Selasa, 15 Juli 2025

"ROBOHNYA SURAU KAMI": EKSPLORASI KONTEMPLATIF COLLECTIVE LAB

Jumat, 11 Juli 2025, saya berkesempatan hadir dalam sebuah pertunjukan eksperimental yang digelar di Auditorium IFI Bandung. Pertunjukan ini menjadi bagian dari rangkaian acara selama dua hari persembahan Collective Lab, yang berlangsung pada 10 dan 11 Juli 2025. Dengan mengangkat tajuk “Robohnya Surau Kami” (karya A.A Navis), Collective Lab menghadirkan eksplorasi suara dan visual dalam bentuk yang menggugah sekaligus reflektif.

Collective Lab sendiri merupakan komunitas seni berbasis kolektif yang lahir di Bandung pada tahun 2024. Komunitas ini dibuat sebagai laboratorium terbuka bagi seniman dari berbagai latar belakang untuk bereksperimen dengan bentuk-bentuk baru seni pertunjukan. Dalam gelarannya kali ini, mereka fokus pada eksplorasi media digital performatif yang menggabungkan unsur visual dan bunyi dalam pendekatan artistik yang tidak lagi berpusat pada manusia (non-antroposentris).

Pertunjukan ini menghadirkan tafsir baru atas cerita pendek legendaris “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis. Dua figur utama, Haji Saleh dan ‘Tuhan’ dimunculkan bukan sekadar sebagai karakter naratif, melainkan sebagai representasi hubungan antara manusia dan entitas non-manusia yang tidak terlihat, tidak terwakilkan, namun hadir secara sensorik dan eksistensial. Keduanya menjadi simbol pertemuan antara tubuh manusia dan sesuatu yang ilahiah, misterius, dan berada di luar batas dunia manusia.


Secara artistik, pertunjukan ini membangun ketegangan antara tubuh dan objek, antara representasi dan sensasi, serta antara dimensi spiritual dan sosial. Tegangan itu tidak hanya lahir dari narasi, tetapi juga dari komposisi suara, cahaya, dan visual yang menciptakan distorsi terhadap persepsi ruang dan waktu. Penonton diajak masuk ke dalam atmosfer pasca kehidupan yang ambigu, gelap, dan penuh pertanyaan moral, bukan dalam kerangka realisme, tetapi sebagai dunia kontemplatif yang memicu pemikiran.

Objek-objek yang dihadirkan dalam pertunjukan tidak berfungsi sebagai properti panggung semata, tapi justru menjadi pusat perhatian sebagai subjek alternatif yang menantang dominasi tubuh manusia dalam seni pertunjukan. Pendekatan ini terasa lintas disiplin dan intertekstual, merespon tidak hanya teks sastra A.A. Navis, tetapi juga silang pengaruh dari teknologi, filsafat, dan spiritualitas.

Salah satu bagian paling kuat dari pertunjukan adalah bagaimana sang penampil (dimainkan oleh Moh. Wail) menggambarkan emosi melalui gerakan tubuh. Ekspresi rapuh, sedih, marah, dan pasrah ditampilkan secara intens, baik di atas maupun di luar panggung. Momen klimaks terjadi ketika sang penampil turun dari panggung dalam keadaan tubuhnya dibalut kain putih, seolah menggambarkan perjalanan menuju “rumah terakhir”. Adegan ini diiringi lantunan kalimat tauhid yang memperkuat suasana kontemplatif dan spiritual dari perjalanan tersebut.


Dari sisi audio, pertunjukan ini juga menampilkan komposisi yang mencolok. Mulai dari suara gemuruh hingga dialog antara Tuhan dan manusia, semuanya dirancang untuk menyatu dengan gerakan tubuh sang penampil. Yang menarik, Collective Lab menggandeng Vicky Mono, vokalis band metal Deadsquad, sebagai kolaborator yang menggarap audio dalam pertunjukan malam itu. Perpaduan ini menghasilkan atmosfer suara yang kuat, tidak biasa, dan penuh ketegangan.


Robohnya Surau Kami versi Collective Lab adalah tafsir baru yang membuka ruang perenungan tentang iman dan kemanusiaan, tentang kehancuran dan tanggung jawab sosial, serta tentang tubuh dan apa yang tak bisa diwakili oleh tubuh itu sendiri. Ini bukan sekadar pertunjukan, melainkan sebuah eksperimen artistik yang memancing percakapan lebih jauh tentang arah dan kemungkinan masa depan seni pertunjukan di Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar