Minggu, 27 Juli 2014

LAGU-LAGU PENGANTAR PULANG MUDIK

Ada satu tempat di sudut rumah yang meskipun agak berbau apek, namun begitu dirindukan oleh si pemilik kamar yang sekarang sedang berada jauh di tempat orang. Dari mulai ketika masih kuliah sampai sudah bekerja. Ragam alasan yang diberikan ketika menjawab pertanyaan kenapa meninggalkan rumah. Meninggalkan kamar yang berisikan aneka macam poster band kesukaan sampai poster Cindy Crawford bertelanjang dada, yang dulunya sempat dicopot ibu sebagai bentuk protes terhadap anaknya yang mulai nakal.

Berbagai kenakalan, haru, dan banyaknya kenangan yang disaksikan dinding kamar melalui foto mantan pacar yang masih terpampang menertawakan. Terangkum di perjalanan pulang dalam kereta yang kembali menghadirkan berbagai ingatan semasa masih belia, naif, dan sok jagoan. Hari ini, tidak lama lagi akan sampai di tempat itu.

Dengan mp3 player murah yang berisikan lagu-lagu pilihan teman membunuh waktu, mengangguk menikmati alunan lagu yang diputar sampai coda lagu mengisyaratkan agar kereta berhenti, pertanda sudah sampai tujuan.


“kutahu tempat yang kutuju, semua cerita bertemu. Berganti nyanyian pagi sejukan hati bekukan waktu”. Adalah apa yang bisa diwakilkan sebuah lagu ketika hendak memutuskan untuk pulang. Penegasan lirik “kutahu tempat yang kutuju” adalah yang bisa digambarkan tentang semua cerita itu berawal. Sampai pada akhirnya siklus hidup mengharuskan keluar rumah untuk sekolah dan bekerja. Namun setelahnya tahu harus kemana ketika jeda waktu membolehkan untuk kembali ke tempat dimana mimpi-mimpi itu dirancang.

PS (kependekan dari Pure Saturday) dengan iramanya yang ngepop, lengkap dengan karakter sound gitar khas-nya, seperti tahu betul bagaimana menciptakan suasana lagu yang menyenangkan, dan diwaktu bersamaan bisa memancing tersenyum dengan lirik yang dinyanyikan. (ilustrasi : siap berangkat dari kostan)


Dalam perjalanan menuju stasiun kereta, ketika irama ngepop yang kurang lebih sama dengan yang PS tawarkan kembali diputar. Kali ini datang dari unit ‘indies’ ibu kota dengan semua kejelian penulisan liriknya ketika mereka berujar “lari 100 di kota ini lepaskan diri hindari waktu, menembus dan memutar jalan kehidupan”.

Entah apa yang dimaksud dengan Lari 100 itu. Namun hal paling logis untuk dihubungkan dengan metafora Lari 100 adalah taksi yang ditumpangi melaju cepat buat ngejar kereta. Karena rasanya ingin segera duduk di senderan kursi kereta untuk menikmati perjalanan pulang. (ilustrasi : dalam taksi menuju stasiun kereta)


Tubuh telah meletakan pantat di tempat seharusnya, kursi kereta. Sambil kembali memasang earphone dan memutar lagu untuk menemani selama di perjalanan. Tombol shuffle mengantarkan kepada lagu dari band yang lain dari band lainnya dengan memilih nama Lain. Band yang berisikan personil “berbahaya” ini datang dengan lagu lawasnya yang berjudul ‘Train Song’. Kebetulan yang menyenangkan, ketika judul lagu yang pas dengan pemilihan kata “Train” dari album bertajuk ‘Djakarta Goodbye’ ini, yang ditimpali musik yang menarik.

Kata menarik lebih menjadi pilihan dibanding kata bagus yang bisa dimiliki oleh siapapun, termasuk oleh band arus utama yang so so lah (bagi penikmatnya tentu saja). Namun lepas dari itu, musik yang dimainkan Lain di lagu ini menjadi sepadan dengan waktu 3 menit 16 detik yang dihabiskan untuk mendengar lagu ini, sampai akhirnya bebunyian khas mesin kereta terdengar menandakan kereta siap berangkat. (ilustrasi : kereta mulai berangkat dari stasiun)


Nuansa space music/ atau let say futuristik di lagu ini begitu kentara dengan semua padu padan instrumen musik yang dimainkan. Menjadi perpaduan yang menarik ketika sang masinis mulai menuntun kereta perlahan melaju meninggalkan stasiun. Ilustrasi yang tergambar dengan nuansa space music di lagu ini adalah ketika sang perantau yang bisa diasumsikan “asing” di tempat perantauannya, seolah seperti alien yang hendak pulang ke Mars. Dia merasa nyaman dengan nuansa space music yang didengarkan, seperti seolah dia sedang berada di rumahnya sendiri yang diwakili oleh musik itu. Dalam pengertian “kelokalan’ tiap pemudik bisa menjadi seperti lagu-lagu daerah yang biasa didengar dan menjadi kekhasan di tempat tinggalnya, seperti misalnya lagu-lagu mang Koko atau Koko tole. (ilustrasi : kereta melaju meninggalkan stasiun)


Kereta telah melaju hampir setengah perjalanan ketika lagu ini diputar. Dengan segala kemerduan dan maha benar Rara Sekar dengan segala senyumnya, lagu ini memberikan aura positif dengan pilihan lirik dan musiknya yang sederhana namun sarat makna. Lagu ini mengingatkan harus dan telah berjalan sejauh mana kita menapaki kehidupan setiap harinya. Sampai pada akhirnya harus pulang setelah berjalan lebih jauh dan menyelam lebih dalam.

Berjalan lebih jauh sampai dimana mimpi bisa diraih sekalipun itu di tempat asing bagi kita dan keluar dari zona nyaman. Menyelam lebih jauh sampai kemudian menjadi tahu ada apa dikedalaman ibu kota dengan semua hal yang ditawarkannya. Seperti halnya yang dinyanyikan diawal lagu ini yang berbunyi “bangun sebab pagi terlalu berharga tuk kita lewati dengan tertidur”, yang dalam hal ini menjadi lebih berharga dengan pagi yang dilewati di dalam kereta menuju pulang ke tempat dimana semua berawal, sebelum berjalan lebih jauh. (ilustrasi : kereta sudah setengah perjalanan dan hampir sampai)


Mungkin tinggal menunggu hitungan menit untuk bisa sampai ke tempat tujuan, dimana orang terkasih telah menunggu. Seolah seperti dia bilang “disana kumenunggumu tersenyum hanya untukmu”. Sebuah ungkapan yang diwakili Rumah Sakit lewat lagunya yang berjudul ‘Bernyanyi Menunggu’. Apalagi sebelumnya Rumah Sakit memberikan penggalan lirik “jauhnya tujuan luasnya halangan, jangan kau henti ucapkan harapan”.

Harapan untuk kembali melihat senyum tulus dari orang tua yang ga pernah cape lewat doa-doanya, lewat perhatiannya untuk si anak yang dirindukannya. Harapan untuk kembali bisa mencium bau apek dari kamar yang menjadi saksi biksu semua mimpi itu berawal. Harapan untuk sekiranya waktu mau menunggu untuk tidak berputar terlalu cepat sampai rindu menjadi tuntas ketika pulang. Sampai pada akhirnya sang orang tua bilang “kini kau sadari, semoga kau tlah mengerti semua kan pasti indah pada waktunya”, untuk diteruskan dengan aransemen musik yang catchy, lalu kembali ke reff dan bersenandung “disana kumenunggumu, bernyanyi hanya untukmu” (ilustrasi : kereta sampai di stasiun terakhir)


Alunan biola pada intro lagu ini berbarengan dengan kaki yang telah menginjak tanah yang sama, ketika dulu hendak pergi meninggalkan tempat yang nyaman ini. Masuk ke bagian sang vokalis mulai bernyanyi, ada senyum yang tersungging yang dari tadi menunggu disini. Berkata “gimana di jalan? Kamu sehat-sehat aja kan? Kangen loh ibu. Udah makan?”. Seperti biasanya, seseorang yang ga ada habisnya memberikan kasih sayangnya ini selalu dengan borongan pertanyaannya setiap si anak pulang. Seolah selalu ingin memastikan sang anak baik-baik saja ditempat orang.

Menit kedua kembali alunan biola di lagu ini meneruskan permainannya yang apik, berbarengan dengan udara yang jauh lebih segar untuk dihirup, dibanding udara ibu kota yang sumpek setengah mati itu. Alunan biola yang ditimpali suara ‘innocent’ khas Blue Boy dengan kesederhanaan cara mereka meramu musiknya, yang bersinergi dengan bangunan kolonial klasik sederhana ini. Ketika akhirnya coda lagu selesai dimainkan si anak berkata “akhirnya aku pulang”. (ilustrasi : sudah sampai rumah bertemu orang tua)

(klik judul untuk mendengarkan lagu)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar