Rabu, 16 Agustus 2023, bedah buku Gala & Elora kembali digelar. Kali ini tawaran buat menggelar acara tersebut datang dari Indra, manajer PS. Beberapa hari sebelum menggelar bedah buku tersebut Indra cerita kalau dia bertemu dengan orang marketing Bagi Kopi. Dia cerita kalau Bagi Kopi tertarik membuat acara untuk PS. Namun menurut Indra (yang juga diamini Ryan dari Bagi Kopi), rasanya perlu ada rangkaian acara kecil terlebih dahulu, sebelum akhirnya PS manggung di Bagi Kopi, dalam runutan agenda promosi single baru mereka, “Fleeting Away”.
Saya mengiyakan tawaran Indra
untuk menggelar acara bedah buku di Bagi Kopi, Kiara Artha, dengan satu
catatan, acara ini harus melibatkan Irfan ‘Popish’ sebagai moderatornya. Karena
sekarang Irfan punya keterbatasan waktu dan harus segera bertolak melanjutkan sekolah
di Taiwan, maka acara harus digelar sebelum tanggal 19 Agustus. Indra dan Ryan
mengiyakan, hingga akhirnya disepakati acara digelar pada tanggal 16 Agustus
2023.
Hari itu pun tiba. Sekitar pukul
lima sore saya sudah berada di Kiara Artha, tengah bersiap untuk menjadi
pembicara untuk bedah buku saya. Tidak lama Irfan datang dengan sapaan
hangatnya yang khas. Setidaknya sejak terakhir kali saya bertemu dia di
launching bukunya, Bandung Pop Darlings.
Sedikit cerita soal Irfan. Secara
personal sebenarnya saya tidak terlalu kenal dekat dengan Irfan. Hanya saja kami
sama-sama berangkat dari media yang sama ketika itu. Bisa dibilang kami memulai
‘karir’ menulis musik pada tahun yang berdekatan, meski secara pencapaian saya
pikir Irfan jauh di atas saya. Hal itu menjadi masuk akal, mengingat dedikasi
dan kecakapan Irfan dalam menulis memang jempolan, dan saya angkat topi untuk
itu. Bukan tanpa alasan juga kenapa akhirnya saya meminta Irfan untuk menulis
kata pengantar di buku Gala & Elora. Karena dengan segala kerendahan hati,
saya memang penikmat tulisannya.
Dalam obrolan dengan Irfan hari
itu, satu hal yang saya ingat betul adalah pembahasan kami tentang perbedaan
orang yang bekerja sebagai penulis dan orang yang memilih menjadi penulis. Menurut
Irfan banyak orang yang bekerja sebagai penulis (atau dalam konteks ini
jurnalis) hanya memenuhi kewajibannya saja untuk menulis sesuai porsinya di
kantor. Akibatnya, kualitas tulisannya juga so so karena tidak dihidupi dengan
passion yang menyala dan hanya sekedar menulis sebagai tuntutan pekerjaan. Beda
dengan seseorang yang memilih menjadi penulis. Meski hanya memilih
menulis untuk sebuah caption di instagram, namun ketika dibubuhi dengan
kecintaan yang besar dan passion yang menyala maka tulisannya terasa hidup. Dan
buat saya, Bobbie, Franco, dan Irfan itu penulis, karena mereka menghidupi
tulisannya dengan cinta yang besar.
Kembali ke buku Gala & Elora.
Buku ini juga ditulis karena kecintaan saya pada tulis menulis dan Pure
Saturday. Ketika itu digabungkan, saya lalu mengerucutkan hal tersebut pada
sesuatu yang personal, di mana hal itu kemudian menjadi benang merah cerita di
buku ini. Premisnya sederhana sebenarnya, buku ini menjadi refleksi saya
terhadap peran ayah saya, dan peran saya ketika saya menjadi ayah untuk anak
saya. Lalu apa hubungannya dengan 13 lagu Pure Saturday di buku ini?
Saya pikir pada outputnya sebuah
lagu bisa dimaknai beragam dan subjektif oleh pendengarnya. Buku ini menuliskan
tentang interpretasi saya terhadap lagu-lagu Pure Saturday yang berdasar pada
refleksi personal yang saya rasakan saat menulis buku ini.
Buku ini ditulis ketika saya
telah menjalani peran sebagai seorang ayah, dan oleh karena itu pada outputnya
pun banyak yang membahas soal keresahan saya di fase itu. Rasanya saya tidak
punya keresahan yang cukup ‘mengganggu’ selain soal itu. Keresahan soal asmara misalnya.
Keresahan soal ini sudah sangat tidak relevan untuk saya. Masa-masa galau sudah
jauh terlewati dan ketika mengingatnya hari ini hanya menjadi bahan tertawaan
saja buat saya.
Di buku ini dituliskan tentang
Gala yang kehilangan sosok ayahnya. Sosok yang memberi ‘kehidupan’ bagi Gala.
Pak Badri, ayah Gala merupakan orang yang piawai membangun ‘dunia’ yang ideal
untuk Gala, sehingga Gala kerap melarikan diri ke dunia yang dibuat oleh
ayahnya. Dunia Gala adalah ayahnya. Maka ketika ayahnya berpulang, dunia Gala pun
ikutan hancur berantakan. Pertanyaan berikutnya adalah, apakah Gala bisa hidup
dengan dunianya sendiri selepas ayahnya berpulang? itu yang akan pembaca
dapatkan di buku ini. Singkatnya, buku ini mengamini apa yang Pure Saturday
tulis di salah satu judul albumnya, “Time For A Change Time To Move On”.
Soal ini saya ada cerita menarik. Sehari sebelum acara digelar saya bertemu dengan Ryan Bagi Kopi. Ternyata Ryan menjadi salah satu pembeli buku saya, dan ketika ngobrol dia langsung ‘ngeuh’ kalau buku ini merupakan refleksi saya terhadap album “Time For A Change Time To Move On”. Itu menyenangkan untuk saya. Ada orang yang membeli buku saya saja sudah menyenangkan untuk saya, apalagi ditambah kalau orang itu menangkap apa yang saya maksud dalam buku ini.
Menggaris bawahi tentang apa apa
saja yang saya maksud dan menjadi latar belakang penulisan buku ini, hal
tersebut kemudian menjadi bahan diskusi malam itu. Namun diantara semua obrolan, ada
dua pertanyaan yang masih saya ingat malam itu, yakni tentang penggunaan kata
gua, elu/lo, sebagai kata ganti/subjek saya/aku, dan juga pemilihan mercusuar
di buku tersebut.
Saya selayaknya orang sunda yang lain, sepertinya sungkan atau tidak terbiasa dengan penggunaan kata gua/gue, lo/elu atau sesuatu yang ‘Jakarta Centries’. Bukan anti terhadap Jakarta, hanya saja itu bukan sesuatu yang natural untuk saya sebagai orang sunda, yang hampir 80% menggunakan bahasa sunda untuk berkomunikasi. Namun kemudian muncul pertanyaan, kenapa saya menggunakan kata gua elu/lo di buku Gala & Elora?
Alasan pertama adalah karena saya
ingin menulis sesuatu yang ‘ngepop’, dan buat saya frasa gua elu/lo itu menjadi
lumrah ditemukan di budaya pop yang ada di Indonesia. Ditambah, cerita di buku
ini ‘mengharuskan’ saya menulis latar di Jakarta. Untuk orang Jakarta penggunaan
kata ganti saya menjadi gua/gue adalah hal yang natural layaknya urang dan aing
di Bandung.
Kenapa Gala & Elora berlatar
di Jakarta? Karena saya pikir, sampai hari ini Jakarta masih jadi rujukan bagi
semua orang yang ingin mewujudkan mimpinya. Gala bermimpi ingin jadi musisi
terkenal, dan Elora bermimpi menjadi penulis/jurnalis yang punya nama. Keduanya
kemudian merajut mimpinya itu di Jakarta. Hal itu kemudian menjadi sangat
kontras dengan keinginan Gala yang ingin kembali ke dunia utopis yang dibuat
ayahnya. Gambaran Jakarta yang carut marut dan dipenuhi dengan kompleksitas
yang ada menjadi berbanding terbalik dengan kedamaian yang ingin dirasakan
Gala. Hal-hal kontras itu lah yang juga menjadi pertimbangan saya, kenapa Gala
& Elora ini menjadi ‘Jakarta Centries’.
Dalam obrolan malam itu, sebelum
diskusi dimulai Irfan berseloroh kalau dia rasanya tidak akan menulis buku
fiksi karena menurutnya cukup tricky, dibanding dengan buku non fiksi. Salah satunya
tentang penggunakan kata gua/gue elu/lo di atas yang riskan terdengar cringe
atau terbaca seperti novel-novel teenlit, dan sebaliknya ketika menggunakan
kata aku kamu takut terdengar terlalu puitis yang berpotensi cringe juga
hahaha.
Hal ini juga menjadi pertimbangan
buat saya, karena bagaimana pun saya membawa nama Pure Saturday di buku ini. Jangan
sampai itu menjadi blunder bagi si PS maupun
saya sebagai penulis. Tapi, yang bisa janjikan di buku ini adalah meski ada frasa
yang ngepop alias anak muda banget, namun cerita di buku ini jauh dari typical cerita
di novel teenlit, karena seperti yang saya tulis di atas, cerita-cerita remaja
sudah tidak relevan untuk saya dan tidak lagi menjadi keresahan saya. Saya
pikir karya yang baik adalah karya yang lahir dari sebuah keresahan, dan saat
menulis ini saya tidak memiliki keresahan yang dirasakan anak remaja. Jadi secara
cerita, buku ini akan jauh dari hal itu.
Lalu, pertanyaan berikutnya
tentang kenapa saya memasukan mercusuar di buku Gala & Elora. “Kenapa harus
mercusuar? kenapa tidak lampu motor?”, ujar Haris yang bertanya iseng malam
itu.
Gambaran cahaya disini kemudian
menjadi sebuah filosofi hidup yang dipegang Pak Badri lewat gambaran mercusuar.
Meski dihantam ombak berulang kali mercusuar
tetap menyinari lautan yang gelap. Hal itulah yang kemudian dipegang Pak Badri.
Ditengah kegelapan malam rasanya tidak ada satu orang pun yang akan mengenali
penjaga mercusuar. Tapi meski begitu Pak Badri tetap melakukan tugasnya, meski sosoknya
dilupakan dan diasingkan dalam kesepian yang mengganggu di menara suar yang
sepi. Hidup juga rasanya harus seperti itu. Tida peduli apakah kita dikenali
sebagai pahlawan atau tidak, tapi esensi dari hidup harusnya memang berguna
bagi banyak orang.
Gala merasa ayahnya menyinari
hidup Gala, sampai akhirnya cahaya dalam dirinya perlahan meredup karena
kepergian ayahnya. Disinilah peran Elora dimulai, dia ‘menyalakan’ kembali
lampu suar untuk menyinari hidup Gala, karena sesungguhnya hidup harus terus
berjalan sampai tiba waktunya selesai dan kembali pada pemilik hidup yang
sesungguhnya. Sudah waktunya berubah dan bergerak, “Time For A Change Time To
Move On”!
Terlepas dari itu, saya ingin mengucapkan terima kasih
untuk siapapun yang menyempatkan hadir malam itu di Bagi Kopi, Kiara Artha. Irfan,
Kang Indra, Kang Ryan, Mang Udjie, Mas Yanto dari Portee, Maternal, dan
tentunya Mang Ade, juga untuk semua yang menyempatkan menyimak update buku ini.
Sampai bertemu di bincang buku Gala & Elora lainnya, di waktu dan tempat
berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar