Jumpa lagi dengan saya si penulis males. Males kalau nulis gak dibayar lebih tepatnya hahaha. Tapi, lagi lagi karena menyadari betul jika bukan orang kaya yang akan mewariskan harta yang banyak untuk anak-anaknya, maka yang bisa saya lakukan adalah menulis cerita kehidupan sehari-hari di blog ini, agar kelak anak-anak saya membacanya. Dengan membaca ini mereka akan tahu seperti isi pikiran papa-nya, apa yang papa-nya lakukan, serta betapa papa-nya begitu mencintai mereka. Karena itulah, setiap bulannya saya menulis rangkuman cerita di blog ini. Bukan buat siapa-siapa, selain anak-anak saya. Tapi jika kebetulan anda nyasar ke blog ini, silakan dibaca jika berkenan.
Bulan September ini rasanya yang ingin saya garis bawahi adalah tentang dinamika naik turun yang selalu hadir setiap bulannya. Rasanya dalam hidup ini saya tidak bisa lepas dari dinamika yang datang silih berganti. Ada kalanya kita merasa berada di atas, penuh semangat, dengan banyak hal yang seru terjadi. Namun ada pula masa ketika segalanya berjalan biasa saja, bahkan cenderung datar. Rasanya seperti naik turun gelombang, selalu ada ritme yang tidak bisa kita tolak. Agustus kemarin, misalnya, terasa begitu hidup dan penuh kejutan. Tetapi memasuki September, iramanya melambat, lebih tenang, seakan dunia meminta saya untuk sedikit beristirahat.
Meski begitu, September tetap menyimpan momen-momen yang berarti. Satu hal yang paling berkesan adalah ulang tahun Mama pada 15 September lalu. Si manusia terbaik di dunia itu semakin menua, semakin pilih-pilih makanan agar kondisinya tetap bugar, dan tentunya semakin rajin ibadah, karena dia sudah selesai dengan dunianya. Cita-citanya menjadi guru sudah dia tunaikan selama puluhan tahun, hingga kemudian dia pensiun dan tidak ada lagi yang dipikirkannya selain mengumpulkan bekal untuk 'pulang'. Menyeramkan jika menulis soal 'pulang', dan rasanya kapanpun hari itu tiba, saya tidak pernah siap untuk itu. Baik ketika saya yang mendapat giliran atau pun orang-orang terkasih yang duluan. Tapi lepas dari itu, semoga selama kami masih sama-sama bisa saling bergandengan, kami bisa selalu menguatkan satu sama lain.
Beranjak ke pertengahan bulan, kantor menugasi saya meliput acara CIFEST 2025. Acara yang digelar oleh ITB Kampus Cirebon untuk menyambut mahasiswa baru angkatan 2024 itu memberikan energi berbeda. Saya bisa melihat semangat anak-anak muda yang baru memulai perjalanan mereka di dunia perkuliahan, penuh rasa ingin tahu dan harapan. Momen itu mengingatkan saya pada masa ketika segala sesuatu masih terasa baru, ketika kita begitu percaya bahwa masa depan adalah halaman kosong yang bisa kita isi dengan apa saja. Selain itu, tentu jika bicara Cirebon akan selalu ada romantisme di dalamnya, selain karena waktu kecil kerap ke kota tersebut (biasanya untuk beli baju lebaran, karena di Majalengka tempat tinggal saya masih jarang ada toko pakaian), saya juga merupakan penggemar makanan Cirebon. Dan Alhamdulillah sepulang liputan, saya dan tim sempat mencicipi empal gentong khas Cirebon.
Kembali ke Bandung, ada beberapa liputan lain yang cukup menyenangkan. Dari Mulai TEC Festival yang menghadirkan atmosfer kreatif dan dinamis, hingga ITB Ultra Marathon yang memperlihatkan betapa kuatnya daya tahan manusia ketika didorong oleh tekad. Liputan-liputan semacam ini selalu memberi perspektif baru, bukan hanya soal acara itu sendiri, tetapi juga tentang bagaimana orang-orang berjuang, berproses, dan menemukan arti dari perjalanan mereka masing-masing.
Di luar pekerjaan, hari-hari berjalan dengan ritme yang lebih tenang. Sesekali saya menghabiskan waktu untuk jalan-jalan bersama anak dan istri. Momen sederhana itu, entah sekadar makan bersama atau sekadar berjalan santai, selalu menghadirkan rasa syukur. Kehangatan mereka menjadi penyeimbang ketika pekerjaan terasa padat, sekaligus pengingat bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari hal-hal besar.
Roda hidup mulai bergerak kembali meski pelan. Tak apa, karena rasanya proses selalu lebih penting daripada hasil. Dalam langkah-langkah kecil itu, ada ruang untuk belajar, merenung, dan menguatkan diri, terutama mengasah kemampun untuk menunggu. Rasanya yang bisa saya lakukan hanyalah berusaha sebaik mungkin, semampu yang saya punya, lalu, menunggu sampai hari itu tiba. Entah kapan, entah bagaimana, saya percaya bahwa setiap usaha, sekecil apa pun, akan menemukan jalannya sendiri menuju hasil. Terima kasih September! Big love!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar