Menuliskan cerita Lebaran biasanya saya lakukan di rumah, malam setelah hari pertama usai. Tapi berbeda dengan tahun ini. Rasanya energi untuk menulis tidak sebesar biasanya. Mungkin karena hari-hari terasa lebih padat—sibuk mengurus dua bocil kesayangan, Ammar dan Nadja, atau mungkin karena terlalu asyik mengedit foto di ChatGPT, hahaha.
Beberapa waktu terakhir, kegiatan
menulis memang lebih banyak dilatari urusan pekerjaan. Mulai dari tugas untuk
website dan majalah ITB Press, hingga proyek-proyek luar seperti menulis press
release dan menjadi ghostwriter untuk beberapa buku 'pesanan'. Menulis untuk kesenangan pribadi pun jadi sedikit terpinggirkan,
padahal itu penting. Apalagi kalau soal Lebaran, yang buat saya selalu
membawa kesenangan dan kenikmatan khas yang hanya hadir setahun sekali.
Sama seperti tahun lalu, hari pertama Lebaran saya mulai dengan salat Id di komplek Damar Mas. Lalu setelahnya, berkunjung ke rumah Wa Eni, sebelum akhirnya menuju rumah ibu saya pada siang harinya.
Menghabiskan waktu di rumah Wa Eni selalu punya keunikan tersendiri. Sedikit informasi, Wa Eni adalah uwa dari istri saya—yang paling tua. Rumahnya kerap jadi pusat berkumpul keluarga besar, tidak hanya karena statusnya, tapi juga karena tempatnya memang cukup luas untuk menampung banyak orang. Keluarga dari pihak ibu mertua saya berjumlah sebelas bersaudara, dan kalau ditambah anak, cucu, menantu, ipar, dan kerabat lainnya, jumlahnya bisa sangat banyak. Yang menarik, setiap Lebaran saya selalu saja bertemu wajah baru yang ternyata masih punya hubungan saudara dari pihak istri saya. Entah sepupu jauh, atau kerabat lainnya dari garis keluarga Aman Darman, kakek istri saya.
Suasana seperti ini sudah lama tidak saya rasakan sejak nenek saya berpulang. Keluarga besar dari pihak ibu atau ayah saya tidak sebanyak keluarga istri. Maka, kumpul-kumpul di rumah Wa Eni cukup bisa mengobati rindu akan suasana keluarga besar yang terakhir saya alami sekitar masa SMP dulu.
Setelah dari sana, saya melanjutkan
ke rumah ibu saya. Kami sampai agak siang karena jalanan cukup padat. Di rumah
ibu, kami hanya merayakan bersama beliau dan dua adik saya karena papa sudah 14
tahun berpulang. Seperti biasa, kami menyantap ketupat dan kari ayam, di mana makanan tersebut menjadi menu wajib
yang hanya muncul di hari Lebaran. Rasanya selalu spesial dan selalu saya rindukan
setiap tahunnya.
Baru pada hari ketiga, keluarga dari Majalengka datang, disusul oleh keluarga Teh Gina, sepupu saya, yang juga menyempatkan berkunjung ke rumah ibu.
Hari keempat Lebaran, kami makan siang di sebuah restoran Sunda dekat rumah: Dapur Sarumpun namanya. Kami sempat makan di sana juga Januari tahun lalu, waktu saya dan Nadja merayakan ulang tahun yang berdekatan. Momen makan bersama selalu terasa istimewa, karena suatu hari hal-hal seperti inilah yang akan dikenang dan dirindukan.
Hari kelima, kami kembali ke rumah dan seharian hanya dihabiskan dengan rebahan. Baru keesokan harinya, di hari keenam Lebaran, kami sekeluarga pergi mengunjungi kakak ipar saya yang belum sempat bertemu di hari pertama lebaran. Sebelumnya, kami mampir ke playground, di mana hal itu menjadi semacam “sogokan” untuk Ammar dan Nadja agar tetap semangat tiap kali kami bepergian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar