Jumat, 11 Juli 2025, saya berkesempatan hadir dalam sebuah pertunjukan eksperimental yang digelar di Auditorium IFI Bandung. Pertunjukan ini menjadi bagian dari rangkaian acara selama dua hari persembahan Collective Lab, yang berlangsung pada 10 dan 11 Juli 2025. Dengan mengangkat tajuk “Robohnya Surau Kami” (karya A.A Navis), Collective Lab menghadirkan eksplorasi suara dan visual dalam bentuk yang menggugah sekaligus reflektif.
Collective Lab sendiri merupakan komunitas seni berbasis kolektif yang lahir di Bandung pada tahun 2024. Komunitas ini dibuat sebagai laboratorium terbuka bagi seniman dari berbagai latar belakang untuk bereksperimen dengan bentuk-bentuk baru seni pertunjukan. Dalam gelarannya kali ini, mereka fokus pada eksplorasi media digital performatif yang menggabungkan unsur visual dan bunyi dalam pendekatan artistik yang tidak lagi berpusat pada manusia (non-antroposentris).
Pertunjukan ini menghadirkan tafsir baru atas cerita pendek legendaris “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis. Dua figur utama, Haji Saleh dan ‘Tuhan’ dimunculkan bukan sekadar sebagai karakter naratif, melainkan sebagai representasi hubungan antara manusia dan entitas non-manusia yang tidak terlihat, tidak terwakilkan, namun hadir secara sensorik dan eksistensial. Keduanya menjadi simbol pertemuan antara tubuh manusia dan sesuatu yang ilahiah, misterius, dan berada di luar batas dunia manusia.
Objek-objek yang dihadirkan dalam pertunjukan tidak berfungsi sebagai properti panggung semata, tapi justru menjadi pusat perhatian sebagai subjek alternatif yang menantang dominasi tubuh manusia dalam seni pertunjukan. Pendekatan ini terasa lintas disiplin dan intertekstual, merespon tidak hanya teks sastra A.A. Navis, tetapi juga silang pengaruh dari teknologi, filsafat, dan spiritualitas.
Salah satu bagian paling kuat dari pertunjukan adalah bagaimana sang penampil (dimainkan oleh Moh. Wail) menggambarkan emosi melalui gerakan tubuh. Ekspresi rapuh, sedih, marah, dan pasrah ditampilkan secara intens, baik di atas maupun di luar panggung. Momen klimaks terjadi ketika sang penampil turun dari panggung dalam keadaan tubuhnya dibalut kain putih, seolah menggambarkan perjalanan menuju “rumah terakhir”. Adegan ini diiringi lantunan kalimat tauhid yang memperkuat suasana kontemplatif dan spiritual dari perjalanan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar