Rabu, 04 Februari 2015

SEKALI LAGI TENTANG PARADOKS

Ada yang bilang kalo ngerokok itu harus tumaninah, ga bisa buru-buru ketika menghisapnya biar nikmat. Isep, tahan, lalu hembuskan pelan-pelan biar lebih kerasa nikmat. Jadi secara alam bawah sadar, ngerokok itu membiasakan orang jadi lebih santai dan ga sembrono dalam tindak tanduknya. ......hhmm let me think....tik tok tik tok. Masuk akal juga dan akhirnya saya mengiyakan pernyataan itu. Salah satu contohnya sama dengan kebiasaan saya kalo lagi nulis. Baiknya waktu nulis itu mikirnya jangan kecepetan, harus santai biar pemikiran yang tertuang lewat tulisan adalah hasil pemikiran yang stabil dan ga grasak grusuk. Makanya saya ngerokok.

Sebenarnya ada dua hal yang bisa bikin saya tenang, pertama ngemil coklat, kedua ngerokok. Saya terpaksa mencoret yang pertama dan tidak saya jadikan ritual kalo lagi nulis. Coklat itu manis tapi mengandung gula. Gula itu bahaya karena bisa bikin diabetes. Sama lah kaya kamu, manis tapi sadis dan berbahaya. Senyum kamu manis tapi beracun. Dan karena racun hasil senyum manis itu pulalah aku jadi orang yang ga rasional, dibutakan sama (ehm) cinta.

Rokok juga beracun karena mengandung nikotin. Tapi dengan racun rokok itu aku bisa berpikir rasional. Dengan tiga langkah tadi; isep, tahan, dan hembuskan pelan-pelan setiap asapnya. Seiring dengan asap yang berhembus, logika aku dikembalikan oleh itu. Pas ngerokok aku jadi orang yang rasional kembali. Dari hasil bengong sambil ngerokok aku jadi bisa menyimpulkan kalo manisnya kamu itu racun, dan lebih berbahaya dari racun rokok yang sedang aku hisap.

Jadi sekarang kamu tahu kan kenapa kemarin aku ngerokok pas aku bilang “kayaknya udah cukup, aku ga bisa bareng kamu lagi”. Kalo ga ngerokok mana aku bisa dengan fasih bilang seperti itu sama kamu. Tapi kamu pikir aku lagi ga santai dan kamu pun menawari aku coklat, “nih biar kamu tenang”, kata kamu. Aku menolaknya, dan aku malah menghisap rokok lagi.

Dari hisapan itu aku kembali disadarkan kalo keputusan aku benar buat ngelepasin kamu. Kamu nyuruh aku makan coklat, padahal kamu tahu coklat itu gulanya jahat dan bisa bikin diabet. Kamu mau aku sakit diabet?

Ayahku meninggal karena diabet di usianya yang belum terlalu tua, dan dia ga ngerokok. Sedangkan kakek yang usianya sudah 80 tahun lebih masih hidup, dan dia perokok. Jadi kamu menggambarkan seolah kamu peduli dengan menawari aku coklat biar aku tenang. Padahal kan kamu tahu kalo coklat itu bahaya. Jadi tambah yakin kalo aku harus ngelepas kamu.

Pikiran kamu itu kaya orang KPI aja. Pas ada adegan sepasang suami istri ciuman mereka sensor, tapi pas ada adegan pembunuhan mereka biarkan. Lebih bahaya mana, ciuman atau bunuh orang?

Pas Farah Quinn masak dengan semua keindahan ragawi yang Tuhan kasih ke dia, orang KPI narik dia karena terlalu sexy. Sedangkan pembodohan semacam Saiful Jamil mereka biarkan. Lebih bagus mana antara lihat Farah Quinn masak atau lihat bang Ipul nyanyi? *bayangkan dia nyanyi bareng Nasar di lagu duo pedang*

Sama lah kaya media. Inget ga pas Fariz RM ditangkap karena narkoba? Kenapa media begitu mengeksploitasi dia jadi orang yang paling berdosa karena mengkonsumsi narkoba? Bukan berarti Fariz ga salah. Fariz tetap bersalah karena dia melanggar hukum dengan mengkonsumsi barang yang dilarang oleh negara. Tapi cara media mengemasnya begitu menyudutkan Fariz.

Bandingkan dengan kasus Vicky Prasetyo dengan Vickynisasi nya itu. Dia bersalah dan pernah dipenjara karena kasus penipuan. Sekarang dia bebas, dan fokus media malah banyak mengulas soal gimmicknya perihal kebodohan dia dalam berbahasa, tidak pada kejahatan dia perihal penipuan itu. Publik menganggap itu lucu. Publik lupa kalo dia penjahat yang pernah dipenjara karena menipu. Seolah publik memaklumi “dosa” dia karena gimmicknya yang lucu. Sedangkan Fariz, opini publik membentuk Fariz jadi orang yang paling berdosa karena memakai narkoba, dan sialnya dia tidak bisa buat gimmick "lucu" kaya Vicky tadi.

Fariz memang salah karena merugikan dirinya sendiri dan mungkin paling banter keluarganya, karena kebiasaan buruk mengkonsumsi narkoba. Skalanya kecil. Sedangkan Vicky bersalah karna menipu dan merugikan banyak orang. Skalanya besar. Tapi media membuat publik lupa dia seorang penipu karena gimmick vickynisasi-nya itu. Media “membuat” dia lucu dengan kebodohan berbahasanya.

Perbandingan Fariz dan Vicky itu sangat jauh. Diakui atau tidak, Fariz adalah salah satu musisi jenius yang dipunyai negeri ini. Kemampuan dia bermusik diatas rata-rata musisi kebanyakan pada eranya. Fariz selangkah lebih maju. Tapi ironisnya dia sekarang menjadi bulan-bulanan media karena kekhilafannya. Publik membencinya, seakan lupa jika dia pernah berjasa melahirkan lagu semacam “Sakura”, “Selangkah Ke Seberang” atau “Barcelona” yang kelewat canggih pada masanya itu.

Vicky datang entah darimana dengan gaya bahasanya yang aneh untuk jadi penyanyi. Disambut oleh Charly Setia Band yang membuatkan dia lagu untuk mengorbitkannya jadi penyanyi. Maka lahirlah penyanyi dengan kualitas vocal jeblok dan musikalitas jeblok. Tapi publik ga masalah dengan itu karena media “memasaknya” dengan bumbu yang disukai publik. Salah satunya dengan gimmick vickynisasi tadi. Kebalikan dari Fariz yang musikalitasnya selangkah lebih maju pada masanya itu, Vicky datang dengan musikalitasnya yang seribu langkah mundur ke belakang, disaat kita menemukan talenta bagus seperti Tulus misalnya.

Vicky ga sendiri karena sebelumnya juga media udah doyan bener membuat stupid people famous. Dulu ada Olga yang hobi bener ngeledekin Yuni Shara dengan status jandanya itu. Padahal itu ga layak dijadikan bahan lawakan. Ibu saya janda, dan ga ada yang salah dengan itu. Dia bisa jadi single parent yang sanggup survive membesarkan ketiga anaknya tanpa suami disisinya. Yuni juga ga jauh beda dengan ibu saya, seorang janda yang kuat dan tangguh membesarkan anak-anaknya. Kedudukannya tinggi dan terhormat di mata saya. Dan sekonyong-konyong Olga membawakan lawakan dengan menyudutkan status seorang janda. Sedihnya, publik menyukai itu.

Pas saya kritik gaya lawakan dia, fans-nya nyerang balik dengan pernyataan yang ga nyambung. “ya biarain aja mas dia ngelawak, jangan hancurin mata pencaharian orang”. Padahal tidak ada part yang bilang kalo saya ngelarang dia ngelawak. Dia mau jadi komedian itu hak dia dan dia mau jadi apa aja itu hak dia. Tapi kontennya kan bisa dibenerin kalo emang dia bisa mempertanggung jawabkan sebagai komedian yang baik di negeri ini.

Celaan sebagai bahan candaan dan komedi sebagai suatu seni itu beda. Untuk bisa mencela ga perlu jadi komedian yang baik pun bisa. Sedangkan untuk jadi komedian yang baik perlu kemampuan yang lebih dibanding sekedar mencela. Contoh kecilnya, tidak semua orang bisa menempatkan kata “kontol” misalnya sebagai padanan kata untuk sebuah komedi satir yang cerdas. Amenkcoy, seorang seniman berbakat asal Bandung pernah melakukan itu. Dia ngegambar seorang anak punk yang sedang nyoret tembok bertuliskan “Pemerintah Kontol”. Kata “kontol” disana jadi sebuah diksi yang mewakilkan keresahan Amenk akan pemerintah yang bobrok dan memalukan. Bedakan dengan lawakan ini “ah muka lu kaya kontol”. Kata “kontol” disana tidak berarti apa-apa selain sebuah diksi untuk mencela dan tidak punya substansi apapun. Semua orang bisa mengatakan itu, bisa melakukan itu sebagai bahan untuk celaan. Tapi ga semua orang punya pemikiran kaya Amenk ketika dia mempadu padankan kata pemerintah dengan kata kontol itu tadi. Dia mengkritik dengan sebuah komedi satir lewat gambar yang ciamik. Itu lucu sekaligus membuat kita berpikir. Sungguh sebuah seni yang art.

Gambar : Amenkcoy

Atau ketika Soleh Solihun dalam jokes-nya yang bilang “masuklah islam sodara-sodara, di depan sudah ada pembagian indomie”. Lalu apakah sebagai orang islam saya tersinggung? Ngga juga. Soleh dengan gayanya pengen bilang kalo keputusan memeluk agama itu ga bisa atas ajakan atau iming-iming tertentu. Dalam hal ini Soleh nge-kick lewat kalimat bagi-bagi indomie tadi. Itu lucu dan tidak menyakiti saya yang beragam islam sekalipun. Bandingkan dengan kartunis-kartunis di Charlie Hebdo yang bikin jokes dengan menjelekan nabi yang orang islam muliakan. Apa itu lucu?

Sekali lagi tentang paradoks adalah tentang sudut pandang mata pisau. Berguna jika dipakai motong bawang, dan berbahaya jika dipakai membunuh. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar