Kamis, 13 Februari 2014

SEPULUH LAGU (Ehm) CINTA TERBAIK

Ada hal yang dianggap ‘tabu’ untuk dibicarakan, seperti halnya tentang lagu cinta dan segala macam hal yang berhubungan dengan itu. Termasuk oleh saya yang mati-matian menjaga citra agar tidak dibilang lembek dengan sebutan ‘pria melankolis’. Terlalu riskan ketika saya harus berbicara tentang lagu cinta, yang ditakutkan itu sebuah pertaruhan menjadi dicap lembek oleh khalayak.

Jika cinta yang dimaksud berbicara tentang ‘bertahan satu C.I.N.T.A’ pada sebuah lagu hasil olahan industri arus utama, mungkin bisa saja kata cinta itu menjadi menggelikan dan mengalami penurunan makna, ketika kata cinta hanya dijadikan kambing hitam atas nama pasar yang mengiba dalam layar kaca. Ketika cinta tidak tersaji jujur, dan dipenuhi pretensi yang justru tidak menggambarkan artian cinta itu sendiri seharusnya seperti apa.

Memangnya bagaimana seharusnya lagu cinta itu tersaji?

Mengurutkan sepuluh lagu (ehm) cinta terbaik berikut ini, mungkin bisa memberi sedikit gambaran tentang lagu cinta yang tersaji manis, jujur, apa adanya, sampai kemudian kata cinta itu sendiri kembali pada artian sebenarnya. Ada yang begitu gamblang bercerita tentang cinta dan segala hal menarik dari itu, namun ada juga yang berbicara cinta dari lirik yang tersirat dari apa yang bisa disajikan dalam bentuk sebuah lagu.


Sejatinya dalam album mereka yang bertajuk ‘Balada Joni dan Susi’ adalah kumpulan lagu-lagu cinta yang digambarkan sangat bagus, dengan konsep album yang tematik. Menggambarkan tentang kisah cinta dan pelarian Joni dan Susi dari realita, ketika realita tidak berpihak kepada keduanya. Bagaimana ketika mereka saling menghidupi satu sama lain dengan cinta yang mereka miliki. Pun begitu di lagu ini. Lagu dengan padanan lirik yang bagus, dan diimbangi dengan aransemen musik yang catchy, sehingga memudahkan kita yang mendengarnya untuk memberikan gambaran dari apa yang ingin mereka sajikan dalam lagunya.

Ada lirik yang berbunyi “jika aku mati, kau kematian lainnya”, yang adalah semacam satir yang digambarkan dari cinta mereka yang teramat besar satu sama lainnya. Paradoks dari hal yang sebenarnya satu kesatuan yang tarik menarik, ketika Joni berujar “jika aku Israel kau Palestina, jika aku Amerika kau seluruh dunia”. Ada hal yang meskipun itu tergambar berlawanan, namun sebenarnya satu sama lainnya adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sampai akhirnya di lagu ini Joni dan Susi dengan cinta mereka mampu pepatkan semesta dan seluruh sisi-sisinya.


Sebut saja ini klise dengan kalimat ‘cinta tak harus memiliki’ atau hal lainnya tentang ‘kehilangan’ yang kadang terkesan tidak tulus. Namun awal kalimat di lagu ini yang berbunyi “If I could start all over with you again, I’d change the way the story ends”, mengubah pandangan tentang kalimat ‘cinta tak harus memiliki’ itu tadi. Lagu yang sebaik-baiknya lagu yang bisa menggambarkan keadaan setelah putus cinta dan patah hati. Lagu ini memberikan pemahaman tentang sesuatu yang kadung tercitrakan menyedihkan dengan tema putus cinta, untuk kemudian disikapi dengan baik, ketika sampai pada titik pemikiran yang pergi biar saja pergi, dengan ditegaskan oleh lirik “It’s time for you to do everything, you always wanted to do. So, I’ll see you when you make it through”.

Mungkin siapapun yang pernah merasa jika putus cinta adalah akhir dari segalanya, akan merasa malu dengan apa yang dituliskan di lagu ini. Jika apa yang sebenarnya dipaksakan dari sebuah hubungan yang tidak lagi bisa diteruskan, maka jalan satu-satunya adalah merelakannya pergi. Mencintai seseorang adalah tentang bagaimana membuatnya bahagia, bukan bagaimana tentang memaksakan harus bahagia bersama, yang padahal dia sudah tidak bahagia lagi ketika bersama. Atau lepas dari Aidan Hawken berujar seperti apa, kalau kata Charly sih ‘Cari Pacar Lagi’, yang tak lupa dinyanyikan bersama dengan rambut belah tengahnya itu.


Lagu ini adalah kebalikan dari segala macam bentuk lagu cinta yang dipenuhi puja-puji sepasang kekasih yang sedang jatuh hati. Bukannya saling memuji, di lagu ini sepasang kekasih itu malah saling membeberkan apa-apa saja yang mereka tidak sukai dari pasangannya. Ketika sang wanita berujar “aku tak suka kau tak juga berhenti merokok”, yang dibalas oleh si pria dengan kalimat “aku tak suka kamu wek wek wek cerewet”, sampai pada reff nya yang berbunyi “cinta itu sengit, kita tarik menarik”, menggambarkan sepasang kekasih yang ‘seolah-olah’ sedang bertengkar akan apa yang tidak disukai dari pasangannya, namun anehnya bisa tersaji manis dan mengundang senyum.

Duo bentukan Cholil Mahmud sang pentolan band Efek Rumah Kaca, dan istrinya sendiri Irma, menjadikan Duo ini menarik, mengingat Cholil sendiri adalah termasuk dari sekian musisi dengan kemampuan menulis lirik lagu dengan baik (termasuk di lagu ini). Mendengar Indie Art Wedding berarti mendengarkan lagu-lagu cinta yang tersaji menyerupai sebuah dialog sehari-hari, dengan fragmen dan tema yang menarik untuk dinyanyikan. Sama seperti halnya dengan judul album mereka yang bertajuk “Hidup Itu Pendek Seni Itu Panjang”, yang menerjemahkan hidup dari sudut pandang yang lebih menyenangkan.


Ada yang harus dikesampingkan dari sebuah gengsi ketika mendengarkan lagu ini. Ketika dengan musik dan liriknya yang mampu membuat air mata jatuh begitu saja, mengikuti dentingan gitar dan suara sang vokalis yang sedang bersenandung dikala senja. Lagu yang bercerita (setidaknya bagi saya) tentang cinta dari orang tua seperti ayah atau ibu, membuat siapapun (terlebih saya), yang mendengarnya ada dalam gambaran bertahun-tahun ke belakang mengingat apa yang oleh orang tua lakukan sebagai bentuk cinta kepada anaknya. Selama air mata itu tidak jatuh untuk orang yang salah, maka biarkan saja itu mengalir sebagai bentuk penghormatan untuk orang yang hanya satu level saja dibawah Tuhan.

Bagaimana mungkin lirik yang berbunyi “canda nada ceritanya tak luput dari telinga dan menggema, mengusik derai duka lara, antarku melawan lelah”, yang diteruskan dengan lirik “berpuluh kali musim lalu tak pernah terdengar keluh di bibirnya, demi harapan yang diam di tepi, hingga nafas terhitung air”, bisa tidak mengundang air mata untuk turun? Dari mulai tergambarnya masa-masa sok hebat khas anak muda, berseberangan dalam sebuah adu argumen panjang, sampai pada akhirnya tidak ada yang harus lebih dicintai selain dari orang yang membuat kita ada dan terlahir di dunia. Rusa Militan dengan lagunya Senandung Senja adalah anthem dari sebuah titik balik karena dan untuk siapa kita terlahir.


Jika saja bukan Adam Sandler yang bernyanyi lagu ini, jika saja ada seseorang dengan kemampuan teknik bernyanyi yang ‘njelimet’ dan aransemen musik yang tidak kalah ‘njelimet’, mungkin lagu ini akan terdengar biasa saja. Yang membuat lagunya menjadi bagus dan terasa intim adalah karena kemampuan vokal Adam yang biasa-biasa saja, dan bahkan dibawah standar ‘seharusnya’ seseorang bernyanyi. Adam bernyanyi straight to the point, tanpa ba bi bu dengan lirik merayu yang merajuk keagungan kata dalam nada.

Penggambarannya seperti ketika pacarmu terlalu banyak minum dan mabuk, tapi kamu dengan setia akan membawanya pulang dan menemaninya sampai tertidur. Ketika kamu membiarkan pacarmu menonton acara televisi kesukaannya, yang padahal kamu amat membencinya. Ketika Adam ingin menghabiskan sisa hidupnya untuk tumbuh tua bersama orang yang dicintainya. Seperti itulah Adam menggambarkan lagu ini. Di satu sisi mungkin terkesan klise ketika Adam berujar “aku ingin menjadi orang yang tumbuh tua bersamamu”, yang untungnya diimbangi dengan kemampuan bermusik dia yang pas-pasan, sehingga membuat lagunya terdengar jujur seperti apa adanya dia, dan karena itulah lagunya menjadi terdengar manis. Adam hanya mengutarakan isi hatinya dalam bentuk sebuah lagu, tanpa sedikitpun berniat pamer kemampuan bernyanyi ala penyanyi jebolan acara pencarian bakat di televisi.


Menggambarkan lagu ini mudah saja. Bayangkan sepulang dari bar, ‘getting high’, dan bernyanyi kesana kemari sepanjang perjalanan pulang. Lirik lagu ini seperti orang yang sedang meracau dalam balutan perasaan dua orang yang sedang jatuh cinta. Mereka bernyanyi bergantian, saling ejek (yang padahal mereka sedang memuji), yang tentunya tidak dalam bentuk jalinan prosa yang mengada-ngada nan penuh kiasan ala sastrawan di abad pertengahan.

Sama halnya dengan Adam Sandler tadi, mereka berdua juga diuntungkan dengan kemampuan bermusik mereka yang pas-pasan, satu paket dengan kualitas vokal yang tidak kalah pas-pasan juga. Mungkin memang ketika sebuah perasaan sudah berbicara, semua menjadi tidak penting selain dari mengutarakan perasaan itu secara jujur dengan apa adanya. Dari mulai bercerita tentang ‘a part-time lover and a full-time friend’, sampai salah satu dari mereka berujar “Here is the church and here is the steeple, we sure are cute for two ugly people”. Begitu kata mereka, yang saling sahut menyahut, tidak mau kalah melontarkan perasaan dalam hatinya.


“And if a double-decker bus crashes into us, to die by your side is such a heavenly way to die”. Saya berani bertaruh jika tidak akan lirik lagu sedalam dan seromantis ini yang bisa ditemukan di lagu manapun. Ada semacam kiasan dalam artian ‘tragic romantic’, atau apapun istilahnya yang menggambarkan cerita roman -yang walaupun- picisan, bisa bermakna sangat dalam dan ada pada satu keterikatan orang yang sedang jatuh cinta. Apalagi sebelumnya Moz (sapaan Morissey #fyi) menambahkan lirik “Take me out tonight, because i want to see people and i want to see life”, ketika pada malam itu (di lagu ini) bercerita tentang seseorang yang sudah tidak ingin apa-apa lagi selain berkeliling mengitari sepanjang jalan malam, tidak peduli kemana mobil akan melaju, sampai akhirnya jika sebuah bis tingkat menabraknya pun itu menjadi satu hal yang menyenangkan. Sebuah cara yang indah untuk mati (#maaf, meninggal).

Satu hal yang ‘tidak boleh’ dipertanyakan di lagu ini adalah, untuk siapa Morissey membuat lagu ini. Walaupun mungkin sebagian ada yang sudah tahu, sebatas mengira, atau sama sekali tidak mau tahu tentang hal ini. Yang jelas lagu ini adalah sebuah lagu yang pada artian lirik lagunya berat, namun menjadi terasa ringan karena pembawaan musiknya yang catchy -khas- musik brithpop, indiepop or whatever, ketika sound gitar yang terdengar begitu renyah bertemu dengan suara vocal khas Morissey yang terasa nyaman di telinga.


Jika saja Santamonica tidak menambahkan lirik di lagu ini pun, itu tidak akan mengurangi keindahan dari apa yang ingin lagu ini tampilkan. Dimana musiknya sendiri sudah mewakili seperti apa perasaan ketika jatuh cinta. Degup jantung yang berdebar ketika bertemu sang pujaan hati, yang diwakili dengan baik lewat frase suara digital hasil olahan perangkat musik yang mumpuni, dan bersinergi dengan orang dibaliknya, untuk kemudian dikemas apik oleh duo Santamonica ini. Beberapa kali pengulangan bebunyian khas yang adalah sebagai bentuk penegasan dari sebuah alat penyampai perasaan, yang dalam hal ini diamini oleh lirik lagu yang dinyanyikan. Ataupun dengan menambahkan imajinasi dari pikiran yang terbawa oleh lantunan musik yang memacu pendengarnya untuk membuat dunianya sendiri.

Seperti halnya pada memoar manis tentang cinta pertama, ketika senyum simpul terpasang bersama cerita konyol semasa baru mengenal cinta dulu. Tentunya kekonyolan yang akan teringat sampai kapanpun. Lebih tepatnya kekonyolan yang tidak ingin dilupakan, meskipun itu mungkin memalukan. Bahkan sampai lagu ini habis, senyum simpul itu masih saja betah menghuni dan tidak mau pergi. Sampai dengan terpaksa harus memutar lagunya kembali, seakan tidak rela meninggalkan memoar manis cinta pertama itu berakhir dengan coda pada lagunya.


Hal kecil dengan lirik lagu dari Pure Saturday yang berbunyi “tiada lagi yang kuinginkan lebih dari yang kau berikan”, pada sebuah lagu mereka yang berjudul Elora. Mengartikan lirik sederhana tersebut kedalam sebuah pemahaman arti ikhlas, yang justru dengan itulah sesungguhnya ketenangan itu ada, ketika tidak terbebani sebuah ekspektasi berlebih atau pretensi apapun untuk sebuah kehidupan yang palsu. Maknanya jadi bisa diartikan dari sudut pandang seorang hamba kepada Tuhannya, ataupun sundut pandang seseorang tentang hidup yang sebenarnya akan baik-baik saja ketika dia membiarkan siklus berputar sebagaimana mestinya.

Lagu yang sejatinya adalah sebagai penggambaran ketika cinta diartikan dengan lebih luas, mencangkup hal yang tidak hanya mengartikan cinta sebagai bahan coretan drama pada sebuah cerita fiksi, yang mungkin hanya secuil saja menampilkan bentuk cinta itu seperti apa. Pure Saturday dengan lagunya Elora membuat lagu cinta lebih ‘berisi’ dengan perumpaan cahaya yang terang dan sebuah keyakinan akan cinta yang hakiki, atau setidaknya cinta tanpa pamrih. Yang dengan segala kekurangan dan kelebihan mereka dalam meramu musiknya, membuat pendengarnya ada pada satu kesimpulan jika akhirnya cinta sang pencipta kepada hambanya melebihi segala hal yang bisa diukur dan dihitung oleh nalar.

Sebut saja saya mengada-ngada dengan semua yang telah saya tulis tentang lagu-lagu cinta barusan. Karena tujuan dari dituliskannya kumpulan lagu-lagu cinta ini adalah hanya agar lagu ini bisa saya tuliskan. Tentang sebuah lagu dari grup musik yang memainkan ‘free jazz’, superjazz, experimental noise kontemporer bla bla bla or whatever you named it. Tentang sebuah lagu yang tidak terstruktur beraturan, baik dari segi bagan lagu sampai aransemen musiknya. Sebuah lagu yang tidak ‘diniatkan’ bercerita tentang cinta (dan mungkin memang bukan lagu cinta juga), namun bisa menerjemahkan begitu baik tentang bagaimana ketika cinta harus diwakili melalui sebuah lagu.

Cinta tidak bisa dijelaskan, sekeras apapun mencoba menerjemahkan apa itu cinta, maka jawabannya tidak akan pernah ada. karena cinta itu sendiri adalah sebuah intuisi dari perasaan, yang kiranya sulit dijelaskan melalui lisan atau tulisan. Pun begitu ketika cinta yang diwakili oleh sebuah lagu dan musik yang mencoba menangkap esensi dari cinta itu seperti apa. Tapi Sungsang Lebam Telak lewat lagunya berhasil menerjemahkan cinta dalam artian yang benar.

Mungkin mereka tidak seperti sedang bermain musik, karena terkesan berantakan dengan musik yang mereka mainkan. Susah untuk mencari relevansi antara judul lagu dan cara mereka memainkan lagunya. Namun itulah cinta. Ketika seseorang jatuh cinta tidak akan ada yang benar-benar bisa merasakannya selain dari orang yang mengalaminya sendiri. Ketika Sungsang Lebam Telak bermain musik, tidak peduli apakah orang lain akan mengerti atau tidak dengan musik yang mereka mainkan, toh nyatanya mereka sangat menikmati ketika mereka bermain musik. Seperti itulah cinta yang mereka rasakan, untuk kemudian ingin mereka coba terjemahkan dalam lagunya.

Ketika kita mendengarkan lagunya adalah seperti kita mendengar orang yang sedang bercinta dengan segala hasrat yang ditumpahkan melalui bentuk nada dan harmoni yang porak poranda dalam rima. Namun walau begitu, biarkan saja mereka memainkan lagunya sampai selesai. Setidaknya ungkapan ketika jatuh cinta dunia serasa milik berdua adalah benar adanya, yang dalam hal ini menjadi milik bertiga, yakni milik Dani, Age, dan Gembi para personil Sungsang Lebam Telak itu sendiri. Ringkasnya, cinta adalah abstrak, dan tergantung siapa yang merasakannya. Ada yang menganggapnya manis, ada yang menganggapnya pahit. Terserah saja, seperti ketika memaknai musiknya Sungsang Lebam Telak.

(klik judul lagu untuk mendengarkan lagunya)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar