Jumat, 23 Januari 2015

#NOWPLAYING HOMOGENIC - UTOPIA



Atas nama waktu luang dan keadaan yang memungkinkan untuk selonjoran, saya nyalain radio untuk dengerin lagu. Mulai cari-cari saluran dari stasiun radio a ke radio b, dari radio b ke radio c, dan seterusnya. Tapi udah pindah-pindah saluran gitu tetep aja ga ada lagu yang saya suka. Bahkan ada satu lagu yang sangat tidak saya suka malah diputar sampai beberapa kali di hampir semua stasiun radio. Sialnya saya ga bisa marah atau protes soal playlist lagu-lagu di radio itu, karena -da akumah apa atuh- cuma pendengar, bukan pemilik stasiun radio itu. Udah request tapi tetep aja lagunya ga diputer sampe acaranya selesai.

Sepintas dengerin radio itu udah kaya hidup di dunia. Ketika request lagu itu kaya lagi doa sama Tuhan. Saya minta apa yang saya pengen ke Tuhan, dan berharap Tuhan ngabulin itu. Denger radio juga ngga jauh beda dengan itu, saya request lagu yang saya suka dan berharap si penyiar muterin lagunya. Tapi kadang lagunya bisa diputer kadang ngga. Sama kaya doa, kadang terkabul kadang ngga. Lama saya nunggu lagunya untuk diputar, sampai pada akhirnya si penyiar pamit, dan lagunya belum juga diputar. Klasik, ketika ada pepatah yang berujar “mungkin Tuhan berkehendak lain”, untuk sebuah doa tidak/belum terkabul, yang dalam hal ini menjadi “mungkin penyiar punya kehendak lain”, ketika sebuah lagu tidak diputar.

Lepas dari itu, pada kenyataannya lagu-lagu yang ideal -menurut saya- itu tidak bisa saya dapatkan jika radio itu bukan punya saya. Kalau mau sesuai selera mungkin saya harus bikin stasiun radio sendiri agar bisa bebas membuat playlist lagu sesuai selera saya. Tapi karena bikin stasiun radio itu mahal, maka hal termudah dan termurah yang bisa saya lakukan adalah nyalain Handphone untuk muter lagu. Maklum lah kalo lagi jomblo gini HP sepi, jadi fungsi HP pun beralih dari yang tadinya buat pacaran diubah menjadi alat pemutar lagu (eeaa mulai)

Balik ke lagu. Di HP saya itu semua lagu yang saya suka ada dan bisa saya dengerin dengan penuh penghayatan, dengan sedetil-detilnya yang bisa ditangkap oleh telinga saya. Tentang karakter sound vokal yang mengawang dengan reverb yang tebal, sound gitar crunch+chorus+ sedikit delay yang terdengar renyah di telinga saya, sampai barisan lirik yang menyayat hati pun ada. Tidak seperti di radio tadi, pemutar musik di HP saya adalah playlist lagu yang ideal buat saya,. Kenapa menjadi ideal? Karena HP itu punya saya, saya yang menghendaki lagu-lagu itu ada untuk saya putar di HP saya, saya yang menciptakan atmosfir lagu yang disuka sesuai dengan mood saya.

Puas dengan suguhan audio lewat lagu yang saya dengar, saya beralih menyalakan televisi untuk hiburan visual saya. Tapi sama halnya dengan radio tadi, televisi juga tidak bisa memberikan tontonan yang saya suka. Mau protes dan membuat acara yang saya suka apalah daya saya, karena saya bukan si anak singkong atau pak bewok. Mau bikin stasiun TV sendiri ternyata mahal, bahkan lebih mahal dari membuat stasiun radio tadi. Maka hal yang paling mudah dan murah yang bisa dilakukan adalah dengan nyalain komputer, buka folder film, lalu nonton The Hobbit atau Narnia. Secara cerita, grafis, dan semua hal teknis tentang film-film itu memuaskan visual saya, dan itu ideal untuk saya. Kenapa ideal? Karena saya yang menghendaki film-film itu diputar di komputer saya, dan saya suka.

Lalu saya diem buat bengong, sementara lagu dari Homogenic – Utopia berkumandang

Mikir kalau dunia ini bukan saya yang bikin, dan semua yang terjadi bukan atas kehendak saya. Dunia ini tidak ideal buat saya, dan mungkin banyak orang diantara saya. Sesuatu yang ideal itu tidak akan ada jika bukan diri sendiri yang membuat atau menciptakannya. Setidaknya beberapa diantara kita membuat dunianya sendiri, yang biasa disebut utopia. Ada yang bernama Hogwart, Dol Guldur, Absurd Paradiso, atau bahkan Aprilio Kingdom dengan Vierratale nya (what? eu eu eu ehm next). Ada semacam perasaan ingin melarikan diri ke dunia yang dirancang sendiri. Saya pun punya pemikiran seperti itu. Seperti halnya ketika Tom membayangkan bisa menikah dengan Summer, tapi Summer malah menikah dengan orang lain. Didalam dunianya sendiri Tom bisa menikahi Summer, tapi realitanya Summer dinikahi orang lain, dihari ke 500 dia bersama Tom.

Dalam dunia perfilman Robin William adalah sosok yang lucu dan menghibur. Tapi realitanya dia adalah seorang yang pemurung, yang bahkan mati dengan bunuh diri. Seperti halnya Tesy Srimulat, ketika dibalik sosok lucunya Tesy pernah melakukan percobaan bunuh diri dengan meminum cairan pembersih toilet. Sebuah ironi dalam komedi, ketika yang terlucu menjadi yang paling menyedihkan diantara realita dan layar kaca.

Ketika semesta mendukung dan memberkati, tak jarang pula semesta tidak berpihak yang berujung pada kekecewaan akan harapan yang terpatahkan. Mau protes ga bisa, karena nyatanya dunia ini bukan milik saya. Satu-satunya yang paling mudah saya lakukan adalah dengan membuat dunia sendiri, yang saya kasih nama Milo Volvo. Meskipun menyenangkan bisa “berada” disana, tapi ga bisa lama-lama juga karena harus segera kembali ke rutinitas di dunia bernama realita ini, mau ga mau, suka ga suka, dan menjadi terbiasa dengan apapun yang menimpa. Sedih, senang, datar, dan banyak hal lainnya yang ternyata cuma siklus.

Seperti kata Pidi Baiq dalam sebuah kutipannya yang berujar “agar kamu tidak terlalu sedih, anggap saja jika hidup adalah untuk bersedih. Jadi ketika engkau bersedih tujuan hidupmu tercapai, dan ketika engkau senang kau sabar, itu ujian”. Pidi menyebutnya dengan istilah pesimis positif. Seperti halnya dengan contoh keseharian perihal nembak cewek misalnya. Pidi pernah Bilang “ketika engkau hendak nembak cewek yakinlah jika engkau akan ditolak. Jadi ketika engkau beneran ditolak, kau sudah siap. Dan ketika diterima kau akan jauh lebih bahagia”. Lalu ditambahkan lagi olehnya jika “kebahagiaan itu bukan dicari, tapi diciptakan. Ketika aku merasa bosan, itu lebih karena akunya yang juga membosankan, dan ketika sedih, itu karena akunya yang menyedihkan”. Jadi, you are what you think gitu lah kurang lebih. Kurangnya dari pemahaman saya, lebihnya dari lemak perut saya kali ya. Bundar perut saya, juga topi saya. Begitu juga dengan dunia yang katanya bundar juga.

Bicara tentang dunia. Apalah artinya dunia ketika harus terlahir dan terasingkan, ketika bencana adalah sebuah rencana, dan rasa malas adalah anugerah ketika harus marah-marah di dunia. Apalagi marah di dunia dalam twitter. Trus marahnya ke kang Emil dengan ribuan pendukungnya pula. Waduh mending jangan deh. Cobalah ngetwit yang lucu-lucu aja kaya mas Agus Magelangan, lebih menghibur. Karena jika dunia ini bukan arena untuk bercanda, lalu untuk apa?

Menganggap dunia itu segalanya adalah naif, ketika kita semua tahu jika hidup adalah tentang persiapan meninggalkan dunia. Seperti halnya dimenit-menit akhir dalam film Gie, ketika sang tokoh utama Soe Hok Gie berujar jika “nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan, atau terlahir tapi mati muda. Nasib terburuk adalah dilahirkan dan mati tua”. Dan Gie beruntung bernasib baik. Sambil tersenyum dia berkata “sampai jumpa di utopia".

..............Hadirmu, khayalku utopia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar