempel di lidah dan ingatan saya itu ketika saya masih tinggal di Majalengka,
dari sejak saya lahir sampai kelas 5 SD.
Yang pertama saya ingat itu Takoah.
Kalau di Bandung makanan ini dikenal dengan nama Kupat Tahu. Kenapa Takoah? Sepintas
terdengar seperti makanan chinese ya? Ditambah disana memang ada semacam daerah
kecil layaknya pecinan yang dihuni banyak warga keturunan chinese. Tapi nyatanya
takoah bukan diambil dari bahasa chinese, tapi singkatan dari Tahu Bongko Pakai
Kuah. Bongko di Majalengka itu artinya lontong atau kupat/ketupat, atau ada
juga orang sunda yang punya istilah buras alias bubur heuras (bubur keras)
untuk menamakan jenis makanan ini.
Sedikit berbeda dari kupat tahu
yang ada di Bandung, takoah yang ada di Majalengka ini tidak memakai toge dan
tahu kuning. Tahu di menu ini diganti dengan tahu putih yang biasa dipake buat
bahan tahu Sumedang. Jadi teksturnya tidak terlalu lembek seperti tahu di menu
kupat tahu Bandung atau Singaparna, Tasik. Bedanya lagi bumbu kacangnya ini
sangat lembut jika dibanding kupat tahu Singaparna, Tasik. Bumbu kacangnya beda
dengan bumbu pecel atau petis. Sedikit mirip bumbu kacang siomay tapi lebih
lembut lagi dan ada sedikit rasa manis dan gurih.
Menggaris bawahi kata gurih di
bumbu kacang di atas, makanan Majalengka yang juga memakai bumbu kacang lainnya
ada juga yang bernama ketan gurih. Makanan ini sama-sama memakai bumbu kacang,
hanya saja bumbu kacang disini kering (terlihat seperti bubuk. Dan bahkan di Cirebon menu ini dinamakan ketan bubuk-red). Sangat berbeda dengan bumbu kacang di
kupat tahu atau siomay. Rasanya, seperti namanya, gurih. Dulu makanan ini biasa
saya beli di depan pasar balong, tidak jauh dari penjual takoah tadi. Meskipun sebenernya
takoah paling enak menurut saya itu yang di depan sekolah SLB Majalengka.
Menu paling diingat dari masakan
nenek sih kayaknya sambel goreng kentang dan sambel goreng (aja) bikinan dia yang
minyaknya itu banyak banget. Tidak sehat sih jelas, tapi rasanya bikin nagih. Nggak
terlalu pedas juga tapi sangat cocok dikombinasikan dengan menu sop ayam yang
rasa kuah kaldu ayamnya itu kerasa banget. Selain itu ada juga ikan goreng
dengan sambel jahe, yang pada kemudian hari diadaptasi oleh ibu saya sebagai
menu andalan kami di rumah.
Sedikit intermeso. Kayaknya sudah lama sekali saya tidak makan ikan karena tragedi ikan patin di rumah saudara saya. Jadi ceritanya saya sarapan di rumah saudara saya dengan ikan patin. Menu yang salah menurut saya, karena entah karena ikannya atau bumbunya yang kuras pas, saya merasa mual ketika makan ikan itu, sampai akhirnya bertahun-tahun setelah itu saya tidak pernah makan ikan lagi (seingat saya sih ya). Namun kalau ngomongin nostalgia makanan waktu kecil, menu ikan goreng sambel jahe itu lah yang jadi favorit. Menu itu berlomba-lomba jadi urutan pertama bersama dengan menu sop ayam, ayam kecap, juga perkedel kentang bikinan ibu saya yang sangat ‘rapuh’ saking banyaknya telor dalam bahan perkedelnya. Sangat gurih dan enak. Sekali gigit langsung hancur di mulut. Biasanya perkedel itu dikombinasikan dengan sop ayam atau sayur lodeh dan sambal. Menu makanan itu hampir dipastikan bisa membuat mood kami sekeluarga bagus seharian.
Menu makanan dari Majalengka yang
saya ingat juga adalah tumis hampas kecap. Menu ini aneh dan bahkan buat istri
saya yang hobi banget masak menu itu jauh dari radar kelezatan menurut dia. Tapi
buat saya dan mungkin banyak orang Majalengka, ampas kecap yang dicampur dengan
irisan cabe bisa jadi menu paling nikmat ketika ditambahkan dengan nasi panas.
Sebagai penghasil kecap yang cukup kesohor pastinya ampas kecap dari kacang kedelai yang ada disana melimpah ruah. Makanya daripada mubazir mereka mengolahnya menjadi makanan. Untuk banyak orang di luar Majalengka hal itu aneh, karena dari namanya aja ampas. Dimana-mana ampas ya dibuang. Tapi ternyata ketika ditambahkan garam, gula, dan irisan cabe ampas yang harusnya dibuang itu malah terasa enak, meskipun ini agak tricky sebenarnya, karena kalau kurang pintar masaknya rasanya agak pahit, tapi kalau nenek saya jago, rasanya malah ada manisnya, selain dari gurih tentunya. Apalagi jika ditambah sayur lodeh, tempe, dan sambal. Kayaknya kalau saya berkunjung ke rumah saudara yang di Majalengka menu itu selalu ada.
Kalau soal jajanan, ada satu menu
jajanan yang cukup khas ketika saya di Majalengka. Namanya Gonjing pak Kebul. Kalau
di Bandung makanan ini dikenal dengan nama Bandros. Sambelnya biasanya cuma
saos kiloan saya yang rasanya biasa saja. Tapi di Majalengka, Gonjing pak Kebul
ini memakai sambel dari terasi berwarna coklat dan dimasak dengan kayu bakar. Bumbunya
itu agak cair tapi enak dan gurih. Dulu biasanya saya beli ini di depan SD
saya, dekat dari alun-alun Majalengka dan mesjid Al-Imam. Kayaknya atau bisa
dipastikan pak Kebul ini sudah berpulang, mengingat ketika saya SD saja beliau
sudah sangat sepuh. Iseng googling ternyata Gonjing Kebul masih ada, namun
sudah bisa dipastikan juga itu bukan gerobak pas saya SD, dan mungkin
penerusnya itu anak atau cucunya. Entahlah.
Bahas makanan tapi ga bahas minuman kayaknya kurang juga ya. Salah satu minuman yang cukup khas di Majalengka itu adalah gula cakar. Gula berwarna pink ini biasanya diseduh dengan air panas dan disajikan untuk menemani cemilan di pagi atau sore hari. Rasanya tidak terlalu istimewa sebenarnya, hanya saja cukup khas karena nyatanya selama saya di Bandung saya tidak menemukan minuman seperti ini. Selain itu ada juga sirup pisang susu cap buah campolay dan temulawak yang biasa saya konsumsi dan sering temui di Majalengka.
Uniknya, karena dulu nenek saya tidak punya kulkas di rumahnya, biasanya kalau ingin menikmati sajian sirup dingin saya harus beli es batu. Bukan di warung melainkan di sebuah rumah juragan es dorong bernama mak iyah. Uniknya lagi bongkahan es batu yang dijual disana tidak disimpan di lemari pendingin, tapi disimpan di sebuah ruangan dan ditimbun dengan gabah agar menjaga es batunya tidak mencair. Ini cukup unik dan anehnya es batu bisa bertahan cukup lama, meskipun cuaca di Majalengka cukup panas seperti di Cirebon.
Masih banyak sebenarnya makanan khas Majalengka yang ingin saya tulis, dari mulai buah mangga yang dijadikan manisan bernama bakasem, daging lapis mak ilah, lotek ceu enok, dll. Tapi kayaknya waktunya gak cukup, karena harus kembali berkutat dengan dua anak saya dan adonan donat. Tapi, kalau rame ada part dua hahahaha. Terutama soal makanan yang saya coba di Bandung. Bener gak sih Bandung surganya kuliner?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar