Kamis, 10 April 2014

PRO KONTRA TRIK POLITIK LEWAT MUSIK

“You look so tired and unhappy, bring down the government//They don't, they don't speak for us”

Sepenggal lirik lagu dari radiohead berjudul ‘No Surprises’ di atas sedikit banyak bercerita tentang rasa skeptis akan pemerintah yang keberadaannya dinilai tidak berpihak pada rakyat (us = rakyat). Radiohead tidak sendirian dalam menyayikan lagu dengan tema yang sama. Dari dalam negeri ada nama seperti Iwan Fals (ketika Iwan masih galak), sampai yang terbaru datang dari unit kreatif asal Bandung ‘Grimloc Record’ yang merilis sebuah album kompilasi bertajuk ‘Memobilisasi Kemuakan’, sebagai kontra wacana dari konsep pemerintahan itu sendiri. Dirilis tepat satu hari sebelum pemilihan umum berlangsung.

Ketika menghubungkan suatu gelaran ‘pesta demokrasi’ atas nama pemilihan umum dengan sebuah kontra wacana yang dibalut musik, musik kemudian menjadi alat untuk meneruskan sebuah paham (jika harus dikatakan seperti itu) yang dulunya pernah dibawa culture punk dengan konsep anarki nya itu. Dimana menurut apa yang mereka percaya jika seharusnya dunia tanpa negara, ketika negara merupakan instrument untuk menindas rakyatnya. Lain halnya dengan negara tanpa pemimpin, ketika sebuah kepemimpinan (ide) tidak harus diwakili lewat satu orang yang dijadikan manusia setengah dewa, atau bahkan mengharap sang ratu adil jatuh ke bumi. Pemahamannya jadi seperti meski tanpa pemerintah, warga tetap aktif dan saling berorganisir dengan lingkungan sekitar untuk menumbuhkan harapan tentang perubahan, ketika sebuah harapan selalu ada di tangan warganya yang terorganisir. Karena tanpa kepemimpinan (ide) kumpulan orang akan jadi kawanan yang mudah dimatikan. Dimatikan oleh apa? tentunya konsep pemerintahan itu tadi.

Namun tidak semua musisi meyakini konsep anarkisme yang dibawa oleh budaya punk tadi. Nyatanya banyak juga musisi yang menjadikan musiknya sebagai alat (justru) untuk mendukung pemerintah, dan mau menjadi bagian dari itu. Dari mulai yang ikut berkampanye pencalonan presiden sampai terlibat di sebuah partai politik.

Kembali ke tahun 80an dengan sebuah acara televisi bertajuk ‘Aneka Ria Safari’ yang hadir di jaman orde baru. Sebuah acara televisi yang mengemas musik dan hiburan seni lainnya. Bisa dibilang ini merupakan sebuah cara pemerintah menunjukan ‘kepeduliannya’ dengan dunia seni dan seniman sebagai pelakunya. Tapi apakah memang seperti itu? Seperti mungkinkah jika tidak ada harga yang harus dibayar untuk sebuah ‘kebaikan’ pemerintah sebagai timbal baliknya? Jawabannya mudah saja, ketika waktu itu Eddy Sud yang notabene nya adalah orang dibalik acara itu melahirkan sebuah album yang berjudul “Golkar Pilihanku”, yang diisi banyak artis ibu kota seperti Titik Puspa, Hetty Koes Endang, Dewi Yull, dan masih banyak lagi.

Musik kemudian menjadi alat, entah itu bagi yang pro maupun yang kontra terhadap sistem kepemerintahan itu sendiri. Keberadaannya menjadi tidak sekedar hanya kumpulan nada yang dimainkan saja, namun pada akhirnya musik menjadi ‘got something to say’ yang membawa sebuah wacana ke permukaan. Dari mulai pagelaran musik dangdut di sebuah acara partai politik sampai ke tingkat yang lebih tinggi seperti konser musik pop Juanes di Lapangan Revolusi di Havana, Cuba misalnya.

Selain itu juga mungkin masih jelas di ingatan kita pada pemilu tahun 2004, ketika sosok SBY pertama kali muncul sebagai ‘orang baru’ yang diharapkan membawa perubahan untuk negeri ini, juga menggunakan musik sebagai media dia memperkenalkan diri di dunia politik. Bermula dari kesenangan beliau dengan lagu ‘Pelangi Dimatamu’ milik Jamrud, sampai pada akhirnya beliau ketagihan bermusik dengan melahirkan 4 buah album rekaman. Prestasi? Untuk seorang musisi -non- professional, mungkin iya. Membuat musisi benerannya sendiri bingung bercampur cemburu, karena setengah mati para musisi itu ingin membuat album, tapi banyak sekali hambatannya, dan sekonyong-konyong SBY hadir dengan 4 albumnya (ini part curhat colongan saya sebagai musisi kere. Hehe).

Kembali ke pemilu dan sebuah pilihan berpihak atau tidak, dengan kata lain menjadi golput dan tidak mau ambil bagian dari pemerintah. Memilih untuk tidak memilih adalah hak, namun ketika pilihan menjadi golput tidak dibarengi dengan berbuat sesuatu untuk lingkungan sekitar juga jadinya akan menjadi meaningless. Karena alasan orang memilih menjadi golput bisa karena memang kontra dengan wacana pemerintah atau karena pada dasarnya tidak peduli tentang apapun, tidak menjadi bagian dari masyarakat, dan akhirnya menjadi apatis. Sikap apatis inilah yang kemudian melahirkan tumpulnya kepekaan sosial yang makin hari makin memprihatinkan ini.

Idealnya musik sebagai sarana berkreasi atas nama seni, sedangkan pemimpin hendaknya tidak lahir dari sebuah konsep pemerintah atau apapun istilah itu disebutkan, yang menjadikan konsep itu instrument penindas bagi banyak orang. Seperti halnya politik yang menurut Aristoteles adalah sebagai kecenderungan manusia ketika dia mencoba untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, ketika dia berusaha meraih ‘kesejahteraan’ pribadi, dan ketika dia berupaya mempengaruhi orang lain agar menerima pandangannya. Jadi menurut apa yang dituturkan Aristoteles tadi tidak ada part yang mengatakan keberpihakannya pada rakyat atau atas nama kepentingan orang banyak. Lalu ketika menggabungkan itu dengan musik, maka musik yang disajikan juga sebenarnya tidak mewakili untuk siapa hiburan berupa nyanyi-nyanyian itu disajikan, jika pada dasarnya musik hanya sebagai media untuk menampung sebuah wacana atas nama pribadi yang dibalut politik itu tadi.

Namun lepas dari itu, siapalah saya ini yang sok tahu menuliskan tentang musik, politik, dan perannya sebagai alat yang pro maupun kontra dengan konsep pemerintahan itu tadi. Tapi setidaknya menjadi sinis lebih mendingan dibanding menjadi apatis, dengan ketidak berpihakan kemanapun, lalu kemudian menjadi abu-abu dan bias dalam angguk kepura-puraan (emot icon senyum).

Dimuat juga di KANALTIGAPULUH.INFO


Tidak ada komentar:

Posting Komentar